Setelah melewati jembatan jiwa, yang telah membukakan pintu hati, pandangan mata, renungan inspirasi terhadap realita kehidupan. Kini saatnya menuju pada Bisikan Hati, renungan kedua dari trilogi tulisan saya di tahun 2012
Renungan akhir tahun (Desember 2012)
Kita hidup hanya satu kali di dunia, tapi sejarahlah yang akan meninggalkan kehidupan kita pada generasi selanjutnya. Banyak orang besar diluar sana yang telah menorehkan catatan sejarah yang dapat dikenang hingga kini. Dari memorabilia hingga biografi.
Yang menjadi renungan adalah ketika anda telah tiada, anda ingin dikenang seperti apa? sebagai pahlawan bangsakah? sebagai pejuangkah? sebagai ilmuwan hebatkah? sebagai seniman kontroversialkah? sebagai guru pencerdas bangsakah? sebagai pengusaha sukseskah? sebagai sastrawankah? atau sebagai teladan ayah/ibu bagi anakmu?
Ingat, takdir tidak ditentukan, tapi anda sendirilah yang menuliskannya.
Yang menjadi renungan adalah ketika anda telah tiada, anda ingin dikenang seperti apa? sebagai pahlawan bangsakah? sebagai pejuangkah? sebagai ilmuwan hebatkah? sebagai seniman kontroversialkah? sebagai guru pencerdas bangsakah? sebagai pengusaha sukseskah? sebagai sastrawankah? atau sebagai teladan ayah/ibu bagi anakmu?
Ingat, takdir tidak ditentukan, tapi anda sendirilah yang menuliskannya.
Skenario kehidupan (Juli 2012)
Sering saya bertanya dalam hati siapa sutradara hidup kita dan siapa penulis scenario yang sesungguhnya. Manusia sendiri sebagai aktor dan penelis scenario atau Tuhan yang merangkap sebagai sutradara dan penulis skenario? Pilihan-pilhan dalam langkah kehidupan sering kali membuat sang aktor kebingungan. Misalnya, apa yang akan terjadi jika saya memilih plan A daripada plan B atau seandainya saya memilih plan B ketimbang plan A? apa yang akan terjadi dikemudian hari?
Time Paradox, sering kali membuat actor hidpu kebingunggan. Seandainya seseorang X mempunyai anak Y, setelah sekian lama Y membunuh Z. yang mana Z adalah anak dari W, dan W sahabat baik X. jika time paradox bermain, maka kematian Z dapat saja dihindari dengan cara W membunuh X, sehingga X tidak memiliki anak Y dan di lain masa dan waktu Z dapat hidup tenang dengan W.
Sahabat pembaca bingung? Ok saya permudah dengan cara yang berbeda.
Pernah seorang sahabat mengajak saya ikut naik mobilnya, kebetulan kami satu arah dan tujuan, pulang ke rumah. Namun saya masih ingin membeli makanan ringan dahulu sebelum pulang, sebenarnya pilihan yang dilema… antara keinginan perut dan lumayan bias ngirit ongkos pulang. Hingga detik terakhir saya memutuskan untuk tidak ikut mobil sahabat saya. Dan bebrapa saat kemudian mobil tersebut tabrakan. Seandainya saya ikut dalam kendaraan tersebut, sudah pasti saya yang akan jadi korban. Namun yang sering menjadi pertanyaan saya adalah, kehidupan apa selanjutnya yang akan terjadi pada saya? Atau seandainya saya bisa mencegah dengan mengulur waktu teman tadi, akankah kecelakaan itu dapat dihindari?
Sahabat pembaca sudah mulai paham dengan tulisan renungan saya?
Saya mencoba flash back, dahulu saya masuk fakultas ekonomi, lalu saya bertemu dengan istri saya, dan kini kami memiliki seorang putri yang cantik. Namun seandainya saya tidak masuk fakultas ekonomi mungkinkah saya tetap berjumpa dengan istri saya seperti sekarang? Atau mungkinkah kami tetap memiliki putri seperti sekarang? Atau justru dengan orang lain yang kita tidak tahu siapa dia? Atau jika telah diatur sedemikian rupa kami tetap bertemu dengan nuansa yang berbeda, tetapi pertanyaannya akankah seorang putri yang sama seperti saat ini?
Pilihan hidup seperti itu yang sering mampir kedalam pikiran saya, dalam keadaan pikiran kosong sering saya membayangkan kehidupan yang dapat kita rewind dan kita forward bagaikan kaset betamax atau DVD. Saya juga mencoba membayangkan seandainya mesin waktu benar-benar ada dan manusia bisa menentukan pilihan hidupnya seperti menulis novel dan meng-cut setiap adegan layaknya sebuah pembuatan film, tentu akan terasa indah kehidupan di dunia ini. Kita sebagai aktor, sebagai penulis skenario dan kita juga sebagai sutradara.
Namun, kehidupan tetaplah sebuah cerita yang harus kita tulis tiap lembarnya dengan ragam kata-kata, sayangnya ketika salah tulis, kata tersebut tidak dapat dihapus dengan tip-ex, dan diganti dengan kata yang lebih baik. Hidup adalah skenario yang kita tulis untuk film yang kita sutradarai sendiri. Sekali lagi, sayangnya kita tidak bisa meng-cut dan mengganti peran dengan stuntman.
Ketika tulisan ini dibuat, saya tengah asik menonton film secara marathon back to the future dan final destination. Time paradox tetaplah menjadi misteri…
Time Paradox, sering kali membuat actor hidpu kebingunggan. Seandainya seseorang X mempunyai anak Y, setelah sekian lama Y membunuh Z. yang mana Z adalah anak dari W, dan W sahabat baik X. jika time paradox bermain, maka kematian Z dapat saja dihindari dengan cara W membunuh X, sehingga X tidak memiliki anak Y dan di lain masa dan waktu Z dapat hidup tenang dengan W.
Sahabat pembaca bingung? Ok saya permudah dengan cara yang berbeda.
Pernah seorang sahabat mengajak saya ikut naik mobilnya, kebetulan kami satu arah dan tujuan, pulang ke rumah. Namun saya masih ingin membeli makanan ringan dahulu sebelum pulang, sebenarnya pilihan yang dilema… antara keinginan perut dan lumayan bias ngirit ongkos pulang. Hingga detik terakhir saya memutuskan untuk tidak ikut mobil sahabat saya. Dan bebrapa saat kemudian mobil tersebut tabrakan. Seandainya saya ikut dalam kendaraan tersebut, sudah pasti saya yang akan jadi korban. Namun yang sering menjadi pertanyaan saya adalah, kehidupan apa selanjutnya yang akan terjadi pada saya? Atau seandainya saya bisa mencegah dengan mengulur waktu teman tadi, akankah kecelakaan itu dapat dihindari?
Sahabat pembaca sudah mulai paham dengan tulisan renungan saya?
Saya mencoba flash back, dahulu saya masuk fakultas ekonomi, lalu saya bertemu dengan istri saya, dan kini kami memiliki seorang putri yang cantik. Namun seandainya saya tidak masuk fakultas ekonomi mungkinkah saya tetap berjumpa dengan istri saya seperti sekarang? Atau mungkinkah kami tetap memiliki putri seperti sekarang? Atau justru dengan orang lain yang kita tidak tahu siapa dia? Atau jika telah diatur sedemikian rupa kami tetap bertemu dengan nuansa yang berbeda, tetapi pertanyaannya akankah seorang putri yang sama seperti saat ini?
Pilihan hidup seperti itu yang sering mampir kedalam pikiran saya, dalam keadaan pikiran kosong sering saya membayangkan kehidupan yang dapat kita rewind dan kita forward bagaikan kaset betamax atau DVD. Saya juga mencoba membayangkan seandainya mesin waktu benar-benar ada dan manusia bisa menentukan pilihan hidupnya seperti menulis novel dan meng-cut setiap adegan layaknya sebuah pembuatan film, tentu akan terasa indah kehidupan di dunia ini. Kita sebagai aktor, sebagai penulis skenario dan kita juga sebagai sutradara.
Namun, kehidupan tetaplah sebuah cerita yang harus kita tulis tiap lembarnya dengan ragam kata-kata, sayangnya ketika salah tulis, kata tersebut tidak dapat dihapus dengan tip-ex, dan diganti dengan kata yang lebih baik. Hidup adalah skenario yang kita tulis untuk film yang kita sutradarai sendiri. Sekali lagi, sayangnya kita tidak bisa meng-cut dan mengganti peran dengan stuntman.
Ketika tulisan ini dibuat, saya tengah asik menonton film secara marathon back to the future dan final destination. Time paradox tetaplah menjadi misteri…
Metimeholic (Juli 2012)
Waktu libur di penghujung pekan adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh mereka yang berkerja kantoran, atau bekerja “day to day”, “nine to five”. Ketika weekend tiba, mereka telah menyiapkan berbagai acara dan kesibukan, mulai dari A hingga Z. Me time salah satunya, memanjakan diri, menikmati hari dengan sendiri, seolah tak ingin diganggu dengan hal-hal lain.
Sayangnya “me time” cukup membuat diri kita menjadi ketergantungan. Semakin sering dilakukan semakin kita merasa nyaman dan seolah lupa dengan sekliling kita. Bahwa kita hidup tidak untuk sendiri dan memanjakan diri. Bagi mereka yang masih hidup sendiri alias single tentunya tidak akan masalah, namun semakin sering menikmati “me time”, maka semakin larut dalam kesendiriannya. Tak terasa umur telah berjalan jauh meninggalkan semuanya.
Berbeda pula dengan mereka yang telah berkeluarga, metimeholic dapat merenggangkan hubungan keluarga yang sudah terbina rapi. Anak yang hari-harinya telah bersama pengasuh akan menjadi semakin erat kian harinya. Anak yang tiap harinya bersama eyangnya, akan terasa seperti menemukan dunia baru. Belum lagi jika sang anak sudah lancer mengeluarkan kata-kata protektifnya, “kata eyang boleh koq!”. Pasangan yang hari-harinya bersama rekan sekantor akan terasa seperti keluarga, lambat laun makin harmonis, alih-alih hubungan dan kedekatan rekan kerja berubah bak suami istri.
Jika sudah begini, tak ada yang mau dipersalahkan. Semua merasa benar, bagaikan dewa-dewi turun dari kayangan. Me time memang perlu untuk memanjakan diri dan menghidur diri dari kemelut pekerjaan dan benang kusut kehidupan. Awas… jangan sampai menjadi metimeholic.
Sayangnya “me time” cukup membuat diri kita menjadi ketergantungan. Semakin sering dilakukan semakin kita merasa nyaman dan seolah lupa dengan sekliling kita. Bahwa kita hidup tidak untuk sendiri dan memanjakan diri. Bagi mereka yang masih hidup sendiri alias single tentunya tidak akan masalah, namun semakin sering menikmati “me time”, maka semakin larut dalam kesendiriannya. Tak terasa umur telah berjalan jauh meninggalkan semuanya.
Berbeda pula dengan mereka yang telah berkeluarga, metimeholic dapat merenggangkan hubungan keluarga yang sudah terbina rapi. Anak yang hari-harinya telah bersama pengasuh akan menjadi semakin erat kian harinya. Anak yang tiap harinya bersama eyangnya, akan terasa seperti menemukan dunia baru. Belum lagi jika sang anak sudah lancer mengeluarkan kata-kata protektifnya, “kata eyang boleh koq!”. Pasangan yang hari-harinya bersama rekan sekantor akan terasa seperti keluarga, lambat laun makin harmonis, alih-alih hubungan dan kedekatan rekan kerja berubah bak suami istri.
Jika sudah begini, tak ada yang mau dipersalahkan. Semua merasa benar, bagaikan dewa-dewi turun dari kayangan. Me time memang perlu untuk memanjakan diri dan menghidur diri dari kemelut pekerjaan dan benang kusut kehidupan. Awas… jangan sampai menjadi metimeholic.
Menanti bis kota (Juli 2012)
Seseorang karwayan kantor tengah menunggu bis di pagi hari. Bis inilah yang selalu mengantarkannya ke kantor. Ia sengaja pergi 2 jam lebih awal, dengan harapan masih bisa sarapan di kantor dan berleha-leha. Biasanya bis pertama dan kedua tidak sepenuh bis ketiga dan ke empat.
Tak lama kemudian bis pertama datang. Namun sayang, tempat duduk bis sudah terisi, hanya ada tempat untuk berdiri. Ia pun memutuskan untuk menunggu bis yang kedua, dengan harapan masih dapat tempat duduk. Kebetulan waktu masuk kerja cukup lama. Hampir 20 menit berlalu, bis kedua datang dan lagi-lagi tempat duduk sudah terisi dari halte perjalanan sebelumnya. Sebenarnya ia masih bisa ikut dengan berdiri, walaupun sudah ada beberapa orang yang berdiri di bis.
Ia memutuskan untuk menunggu bis yang ketiga, walaupun ia sadar, keputusannya sangat berspekulasi. 20 menit pun berlalu, bis ketiga datang. Kali in bis lebih penuh dari bis sebelumnya tadi, bahkan tempat untuk berdiri pun sudah penuh sesak. Ia memutuskan untuk menunggu bis berikutnya yang tiba 20 menit kemudian.
Akhirnya, bis yang ditunggu-tunggu datang. Benar saja bis sudah penuh sesak dari halte sebelumnya, bahkan bebrapa penumpang pun tampak bergelantungan di depan pintu. Ia mencoba memaksakan diri ikut dalam perjalanan, namun sia-sia usahanya, Ia tak terangkut. Ia mencoba menunggu lagi dengan 20 menit berikutnya. Tekatnya dalam hati, bis kelima harus terangkut, atau ia akan terlambat tiba di kantor.
Tampak dari kejauhan bis yang kelima datang, namun bis tersebut tidak berhenti di halte karena sudah penuh. Dan ia masih belum bisa beranjak dari tempat haltenya. Sia-sia ia menunggu bis selama 1 jam 40 menit untuk pergi kekantornya. Kalaupun ia ikut bis keenam, sudah pasti terlambat masuk kantor dan bonya pasti akan marah, dan parahnya lagi ia akan dianggap indiscipliner. Ia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor dnegan alasan sakit.
*****
Sahabat pembaca, seberapa sering kita menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang kita anggap sepele dan tak berguna. Kita selalu berasumsi, “masih ada hari esok” atau “ngapain buru-buru, toh masih ada waktu” namun ketika kita menunggu dan menunggu dan ketika itu pula waktu telah terbuang percuma dan sia-sia. Sayangnya kita tidak bisa membeli waktu yang telah lalu dengan merewind...
Tak lama kemudian bis pertama datang. Namun sayang, tempat duduk bis sudah terisi, hanya ada tempat untuk berdiri. Ia pun memutuskan untuk menunggu bis yang kedua, dengan harapan masih dapat tempat duduk. Kebetulan waktu masuk kerja cukup lama. Hampir 20 menit berlalu, bis kedua datang dan lagi-lagi tempat duduk sudah terisi dari halte perjalanan sebelumnya. Sebenarnya ia masih bisa ikut dengan berdiri, walaupun sudah ada beberapa orang yang berdiri di bis.
Ia memutuskan untuk menunggu bis yang ketiga, walaupun ia sadar, keputusannya sangat berspekulasi. 20 menit pun berlalu, bis ketiga datang. Kali in bis lebih penuh dari bis sebelumnya tadi, bahkan tempat untuk berdiri pun sudah penuh sesak. Ia memutuskan untuk menunggu bis berikutnya yang tiba 20 menit kemudian.
Akhirnya, bis yang ditunggu-tunggu datang. Benar saja bis sudah penuh sesak dari halte sebelumnya, bahkan bebrapa penumpang pun tampak bergelantungan di depan pintu. Ia mencoba memaksakan diri ikut dalam perjalanan, namun sia-sia usahanya, Ia tak terangkut. Ia mencoba menunggu lagi dengan 20 menit berikutnya. Tekatnya dalam hati, bis kelima harus terangkut, atau ia akan terlambat tiba di kantor.
Tampak dari kejauhan bis yang kelima datang, namun bis tersebut tidak berhenti di halte karena sudah penuh. Dan ia masih belum bisa beranjak dari tempat haltenya. Sia-sia ia menunggu bis selama 1 jam 40 menit untuk pergi kekantornya. Kalaupun ia ikut bis keenam, sudah pasti terlambat masuk kantor dan bonya pasti akan marah, dan parahnya lagi ia akan dianggap indiscipliner. Ia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor dnegan alasan sakit.
*****
Sahabat pembaca, seberapa sering kita menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang kita anggap sepele dan tak berguna. Kita selalu berasumsi, “masih ada hari esok” atau “ngapain buru-buru, toh masih ada waktu” namun ketika kita menunggu dan menunggu dan ketika itu pula waktu telah terbuang percuma dan sia-sia. Sayangnya kita tidak bisa membeli waktu yang telah lalu dengan merewind...
Harta karun dalam tong sampah (Juli 2012)
Tahukah sahabat pembaca, pekerjaan apa yang paling membosankan? Menunggu. Kegitaan ini hampir tidak pernah terlepas dari saya, terlebih ketika saya harus menunggu kereta yang mengantar saya tiap harinya dari rumah ke tempat kerja. Maklum saja kereta di Jakarta tidak pernah on time, bahkan sering kali mengalami gangguan dan berujung dibatalkan perjalanan. Kali ini saya harus menerima pembatalan perjalanan kereta tersebut, dan saya harus menunggu hampir satu jam untuk kereta berikutnya.
Suasana menunggu di stasiun kebayoran lama sangat jauh dari kesan nyaman, selain banyaknya preman, gepeng dan sampah berserakan dimana-mana. Perhatian saya tertuju kepada dua anak kecil, sepertinya mereka kakak-adik. Mereka sempat menghampiri saya dan meminta uang sebagai belas kasihan. Saya pun berkata, “nggak dik… terima kasih”, pertimbangan saya adalah jika saya member uang ke mereka maka rombongan gepeng lainnya akan menyerbu saya, dan meminta belas kasihannya. Sangat dilema posisi saya, tapi itulah realita kehidupa di kota Jakarta yang konon telah menyebut dirinya kota megapolitan.
Perhatian mata saya masih tertuju kepada kakak-adik itu, sambil mengamati langkah apa yang akan diperbuat setelah menghampiri saya. Sang kakak masih melanjutkan meminta belas kasihan kepada seorang ibu paruh disebelah saya, dan hasilnya nihil. Sementara itu sang adik berada dibelakang saya sambil mengorek-ngorek tempat sampah yang penuh dengan lalat. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, apa yang dicarinya? Makanankah? Barang yang bisa dijual lagi kah? Atau apa? Tiba-tiba teriakan adik ke kakaknya memecah pikiran kosong saya, “abang… liat nih, gue nemu sesuatu”. Sang kakak pun menghampiri adiknya yang tengah sibuk dengan tong sampah, “nemu apaan lo?”
“horeee... gue nemu mainan robot-robotan”
“ada lagi gak?”
“cuman satu bang…”
“yah…. Gak ada lagi?”
”gak ada bang… coba abang yang cari…”
“ya udah deh kalo gak ada gak papa…”
“entarkan bisa kita mainin bedua bang…”
“iye… lo suka?”
“suka banget bang… kitekan gak pernah punya mainan beginian”
“iye… dah kayak nemu harta aje kite”
“yuk bang… kite balik aja, pengen mainin”
“yuk!... elo emang adik gue yang hebat”
Sungguh suatu pemandangan yang menyentuh, sayang saya tidak bisa berbuat banyak. Mereka pun berlalu dengan cepat, meninggalkan saya dalam kebenggongan di sore hari.
Sahabat pembaca…
Mungkin bagi kita benda-benda yang sudah rusak, mungkin bagi kita sudah sangat membosankan atau kita menganggapnya sudah tidak bernilai lagi karena rusak. Namun bagi segelintir orang, benda tersebut bak harta karun dalam hidupnya. Sudah seharusnyalah kita lebih melihat kebawah dalam kehidupan sosial, agar kita selalu bersyukur terhadap apa-apa yang kita miliki. Mungkin sesekali perlu juga kita merasakan kehidupan sosial yang berada dibawah untuk periode tertentu.
Suasana menunggu di stasiun kebayoran lama sangat jauh dari kesan nyaman, selain banyaknya preman, gepeng dan sampah berserakan dimana-mana. Perhatian saya tertuju kepada dua anak kecil, sepertinya mereka kakak-adik. Mereka sempat menghampiri saya dan meminta uang sebagai belas kasihan. Saya pun berkata, “nggak dik… terima kasih”, pertimbangan saya adalah jika saya member uang ke mereka maka rombongan gepeng lainnya akan menyerbu saya, dan meminta belas kasihannya. Sangat dilema posisi saya, tapi itulah realita kehidupa di kota Jakarta yang konon telah menyebut dirinya kota megapolitan.
Perhatian mata saya masih tertuju kepada kakak-adik itu, sambil mengamati langkah apa yang akan diperbuat setelah menghampiri saya. Sang kakak masih melanjutkan meminta belas kasihan kepada seorang ibu paruh disebelah saya, dan hasilnya nihil. Sementara itu sang adik berada dibelakang saya sambil mengorek-ngorek tempat sampah yang penuh dengan lalat. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, apa yang dicarinya? Makanankah? Barang yang bisa dijual lagi kah? Atau apa? Tiba-tiba teriakan adik ke kakaknya memecah pikiran kosong saya, “abang… liat nih, gue nemu sesuatu”. Sang kakak pun menghampiri adiknya yang tengah sibuk dengan tong sampah, “nemu apaan lo?”
“horeee... gue nemu mainan robot-robotan”
“ada lagi gak?”
“cuman satu bang…”
“yah…. Gak ada lagi?”
”gak ada bang… coba abang yang cari…”
“ya udah deh kalo gak ada gak papa…”
“entarkan bisa kita mainin bedua bang…”
“iye… lo suka?”
“suka banget bang… kitekan gak pernah punya mainan beginian”
“iye… dah kayak nemu harta aje kite”
“yuk bang… kite balik aja, pengen mainin”
“yuk!... elo emang adik gue yang hebat”
Sungguh suatu pemandangan yang menyentuh, sayang saya tidak bisa berbuat banyak. Mereka pun berlalu dengan cepat, meninggalkan saya dalam kebenggongan di sore hari.
Sahabat pembaca…
Mungkin bagi kita benda-benda yang sudah rusak, mungkin bagi kita sudah sangat membosankan atau kita menganggapnya sudah tidak bernilai lagi karena rusak. Namun bagi segelintir orang, benda tersebut bak harta karun dalam hidupnya. Sudah seharusnyalah kita lebih melihat kebawah dalam kehidupan sosial, agar kita selalu bersyukur terhadap apa-apa yang kita miliki. Mungkin sesekali perlu juga kita merasakan kehidupan sosial yang berada dibawah untuk periode tertentu.
Toilet sarana informasi dan kreatifitas (Juni 2012)
Pernahkah sahabat pembaca memperhatikan hal-hal kecil ketika berada di toilet umum? Baik itu toilet mall, kampus, sekolah, pasar, dll
Toilet sering dijadikan tempat berbagi informasi, bahkan beberapa penulis dan tim kreatif media sering muncul ide segar dari renungan kloset atau toilet.
Di beberapa toilet umum pasar sering dijumpai aneka grafiti dan ragam mural yang jika diperhatikan satu per satu secara detail sangat jauh dari kesan seni, bahkan kotor dan kumuh. Namun coba anda perhatikan secara menyeluruh. Segala hal akan nampak, mulai dari "jagalah kebersihan", "tarif BAB, BAK, BAB tanpa BAK, mandi" hingga aneka bentuk ukuran kelamin.
Toilet sekolah dan kampus misalnya, ajang kreatifitas dan informasi telah terbagi menjadi ajang profokatif antar kelompok siswa dan sang maha. Terkadang justru ada yang menawarkan ragam jasa penghibur beserta nomor teleponnya, tak lupa gambar dan bentuk ala kadarnya... Aneh tapi lucu, tempat yang seharusnya menjadi sarana pendidikan tapi justru menjadi night club.
Lain lagi dengan toilet umum yang di mall, hotel berbintang, perkantoran. Kesan mewah dan elegant justru lebih ditampilkan, belum lagi di beberapa tempat ada yang menyediakan kursi pijat, lukisan, alunan musik jazz, dll. Bahkan di beberapa perkantoran advertising, toilet juga menyajikan papan reklame dan informasi semacam mading (red. majalah dinding), tak berhenti di situ saja, ketersediaan aquarium dan TV kecil di setiap urinal, hingga kata-kata motivasi yang tiap harinya berubah.
Ada juga toilet berubah fungsi sebagai tempat dagang (red. jual-beli). Khusus yang satu ini, biasanya ada di perkantoran BUMN yang melarang karyawannya untuk berniaga di kantor, sehingga mereka kerap kali harus kucing-kucingan di toilet kantor.
Sekali waktu saya pernah ke toilet yang berada di kota shinjuku, tokyo. Toilet terbuat dari kaca yang dapat dilihat tembus pandang dari dalam toilet. Namun orang tidak dapat melihat isi toilet dari luar. Cukup unik... Serasa berada di rumah sendiri tanpa penghuni.
Apapun tujuan dan fungsinya toilet, tempat tersebut kini telah menjelma sebagai cikal bakal lahirnya
ide kreatifitas dan berbagi informasi. Bahkan toilet tidak melulu dijadikan tempat buang hajat.
Toilet sering dijadikan tempat berbagi informasi, bahkan beberapa penulis dan tim kreatif media sering muncul ide segar dari renungan kloset atau toilet.
Di beberapa toilet umum pasar sering dijumpai aneka grafiti dan ragam mural yang jika diperhatikan satu per satu secara detail sangat jauh dari kesan seni, bahkan kotor dan kumuh. Namun coba anda perhatikan secara menyeluruh. Segala hal akan nampak, mulai dari "jagalah kebersihan", "tarif BAB, BAK, BAB tanpa BAK, mandi" hingga aneka bentuk ukuran kelamin.
Toilet sekolah dan kampus misalnya, ajang kreatifitas dan informasi telah terbagi menjadi ajang profokatif antar kelompok siswa dan sang maha. Terkadang justru ada yang menawarkan ragam jasa penghibur beserta nomor teleponnya, tak lupa gambar dan bentuk ala kadarnya... Aneh tapi lucu, tempat yang seharusnya menjadi sarana pendidikan tapi justru menjadi night club.
Lain lagi dengan toilet umum yang di mall, hotel berbintang, perkantoran. Kesan mewah dan elegant justru lebih ditampilkan, belum lagi di beberapa tempat ada yang menyediakan kursi pijat, lukisan, alunan musik jazz, dll. Bahkan di beberapa perkantoran advertising, toilet juga menyajikan papan reklame dan informasi semacam mading (red. majalah dinding), tak berhenti di situ saja, ketersediaan aquarium dan TV kecil di setiap urinal, hingga kata-kata motivasi yang tiap harinya berubah.
Ada juga toilet berubah fungsi sebagai tempat dagang (red. jual-beli). Khusus yang satu ini, biasanya ada di perkantoran BUMN yang melarang karyawannya untuk berniaga di kantor, sehingga mereka kerap kali harus kucing-kucingan di toilet kantor.
Sekali waktu saya pernah ke toilet yang berada di kota shinjuku, tokyo. Toilet terbuat dari kaca yang dapat dilihat tembus pandang dari dalam toilet. Namun orang tidak dapat melihat isi toilet dari luar. Cukup unik... Serasa berada di rumah sendiri tanpa penghuni.
Apapun tujuan dan fungsinya toilet, tempat tersebut kini telah menjelma sebagai cikal bakal lahirnya
ide kreatifitas dan berbagi informasi. Bahkan toilet tidak melulu dijadikan tempat buang hajat.
Pseudonym vs Orthonym (Juni 2012)
Tepat akhir bulan maret 2012 lalu buku pertama saya terbit, kemudian di susul buku kedua. Saya diawal bulan mei 2012. Respon sangat positif, seperti yang sudah saya bayangkan sejak awal.
Namun yang lucu adalah pertanyaan sederhana dari sahabat pembaca saya, yang telah menyita pikiran saya. Kalau saja saya tidak menanggapinya, sudah dipastikan tulisan ini tidak pernah ada.
Beberapa sahabat pembaca menanyakan (pseudonym) mengenai penggunaan nama pena dalam penulisan di buku saya, menurut mereka nama aslilah yang sangat pantas dalam penerbitan buku perdana saya. Karena telah mengenal saya dengan nama asli (orthonym). Walaupun demikian saya lebih nyaman dengan sebutan nama kecil saya yang belakangan akan menjadi nama pena (pseudonym).
Pada tulisan saya kali ini untuk menjawab banyaknya pertanyaan serupa, yang sebelumnya tidak pernah saya tanggapi, bahkan saya telah menyimpannya dalam daftar pertanyaan retorika.
Dahulu nama pena (pseudonym) sering digunakan oleh penulis dimasa lalu untuk menyembunyikan jati diri dan menghindari penangkapan dari rezim represif. Baginya teriakan bathin, pemikiran dan tekanan jiwa sangat sulit dikemukakan didepan publik, bahkan kebebasan berpendapat dan hak asasi cendrung dikontrol oleh penguasa yang terusik dengan kicauan mereka. Dengan media tulisanlah mereka menuangkan semuannya, bahkan teriakan pedas tanpa sensor. Demi melindungi keluarga dan dirinya, nama pena (pseudonym) lah yang menjadi hiasan pada sampul muka buku.
Kini, nama asli (orthonym) telah banyak menghiasi buku-buku di toko buku dan perpustakaan. Penulis sudah tidak ketakutan dan khawatir terhadap karya tulisnya, walaupun terkadang rezim represif yang berkuasa masih ada saja yang terusik dengan indahnya tarian pena pada sebuah tulisan.
Samuel Langhorne Clemens yang lebih dikenal dengan nama pena Mark Twain atau Lewis Carroll yang terkernal dengan karyanya "Alice's adventure in wonderland" bernama asli Charles L Dodgson. Di Indonesia juga ada nama Buya Hamka yang diambil dari akronim Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Yapi Abdiel Tambayong yang lebih dikenal dengan nama Remy Sylado. Konon re mi si la do diambil dari nomor telepon rumah pertamanya dibandung dengan mengacu pada not balok musik do re mi fa si la si do. Lain Remy Sylado lain pula Enny Arrow, nama pseudonym ini tidak asing di telinga pembaca remaja dan dewasa di era 70 dan 80an. Maklum saja, karya tulisannya sangat fenomenal, saking fenomenalnya bahkan aparat negara pun tidak mengetahui keberadaannya? nama aslinya? dan bagaimana cara distribusi bukunya? Bahkan hingga kini jati dirinya tertutup rapat dari publik. Siapa pun dia, yang saya tahu Enny Arrow adalah penulis best seller novel dewasa (red. stensil) yang sangat fenomenal di-eranya.
Begitu pun dengan didot. Saya lebih nyaman dengan penggunaan nama pseudonym ketimbang orthonym, karena sesungguhnya kebebasan mengemukakan pendapat di ruang publik masih diatur dalam hukum yang tidak tertulis.
Namun yang lucu adalah pertanyaan sederhana dari sahabat pembaca saya, yang telah menyita pikiran saya. Kalau saja saya tidak menanggapinya, sudah dipastikan tulisan ini tidak pernah ada.
Beberapa sahabat pembaca menanyakan (pseudonym) mengenai penggunaan nama pena dalam penulisan di buku saya, menurut mereka nama aslilah yang sangat pantas dalam penerbitan buku perdana saya. Karena telah mengenal saya dengan nama asli (orthonym). Walaupun demikian saya lebih nyaman dengan sebutan nama kecil saya yang belakangan akan menjadi nama pena (pseudonym).
Pada tulisan saya kali ini untuk menjawab banyaknya pertanyaan serupa, yang sebelumnya tidak pernah saya tanggapi, bahkan saya telah menyimpannya dalam daftar pertanyaan retorika.
Dahulu nama pena (pseudonym) sering digunakan oleh penulis dimasa lalu untuk menyembunyikan jati diri dan menghindari penangkapan dari rezim represif. Baginya teriakan bathin, pemikiran dan tekanan jiwa sangat sulit dikemukakan didepan publik, bahkan kebebasan berpendapat dan hak asasi cendrung dikontrol oleh penguasa yang terusik dengan kicauan mereka. Dengan media tulisanlah mereka menuangkan semuannya, bahkan teriakan pedas tanpa sensor. Demi melindungi keluarga dan dirinya, nama pena (pseudonym) lah yang menjadi hiasan pada sampul muka buku.
Kini, nama asli (orthonym) telah banyak menghiasi buku-buku di toko buku dan perpustakaan. Penulis sudah tidak ketakutan dan khawatir terhadap karya tulisnya, walaupun terkadang rezim represif yang berkuasa masih ada saja yang terusik dengan indahnya tarian pena pada sebuah tulisan.
Samuel Langhorne Clemens yang lebih dikenal dengan nama pena Mark Twain atau Lewis Carroll yang terkernal dengan karyanya "Alice's adventure in wonderland" bernama asli Charles L Dodgson. Di Indonesia juga ada nama Buya Hamka yang diambil dari akronim Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Yapi Abdiel Tambayong yang lebih dikenal dengan nama Remy Sylado. Konon re mi si la do diambil dari nomor telepon rumah pertamanya dibandung dengan mengacu pada not balok musik do re mi fa si la si do. Lain Remy Sylado lain pula Enny Arrow, nama pseudonym ini tidak asing di telinga pembaca remaja dan dewasa di era 70 dan 80an. Maklum saja, karya tulisannya sangat fenomenal, saking fenomenalnya bahkan aparat negara pun tidak mengetahui keberadaannya? nama aslinya? dan bagaimana cara distribusi bukunya? Bahkan hingga kini jati dirinya tertutup rapat dari publik. Siapa pun dia, yang saya tahu Enny Arrow adalah penulis best seller novel dewasa (red. stensil) yang sangat fenomenal di-eranya.
Begitu pun dengan didot. Saya lebih nyaman dengan penggunaan nama pseudonym ketimbang orthonym, karena sesungguhnya kebebasan mengemukakan pendapat di ruang publik masih diatur dalam hukum yang tidak tertulis.
Roller Coaster (Juni 2012)
Walaupun sudah diperkenalkan ke publik sejak abad ke 17, namun roller coaster baru dipatenkan pada tahun 1885, wahana hiburan rakyat yang memacu adrenalin.
Sensasi terasa ketika kereta mulai bergerak dan menanjak ke puncak wahana. Perasaan seru, asik, gembira, ngeri, ciut, takut bercampur aduk. Ketika kereta tiba di puncak dan bersiap untuk meluncur kebawah adrenalin dipaksa berpacu dengan teriakan histeria, begitu pun seterusnya kereta pun mengikuti rel yang terpatri di wahana roller coaster.
Naik dengan perlahan menuju puncak, sembari menikmati nuansa alam dari atas perjalanan kereta menuju puncak. Belum puas kita menikmati nuansa alam sekitarnya dari atas ketinggian, kereta roller coaster pun, dipaksa turun mengikuti irama rel dengan sangat cepat. Saking cepatnya, kita pun teriak histeria, ada rasa takut, ngeri, dll.
Beruntung jika jalur rel turunnya tidak curam dan hanya sebentar, lalu kembali lagi menanjak ke puncak rel. Namun jika jalur turunnya sangat terjal, bahkan berputar-putar, mungkin saja kita sudah eneg, muntah, pusing, lemas atau pingsan.
Begitu pun dengan kehidupan, seperti layaknya sebuah kereta roller coaster yang tengah menanjak menuju puncak, kemudian turun lagi, lalu naik, turun, sesekali rel tampak datar. Perjalanan hidup, karir, keluarga, prestasi, pendidikan yang tengah kita lalui hari demi hari, bahkan tahunan. Kita ingin melaluinya dengan tenang dan nyaman seperti ketika kereta tengah menanjak dan selama mungkin berada di puncak (red. perjalanan hidup). Kalau pun harus mengikuti rel roller coaster meluncur turun, tentunya berharap tidak terlalu lama dan terburu-buru, sehingga bisa menikmati wahana roller coaster kehidupan.
Dalam kehidupan kita sering kali tidak siap, panik dan takut ketika harus meluncur turun, bahkan sering kali kita putus asa dan sedih yang berlarut-larut, sesekali mengasihani diri dengan kepesimisan.
Beruntung bagi saya dan keluarga kecil saya pernah mengalami 2 fase roller coaster tersebut dalam rentan waktu yang cukup melelahkan, setidaknya kami dapat berbagi cerita singkat kepada pembaca. Perjalanan meluncur turun serasa lama dan menjemukan, namun ketika mendaki menuju puncak serasa cepat dan tak berasa, tiba-tiba sudah harus mengikuti irama wahana roller coaster yang mengerikan.
Tak mungkinkah rel roller coaster tersebut menanjak, kemudian datar, lalu menanjak lagi, lalu datar, dan menanjak lagi, sesekali ada turunan yang relatif singkat dan kemudian menanjak lagi?
Mengapa tidak? mungkin saja!
Tidak sedikit orang yang beruntung, namun juga tidak sedikit pula orang yang kurang beruntung memilih wahana roller coaster. Manusia hanya cukup meyakini dirinya dengan sikap optimistis dan yang terpenting menikmati wahana roller coaster kehidupan, apa pun bentuk dan rintangannya, karena kitalah yang memilih wahana tersebut.
Kalau boleh saya mengutip perkataannya Thomas A Edison,"banyak kegagalan hidup adalah orang yang tidak menyaradari betapa dekatnya mereka dengan kesuksesan justru ketika mereka menyerah".
Sensasi terasa ketika kereta mulai bergerak dan menanjak ke puncak wahana. Perasaan seru, asik, gembira, ngeri, ciut, takut bercampur aduk. Ketika kereta tiba di puncak dan bersiap untuk meluncur kebawah adrenalin dipaksa berpacu dengan teriakan histeria, begitu pun seterusnya kereta pun mengikuti rel yang terpatri di wahana roller coaster.
Naik dengan perlahan menuju puncak, sembari menikmati nuansa alam dari atas perjalanan kereta menuju puncak. Belum puas kita menikmati nuansa alam sekitarnya dari atas ketinggian, kereta roller coaster pun, dipaksa turun mengikuti irama rel dengan sangat cepat. Saking cepatnya, kita pun teriak histeria, ada rasa takut, ngeri, dll.
Beruntung jika jalur rel turunnya tidak curam dan hanya sebentar, lalu kembali lagi menanjak ke puncak rel. Namun jika jalur turunnya sangat terjal, bahkan berputar-putar, mungkin saja kita sudah eneg, muntah, pusing, lemas atau pingsan.
Begitu pun dengan kehidupan, seperti layaknya sebuah kereta roller coaster yang tengah menanjak menuju puncak, kemudian turun lagi, lalu naik, turun, sesekali rel tampak datar. Perjalanan hidup, karir, keluarga, prestasi, pendidikan yang tengah kita lalui hari demi hari, bahkan tahunan. Kita ingin melaluinya dengan tenang dan nyaman seperti ketika kereta tengah menanjak dan selama mungkin berada di puncak (red. perjalanan hidup). Kalau pun harus mengikuti rel roller coaster meluncur turun, tentunya berharap tidak terlalu lama dan terburu-buru, sehingga bisa menikmati wahana roller coaster kehidupan.
Dalam kehidupan kita sering kali tidak siap, panik dan takut ketika harus meluncur turun, bahkan sering kali kita putus asa dan sedih yang berlarut-larut, sesekali mengasihani diri dengan kepesimisan.
Beruntung bagi saya dan keluarga kecil saya pernah mengalami 2 fase roller coaster tersebut dalam rentan waktu yang cukup melelahkan, setidaknya kami dapat berbagi cerita singkat kepada pembaca. Perjalanan meluncur turun serasa lama dan menjemukan, namun ketika mendaki menuju puncak serasa cepat dan tak berasa, tiba-tiba sudah harus mengikuti irama wahana roller coaster yang mengerikan.
Tak mungkinkah rel roller coaster tersebut menanjak, kemudian datar, lalu menanjak lagi, lalu datar, dan menanjak lagi, sesekali ada turunan yang relatif singkat dan kemudian menanjak lagi?
Mengapa tidak? mungkin saja!
Tidak sedikit orang yang beruntung, namun juga tidak sedikit pula orang yang kurang beruntung memilih wahana roller coaster. Manusia hanya cukup meyakini dirinya dengan sikap optimistis dan yang terpenting menikmati wahana roller coaster kehidupan, apa pun bentuk dan rintangannya, karena kitalah yang memilih wahana tersebut.
Kalau boleh saya mengutip perkataannya Thomas A Edison,"banyak kegagalan hidup adalah orang yang tidak menyaradari betapa dekatnya mereka dengan kesuksesan justru ketika mereka menyerah".
Arti dibalik kesempurnaan (Mei 2012)
Telah satu dekade saya mengenal pasangan hidup saya dan hampir satu windu kami menjalin sebuah keluarga dengannya. Saya jadi teringat dahulu ketika saya meminta restu menikah pada eyang putri. Saat itu beliau memberika sedikit wejangan pada saya, begini isinya...
"Dahulu kala ada seorang putra tunggal raja yang sangat tampan, pintar dan kaya raya. Sang pangeran memiliki tubuh dan fisik yang sangat sempurna, kesesohorannya sampai ke seantero jagat. Namun dibalik itu semua, ia belum memiliki pendamping hidup.
Maka berkelanalah ia sampai keujung dunia guna mencari calon pendampin hidupnya. Beberapa kali ia menemui wanita, selalu saja ia merasa tidak cocok. Hingga suatu ketika ia singgah di sebuah desa kecil yang sangat gersang. Bertemulah ia dengan kepala suku.
Singkat cerita pangeran tampan tersebut mengutarakan niatnya untuk mencari gadis yang hendak dipersuntingnya. Sang kepala suku pun memperkenalkan pada ketiga anak gadisnya. Alangkah terkejutnya sang pangeran ketika melihat kecantikan ketiga putrinya. Inginnya mempersunting ketiganya, namun ia hanya boleh memilih salah satu dari tiga putri kepala suku. Sang pangeran tampan diberi kesempatan untuk berkenalan dengan ketiga putri kepala suku sebelum akhirnya ia memilih salah satu untuk dipersunting sebagai permaisuri.
Akhirnya ia berkencan dengan putri pertama, namun sayang sang pangeran tidak menyukainya, karena matanya agak juling. Sang pangeran pun berkencan dengan putri kedua. Namun, belum genap dua jam ia tidak menyukainya lagi karena memiliki satu jari tangan yang rada bengkok. Sang pangeran pun merasa putus asa. Ia menyadari akan ketampanannya dan kesempurnaan dirinya, oleh karena itu ia menginginkan pasangan yang semourna pula seperti dirinya. Sang kepala suku pun menghampiri pangeran dengan putri ketiganya, singkat cerita pangeran pun berkencan dengan putri ketiga kepala suku. hingga akhirnya sang pangeran pun menjatuhkan pilihannya pada putri ketiga kepala suku, ynag menurut pangeran merupakan gadis paling sempurna di seluruh jagat dan tidak ada tandingannya sekalipun dengan kedua saudara putrinya.
Pernikahan pun digelar, sang raja pun dengan gembira menyambut anggota keluarga barunya. Kegembiraanya berlangsung hingga sembilan bulan mendatang. Ketika sang permaisuri melahirkan bayinya, sontak sang pangeran kaget bukan kepalang melihat wujud bayi laki-lakinya. bagaimana mungkin dirinya tampan, sempurna, sang permaisuri pun juga cantik, namun putranya berkulitkan hitam dan jauh dari mirip kedua orang tuanya? sang pangeran pun berkelana menemui ayah dari permaisurinya (red. kepala suku). setibanya di desa kepala suku, pangeran pun menceritakan peristiwa yang baru saja ia alami. Kepala suku menjawab, "mantuku sang pangeran, sesungguhnya putriku ketika dipersunting oleh panggeran ia telah hamil satu minggu". Alangkah terkejutnya sang pangeran mendengar cerita dari mertuanya sekaligus kepala suku."
Apa moral dari kisah ini sahabat?
Kesempurnaan mungkin hanya akan tampak diluarnya saja, namun sesungguhnya sangat sulit melihat kesempurnaan di dalam diri seseorang. Butuh waktu yang lama untuk mengenalnya lebih dari sempurna. Semakin kita mengejar kesempurnaan seseorang maka sesungguhnya kita telah terlena dalam penyesalan. Tak ada manusia yang terlahir sempurna. Baik, buruknya pasangan kita hanyalah diri kita yang bisa membuat kehadirannya lebih dari sempurna bagi diri kita.
Ketidak sempurnaan kecil yang membuat keluarga/pasangan kita menjadi sempurna.
Meniru 7 sifat setan (Mei 2012)
Setan adalah salah satu mahkluk ciptaan Tuhan yang dibenci oleh manusia, bahkan sang penciptan-Nya sekalipun. Namun sesungguhnya tahukah sahabat pembaca ada bebrapa sifat setan yang sebaiknya patut kita tiru, kita ambil sisi positifnya.
• Pantang menyerah
Setan tidak akan pernah menyerah selama keinginannya untuk menggoda manusia belum tercapai. Sedangkan manusia banyak yang mudah menyerah dan malah sering mengeluh.
• Selalu Berusaha
Setan akan mencari cara apapun untuk menggoda manusia dan agar tujuannya tercapai, selalu kreatif dan penuh ide. Sedangkan manusia ingin enaknya saja, banyak yang malas.
• Konsisten
Setan dari mulai diciptakan tetap konsisten pada pekerjaanya, tak pernah mengeluh dan berputus asa. Sedangkan manusia banyak yang mengeluhkan pekerjaannya, padahal banyak manusia lain yang masih ngaggur.
• Solider
Sesama setan tidak pernah saling menyakiti, bahkan selalu bekerjasama untuk menggoda manusia. Sedangkan manusia, jangankan peduli terhadap sesama, kebanyakan malah saling bunuh dan menyakiti.
• Jenius
Setan itu paling pintar mencari cara agar manusia tergoda. Sedangkan manusia banyak yang tidak kreatif, bahkan banyak yang jadi peniru dan plagiat.
• Tanpa Pamrih
Setan itu bekerja 24 Jam tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sedangkan manusia, apapun harus dibayar.
• Suka berteman
Setan adalah mahluk yang selalu ingin berteman, berteman agar banyak temannya di neraka kelak. Sedangkan manusia banyak yang lebihbersifat individualis,egois bahkan apatis.
Sabar (April 2012)
Sabar, sebuah kata yang mudah diucapkan seseorang yang sedang tidak mengalaminya, namun sulit dijalani bagi yang sedang mengalaminya.
Tidak percaya? Ketika anda sedang mengalami masalah yang berat dalam perjalanan hidup, yang anda rasa tidak sanggup menjalaninya. Kemudian datanglah seorang sahabat anda dan berkata "sabar". Hanya ada dua kemungkinan yang akan anda resapi, menerimanya dengan lapang dada atau anda menerimanya dengan resahan hati.
Ok... saya permudah dengan contoh sederhana. Kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, kegagalan dalam prestasi dan karir, bangkrut, musibah, sakit yang tak kunjung sembuh, dll. Bagaimana jika kesemuannya datang secara bersamaan pada anda? Bisa saja dengan mudah merusak mental kesabaran anda. Tidaklah salah jika seseorang memberikan penyemangat kepada anda dengan sebuah kata ajaib "sabar", namun yang saya garis bawahi disini adalah sabar tidaklah semudah orang mengucapkan bagi yang sedang menjalaninya. Tapi sabar justru mudah terucap bagi seseorang yang tidak sedang menjalani.
Lalu bagaimana sebaiknya bagi orang yang tidak menjalani "sabar". Tidak ada cara lain yang lebih bijak selain, memaklumi dan menempatkan dirinya di posisi yang sedang menjalani "sabar", daripada sekedar berucap "sabar". Mudah-mudahan sahabat pembaca dapat lebih bijak dengan ucapan "sabar", dan dapat lebih berbesar hati dengan menjalani kesabaran.
Selamat bersabar....
Matikan Tv (April 2012)
Televisi merupakan satu dari banyak sumber informasi dan media hiburan yang sangat interaktif dan aktual. Tv juga menyajikan beragam acara, yang sedikit demi sedikit membuat penonton kian ketagihan dan enggan beranjak. Di berbagai kesempatan program acara televisi juga memberikan rasa penasaran yang berlebihan bagi penonton, bagaimana tidak? Tayangnya masih beberapa minggu, cuplikan acaranya sudah gencar ditayangkan berulang kali.
Dahulu, tabung ajaib bergambar masih dianggap barang mewah. Kini telah menjelma sebagai properti wajib dalam setiap ruangan, apa pun fungsi dan kegunaan ruangan tersebut tanpa tv akan terasa janggal.
Di sadari atau tidak, televisi telah berhasil menyita separuh hidup anda, bahkan lebih. Kualitas berkumpul bersama keluarga menjadi berkurang, belum lagi keinginan setiap anggota rumah berbeda-beda dalam menonton. Ayah ingin nonton berita, ibu ingin nonton sinetron, kakak ingin nonton film drama, adik ingin nonton film laga, akhirnya yang terjadi saling rebutan, dan mempertahankan argumentasi keinginannya.
Sementara itu di banyak kesempatan hidup yang lain, kelompok yang berkecukupan akan membeli Tv lebih, agar tidak terjadi rebutan sesama anggota keluarga. Bisa jadi dalam sebuah ruang keluarga terdapat Tv lebih dari dua, untuk mengakomodir keinginan anggota keluarga.
Belum lagi dampak negatif yang ditimbulkan oleh tabung bergambar ajaib, yaitu
• Orang yang telah duduk nyaman di depan Tv cenderung malas untuk beranjak, apalagi melakukan aktifitas lain.
• Iklan Tv juga mengajarkan penonton untuk lebih bersifat konsumtif secara emosional ketimbang kebutuhan.
• Coba anda rasakan jika berada di depan Tv dalam waktu yang luang. 24 jam terasa cepat berlalu,
tanpa disadarai anda telah berada di depan Tv lebih dari 5 jam non stop.
• Televisi juga memicu sifat apatis dan individualis anda. Untuk yang terakhir ini cukup anda renungkan sambil
berada di depan televisi. Dan masih banyak lagi dampak negatif yang ditimbulkan dari kota ajaib bergambar ini.
Meskipun juga memberikan sisi positif yang banyak pula.
Mulai saat ini ubahlah gaya hidup anda, tidak perlu langsung mengubah drastis dengan tidak melihat televisi sama sekali, tapi cukup dalam satu hari tanpa televisi. Mata dan otak perlu istirahat yang cukup, setelah sepekan bekerja dan bertarung dengan kemacetan kota metropolitan.
Matikan tv dan tingkatkan kualitas hidup anda sekarang juga!
Banyak hal yang tak kasat mata (April 2012)
2 pekan saya tidak melakukan aktifitas menulis yang sering saya tekunin dalam periode harian. Pekan itu saya tengah larut dalam sebuah perjalanan spiritual yang menurut saya antara penting-tidak penting.
Pernahkah anda memiliki tujuan tertinggi dalam perjalanan hidup? Ok... saya sederhanakan lagi pertanyaannya, apa yang anda inginkan dalam kehidupan anda kedepan?
Apakah anda termasuk kelompok yang berorientasi materi, membahagiakan keluarga, pendidikan, karir, prestasi? atau apa? Memiliki sebuah rumah idaman, kendaraan impian, wisata keluar negeri mungkin menjadi menjadi alasan dalam pencapaian hidup yang tertinggi selain karir dan pendidikan. Cita-cita dan impian adalah tujuan utama manusia, manusia modern cenderung ingin memiliki keluarga yang harmonis, keturunan yang sempurna, masa depan yang cerah, puncak karir di usia produktif dan kesemuanya digambarkan dengan kesenangan dan senyuman.
Namun, apa yang akan anda lakukan jika hanya memiliki waktu satu jam dalam kehidupan anda saat ini?
Ingat Tuhan? Berasa ingin berdialog (red. doa dan ibadah) dengan-Nya lebih lama dari biasanya? Atau anda justru ingin menghubungi kawan lama, sekedar menanyakan kabar Atau menyambung tali silahturahmi? Atau mengucapkan kata maaf dan salam perpisahan pada seluruh sanak saudara, keluarga dan handai taulan? Atau anda justru ingin menghabiskan sisa hidup dengan bersenang-senang dan mewujudkan impian yang belum terpenuhi? Tapi, mungkinkah itu bisa dilaksanakan dalam kurun waktu kurang dari sejam?
24 dari 25 orang(1) menjawab, ingin berdialog dengan Tuhan lebih lama dari biasanya. Lalu, setelah itu mengucapkan kata maaf dan salam perpisahan pada semua yang ia kenal.
Sahabat pembaca... banyak hal yang tak kasat mata tapi justru memiliki arti dan pengaruh yang besar dalam perjalanan hidup kita.
(1) Penelitian sederhana pada kelompok kecil yang memiliki latar belakang heterogen dengan jumlah responden 25 orang.
Dengan metode kuisioner broadcast multi-chat
Antara cherry blossom dan demonstrasi (Akhir maret 2012)
Belahan dunia bagian utara tengah menikmati peralihan musim dingin ke semi, tidak hanya suhu saja yang beranjak sejuk. Daun dan bunga pun turut serta meramaikan keindahan alam. Pohon yang semula hanya menyisakan ranting dan dahan yang berselimutkan salju, kini telah di penuhi oleh daunnya. Pasukan bunga siap mekar menampilkan keindahan dan kemenawanannya.
Korea, Cina dan Jepang tengah asik dengan cherry blossom, kembang yang mekar di pohon selama kurang lebih 10 hari, setelah itu ia bersemi dengan alam.
Dibelahan dunia bagian selatan tengah memasuki musim gugur, daun dan tumbuhan tidak kalah indahnya dengan musim semi. Mereka seolah berlomba-lomba menampilkan daun yang penuh warna-warni, seolah mengisi kekosongan bunga yang telah mekar di musim semi. Angin pun berangsur-angsur menjadi sejuk tatkala malam menjemput.
Sementara itu jauh di sebuah negeri kepulauan yang terletak di belahan katulistiwa tengah bergumul dengan kebijakan yang tak kunjung padam. Mulai dari isu kenaikan bbm hingga kebocoran fiskal dari pendapatan pajak. Tarik ulur kebijakan politik dalam negeri yang berimbas memanasnya suhu temperatur. Badai angin tropis yang enggan bersahabat dengan manusia. Entah siapa yang memulainya, tapi negeri yang dulunya bernama insulinde, seolah tengah asik dengan musim berdemonstrasi anarki, mengadu domba rakyatnya, sementara sang penguasa tengah tertidur pulas.
Tak bisakah sebuah negeri yang diberi nama oleh adolf bastian, ikut merasakan ketentraman saat datangnya musim triwulan kedua ini? Atau mungkinkah sang Esa sedang bermain april mop?
Doa bukan ban serep (Maret 2012)
Pernahkah ketika kita berdoa pada Tuhan dan mengharapkan agar doa kita langsung dikabulkan saat itu juga? Atau pernahkah kita berdoa tiap saat namun tidak juga dikabulkan, seolah Tuhan tidak mendengarkan doa kita? Adakah yang salah dengan doa kita?
*****
Beberapa hari yang lalu saya terlibat diskusi yang menarik dari beberapa pengunjung yang notabenenya saya tidak mengenalnya. Saat itu saya tengah menikmati suasana pagi sambil menyeruput kopi susu indochina di sebuah kedai kopi. Kebetulan kami duduk sejajar dengan bangku yang terbuat dari kayu memanjang hampir memenuhi seisi kedai kopi kelas rakyat. Jadi otomatis saya dapat dengan mudah mengakrabkan diri dengan para pengunjung lainnya.
Pembicaraan mulai menarik ketika salah seorang dari mereka mencurahkan isi hatinya tentang problema hidup yang sedang dihadapi. Ia baru terkena PHK, istri tidak bekerja, tanggungan anak banyak, dan salah satu anaknya memiliki fisik yang terbatas (red. cacat fisik). Sahabatnya pun juga tak kalah seru dengan menceritakan masalah priibadinya, mulai dari hutang hingga cicilan rumah yang tak kunjung usai. Sampai pada akhirnya keluhan mereka mengarah ketidakadilan Tuhan. Mau tidak mau, pemilik warung nimbrung pembicaraan dan lagi-lagi kalimat “sabar” dan “istighfar” terucap berulang kali dari mulut pemilik warung.
Rasanya kalimat itu berkesan klise, mudah diucapkan bagi yang tidak merasakannya dan sulit di lakukan bagi yang merasakannya. Saya tidak menanggapi pembicaraan mereka, hanya saja saya mendengarkan semua keluhannya. Jangankan ibadah wajib (red. sholat), doa pun mereka layangkan dengan khusyuk setiap saat, setiap waktu, setiap menit. Singkat cerita, saya harus menyudahi curhatan mereka, karena waktu juga yang meminta saya untuk beraktifitas lain. Sebelum saya meninggalkan mereka bertiga termasuk pemilik warung, saya berucap “maaf ya mas... doa bukan lampu aladin yang setiap waktu kita dapat memintanya dengan mengosok-gosok. Mungkin ada yang salah dalam setiap doanya”
*****
Sahabat, doa bukanlah ban serep yang setiap waktu kita dapat memintanya, menganti permohonan, mengubah rencana-Nya. Doa pun juga tidak seperti lampu ajaib aladdin, yang cukup dengan mengosok-gosoknya langsung terkabul semua permintaan kita. Memang sebagai orang yang beriman saya percaya hanya kepada-Nya tempat meminta dan memohon, namun Apa pun agama dan kepercayaan anda, Tuhan bukanlah jin yang dapat memberikan semua permintaan kita dengan sekejap, tanpa basa-basi, tanpa usaha.
Pernahkan sahabat mengkoreksi diri sebelum meminta dan memohon pada tuhan lewat beragam doa? Adakah yang salah dengan doa ku? Sekali lagi, doa bukanlah ban serep, yang hanya kita perlukan ketika sedang butuh. Berdoa tidak pada saat senang maupun susah saja, tapi doa juga merupakan komunikasi kita dengan Tuhan. Mau diberi kesenangan disyukuri, diberi kesusahan disyukuri juga.
Yakinilah Tuhan tidak memberikan apa yang kita minta, tapi Ia memberikan apa yang kita butuhkan. Sama halnya ketika anak anda meminta dibelikan ice cream (saat itu ia sedang sakit flu), anda tidak langsung membelikannya. Tetapi menunggu ketika anak anda telah sembuh dari sakitnya.
Angka 0 (Maret 2012)
0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789
0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789
0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789
0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789
0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789
0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789
0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789
0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789
0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789
0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789 0123456789
Kita sering kali melihat bahwa angka 9 merupakan angka tertinggi dalam pencapaian nilai suatu skala, begitu pun sebaliknya pada angka 0. Sebagai contoh: kalkulator, telepon, remote tv, dll. Hanya terdapat angka 0-9. Namun jika 0 bermutasi diri dengan bilangan genap komposit(1) maka 9 bukanlah angka sempurna. Melainkan 10. Karena 0 tidak bisa berdiri sendiri karena ia tidak termasuk bilangan asli, maka 0 hanya dapat disempurnakan dengan bilangan asli yang ada dibelakangnya. 10, 20, 30, ..., 100, dst.
Lalu, apa kaitannya dengan kehidupan sehari-hari?
Sering kita melihat perolehan nilai terendah dalam hidup menjadi sebuah hambatan dan rintangan. Kegagalan dalam pencapaian tujuan berdampak dengan hilangnya semangat. Seberapa banyak kita menghadapi rintangan justru akan membentuk pribadi yang tangguh. Dan seberapa sering menngalami kegagalan dalam pencapaian tujuan, justru akan memperkaya pengalaman hidup dalam menuju keberhasilan. Seperti halnya bilangan 0 yang bermutasi dengan angka 1, sehingga anda akan mendapat nilai sempurna 10 atau 100.
Mulai sekarang, jika anda mendapat banyak kegagalan dalam hidup, cukup tambahkan saja dengan satu keberhasilan yang anda yakini, maka anda mencapai nilai kesempurnaan dalam pencapaian hidup
(1) Bilangan asli lebih besar dari 1 yang tidak termasuk bilangan non prima
Dibalik rasa benci (Maret 2012)
Aku benci kamu. Aku menangis, aku marah. Aku benci kamu! Tiap hari kamu sakiti aku. Esoknya, kamu sakiti aku lagi. Aku benci kamu! Aku menangis. Aku marah sama kamu! Lusanya kamu sakiti aku lagi. Aku benci kamu. Aku menangis lagi. Aku benci kamu! Tiap hari kamu buat aku menangis! Tiap saat kamu buat aku membenci mu. Tiap kali kamu sakiti aku. Tiap kali kamu marahi aku. Aku benci kamu! Aku benci kamu! Aku cuman bisa menangis, tiap kali kamu marahi aku. Tiap kali kamu sakiti aku. Aku cuman bisa menangis dan membencimu. Bulan pun berganti tahun, namun aku pun masih membenci kamu. Aku masih menangis, aku masih marah. Aku benci kamu! Tiap hari kamu masih sakiti aku. Esoknya, kamu sakiti aku lagi. Aku benci kamu! Aku masih menangis. Aku masih marah sama kamu! Lusanya kamu masih sakiti aku lagi. Aku benci kamu. Aku masih menangis lagi. Aku benci kamu! Tiap hari kamu buat aku menangis! Tiap saat kamu buat aku membenci mu. Tiap kali kamu sakiti aku. Tiap kali kamu marahi aku. Aku benci kamu! Aku benci kamu! Aku cuman bisa menangis, tiap kali kamu marahi aku. Tiap kali pula kamu sakiti aku. Aku cuman bisa menangis dan masih membencimu tiap kali dirimu memarahi aku. Namun kali ini... Aku sungguh-sungguh benci kamu!
-----
Tahukah sahabat? Dibalik seribu rasa kebencian terhadap pasangan, ternyata masih ada seberkas cinta kasih yang tulus. Itulah mengapa seperti ada rasa kehilangan dan rindu setiap kali berpisah dengan pasangan kita.
Coba anda baca huruf merah dari awal hingga akhir.
.......
......
.....
....
...
..
.
"Aku cinta kamu. Apa pun kamu, bagiku kamu sempurna"
Esemka (Maret 2012)
Diakhir bulan febuari 2012, tepatnya tanggal 27 mobil produksi putra putri SMK resmi menjalani uji emisi dan kelayakan yang merupakan rangkaian dari syarat untuk dapat di produksi secara massal dari departmen perindustrian dan perhubungan selaku wakil dari pemerintah. Namun nampaknya dewi fortuna sedang enggan mendekatinya. Dua hari setelahnya, pemerintah melalui balai pengujian termodinamika motor di serpong mengumumkan bahwa mobil produksi murid SMK tidak lolos uji emisi dan kelayakan sebagai mana mustinya sebuah kendaraan untuk dapat beroperasi di perkotaan.
Ada banyak hal yang mengurangi syarat mutlak kelayakan, ambang batas emisi gas buang, tingkat kebisingan mesin, intensitas lampu utama, dll
Yang menjadi pertanyaan saya adalah,
jika esemka mendapat persyaratan yang begitu ketat, bagaimana dengan angkutan publik yang bernama METRO MINI, KOPAJA, BAJAJ non bbg dan teman-teman lainnya? Yang jauh dari kata layak sebagai angkutan publik. Rasanya slogan "go green" sebaiknya diganti dengan "go black", yang lebih mencerminkan pemerintah Indonesia.
Alangkah lucunya pendidikan di negeri ini (Februari 2012)
_
Masalah pendidikan di negeri ini bagaikan komedi putar, yang sulit menemukan titik awal permasalahan. Bukan hanya permasalahannya saja solusi penanganannya pun berkesan birokrasi. Layaknya komedi putar dengan kuda-kudaan yang bergerak naik turun secara monoton. Sistim pendidikan cenderung meneruskan sistim dan paradigma pendahulunya jauh sebelum bangsa ini merdeka.
Warisan sistim pendidikan jaman belanda dan jepang telah membelenggu pelaku pendidikan di negeri ini, yang sudah kadarluarsa.
Bagaimana tidak, pendidikan yang seyogyanya menjadi perioritas dalam menciptakan pemuda masa depan yang unggul dan mampu bersaing, telah disusupi dengan kepentingan politik dan bisnis. Sarana dan pra sarana telah menjadi ajang jual beli kepentingan. Belum lagi kelakuan para pengajar yang berkesan layaknya dewa kebenaran. Sebuah anekdot klasik pun mencatat, "pasal 1: guru selalu benar. Pasal 2: jika guru salah lihat pasal 1". Paradigma semacam itu telah terdoktrin dibenak mereka, hingga bergulirnya sebuah sistim pendidikan di indonesia.
Ada satu pribahasa "guru kencing berdiri, murid kencing berlari", yang mengandung makna murid biasanya mencontoh gurunya langsung, maka guru sebaiknya jangan memberikan contoh yang buruk kepada muridnya. Sebagai contoh sederhana; murid dilarang datang kesekolah terlambat. Nyatanya, guru negeri di kota besar sering datang terlambat. Alasannya klise, macet. Ada lagi contoh yang dipertontonkan oleh kaum pengajar, merokok. Para pengajar atau guru atau instruktur sah saja merokok, bahkan di lingkungan sekolah sekali pun. Namun para murid tidak boleh merokok, tidak perduli di luar sekolah sekali pun. Masih banyak kasus lainnya yang terjadi dengan sistim pendidikan indonesia, jangan salahkan sebuah pribahasa "buah tidak jauh dari pohonnya".
Fenomena tawuran pelajar, contek-menyontek saat UAN/ujian, sex bebas di kalangan pelajar, suap, jual-beli nilai dan jawaban ujian/UAN, jual-beli skripsi, dan lain-lain. Siapa yang harus bertanggung jawab kalau sudah begini? Muridnya kah? Lingkungannya kah? Gurunya kah? Orang tuanya kah? sistim pendidikannya? Atau perkembangan jaman? Yang selalu dikambing hitamkan. Yang pasti semua pihak merasa benar dan tidak ada yang mau disalahkan.
Kelompok pengajar akan beralibi, "kita sudah mendidiknya, namun kembali ke moral siswanya yang bejat", ada lagi berdahlil, "kegiatan siswa di luar lingkungan sekolah bukan tanggung jawab kami" atau "sulit sekali mengontrol siswa di luar jam sekolah". Beribu alasan diteriakan tapi tak pernah ada yang mau menyelesaikan PR tersebut, bahkan saling cuci tangan.
Saya jadi teringat ketika masih berseragam putih-biru pada salah satu sekolah negeri di wilayah jakarta selatan. Para murid sering diberikan tugas pada LKS (lembar kerja siswa) di jam pelajaran berlangsung, sementara guru entah sibuk dengan urusannya pada jam kegiatan belajar berlangsung. Kertas LKS diperoleh dengan membeli di koperasi sekolah. Kegiatan ini berlangsung sering dan berulangkali. Selesai mengerjakan, tugas dikumpulkan di meja guru.
Kasus lain, ketika saya berseragam putih-merah adalah sistim absensi. Biasanya diawal jam pelajaran pertama, guru akan mengabsen muridnya satu per satu. Apesnya jika dalam satu kelas terdapat 38 - 40 murid, yang menjadi pemandangan biasa di sekolah negeri. Satu jam mata pelajaran (+ 45 menit) akan dihabiskan untuk mengabsen, belum lagi jika ada yang tidak hadir tanpa keterangan. Mereka mendadak sok sibuk dengan menanyakan keberadaan murid yang tidak masuk dengan teman sebangku dan sekelasnya. Ganti mata pelajaran, ganti pula guru pengajar. Guru selanjutnya mengulangi kegiatan yang telah dilakukan oleh guru sebelumnya, absen satu per satu.
Berbicara sistim satuan jam pelajaran di sekolah negeri membuat saya berpikir seribu kali. Aturan mana yang menerapkan bahwa satu jam pelajaran setara dengan 45 menit pada satuan waktu. Alangkah baiknya jika dalam satu jam pelajaran tetap sama dengan 1 jam atau 60 menit pada satuan waktu. Jadi, jika sedang berlangsung pelajaran 2 jam mata pelajaran, bearti proses belajar-mengajar adalah 1 jam 30 menit (90 menit), bukan 2 jam (120 menit). Belakangan saya baru mengetahui bahwa sistim satuan jam pelajaran adalah 45 menit bukan 60 menit adalah warisan dari sistim pendidikan belanda ketika masih menjajah indonesia 3,5 abad. Penjelasan itu justru bukan dari para pengajar, melaikan dari praktisi dan pemerhati dunia pendidikan indonesia.
Sistim penerimaan murid baru, dari siswa kanak-kanak hingga siswa dengan embel-embel "maha" selalu menjadi ladang uang bagi penyelenggara pendidikan. Hal ini diperparah dengan pemahaman para orang tua, mereka berasumsi jika anaknya tidak diterima bersekolah maka anaknya bodoh. Sekolah dan para penyelenggara pendidikan, ramai-ramai melihat fenomena ini bagai waktu panen tiba. Disinilah malpraktek penerimaan murid bermain. Ada uang ada bangku. Walaupun hingga kini masih sulit dibuktikan, namun sudah jutaan orang tua di indonesia mengalami kasus pemerasan dalam penerimaan murid.
Terdapat keunikan lain dari sistim pendidikan di indoensia, yaitu salah satu persyaratan penerimaan murid sekolah dasar kelas pertama adalah usia minimal 6 tahun pada bulan juli. Walaupun berusia 6 tahun kurang satu hari (red. 1 agustus) tetap saja tidak di terima, kecuali dengan mahar khusus bernama rupiah (red. menyogok). Pada sekolah dasar negeri percontohan, pihak sekolah berani menerapkan usia minimun untuk kelas 1 adalah 7 tahun.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah, mengapa acuan batasan usia di ukur pada tengah tahun kalender masehi? Beragam jawaban dari para penyelenggara pendidikan mengaku adalah aturan dari pusat (red. Depdikbud) dan awalnya tahun ajaran akademik. Belakangan saya baru mengetahui bahwa tahun ajaran pendidikan dimulai pada pertengahan tahun merupakan warisan pendidikan jaman belanda. Alangkah lucunya pendidikan di negeri ini, menganut sistim yang sudah kadaluarsa, berkesan tidak memiliki pendirian yang kuat dalam menjalankan sebuah sistim pendidikan.
Masih banyak kasus-kasus lain yang terjadi di lingkungan pendidikan di indonesia, yang tak akan habis untuk diceritakan. Sungguh aneh tapi nyata, tapi itulah realita.
Hadirnya sekolah-sekolah nasional plus, internasional, sekolah tinggi, sekolah profesi/kejuruan hanya menambah masalah baru didunia pendidikan, jika sistim yang menjadi acuan inti telah kadaluarsa. Berbagai metode baru pendidikan pun ramai-ramai diperkenalkan pada sekolah non negeri. Yang pada akhirnya semua akan nampak hasilnya ketika berada dilingkungan pekerjaan.
Saya percaya setiap manusia memiliki jiwa pengajar, namun sedikit yang mempunyai mental pendidik. Ironisnya mereka bersikap hanya mau didengar tanpa pernah mau mendengar.
Masalah pendidikan di negeri ini bagaikan komedi putar, yang sulit menemukan titik awal permasalahan. Bukan hanya permasalahannya saja solusi penanganannya pun berkesan birokrasi. Layaknya komedi putar dengan kuda-kudaan yang bergerak naik turun secara monoton. Sistim pendidikan cenderung meneruskan sistim dan paradigma pendahulunya jauh sebelum bangsa ini merdeka.
Warisan sistim pendidikan jaman belanda dan jepang telah membelenggu pelaku pendidikan di negeri ini, yang sudah kadarluarsa.
Bagaimana tidak, pendidikan yang seyogyanya menjadi perioritas dalam menciptakan pemuda masa depan yang unggul dan mampu bersaing, telah disusupi dengan kepentingan politik dan bisnis. Sarana dan pra sarana telah menjadi ajang jual beli kepentingan. Belum lagi kelakuan para pengajar yang berkesan layaknya dewa kebenaran. Sebuah anekdot klasik pun mencatat, "pasal 1: guru selalu benar. Pasal 2: jika guru salah lihat pasal 1". Paradigma semacam itu telah terdoktrin dibenak mereka, hingga bergulirnya sebuah sistim pendidikan di indonesia.
Ada satu pribahasa "guru kencing berdiri, murid kencing berlari", yang mengandung makna murid biasanya mencontoh gurunya langsung, maka guru sebaiknya jangan memberikan contoh yang buruk kepada muridnya. Sebagai contoh sederhana; murid dilarang datang kesekolah terlambat. Nyatanya, guru negeri di kota besar sering datang terlambat. Alasannya klise, macet. Ada lagi contoh yang dipertontonkan oleh kaum pengajar, merokok. Para pengajar atau guru atau instruktur sah saja merokok, bahkan di lingkungan sekolah sekali pun. Namun para murid tidak boleh merokok, tidak perduli di luar sekolah sekali pun. Masih banyak kasus lainnya yang terjadi dengan sistim pendidikan indonesia, jangan salahkan sebuah pribahasa "buah tidak jauh dari pohonnya".
Fenomena tawuran pelajar, contek-menyontek saat UAN/ujian, sex bebas di kalangan pelajar, suap, jual-beli nilai dan jawaban ujian/UAN, jual-beli skripsi, dan lain-lain. Siapa yang harus bertanggung jawab kalau sudah begini? Muridnya kah? Lingkungannya kah? Gurunya kah? Orang tuanya kah? sistim pendidikannya? Atau perkembangan jaman? Yang selalu dikambing hitamkan. Yang pasti semua pihak merasa benar dan tidak ada yang mau disalahkan.
Kelompok pengajar akan beralibi, "kita sudah mendidiknya, namun kembali ke moral siswanya yang bejat", ada lagi berdahlil, "kegiatan siswa di luar lingkungan sekolah bukan tanggung jawab kami" atau "sulit sekali mengontrol siswa di luar jam sekolah". Beribu alasan diteriakan tapi tak pernah ada yang mau menyelesaikan PR tersebut, bahkan saling cuci tangan.
Saya jadi teringat ketika masih berseragam putih-biru pada salah satu sekolah negeri di wilayah jakarta selatan. Para murid sering diberikan tugas pada LKS (lembar kerja siswa) di jam pelajaran berlangsung, sementara guru entah sibuk dengan urusannya pada jam kegiatan belajar berlangsung. Kertas LKS diperoleh dengan membeli di koperasi sekolah. Kegiatan ini berlangsung sering dan berulangkali. Selesai mengerjakan, tugas dikumpulkan di meja guru.
Kasus lain, ketika saya berseragam putih-merah adalah sistim absensi. Biasanya diawal jam pelajaran pertama, guru akan mengabsen muridnya satu per satu. Apesnya jika dalam satu kelas terdapat 38 - 40 murid, yang menjadi pemandangan biasa di sekolah negeri. Satu jam mata pelajaran (+ 45 menit) akan dihabiskan untuk mengabsen, belum lagi jika ada yang tidak hadir tanpa keterangan. Mereka mendadak sok sibuk dengan menanyakan keberadaan murid yang tidak masuk dengan teman sebangku dan sekelasnya. Ganti mata pelajaran, ganti pula guru pengajar. Guru selanjutnya mengulangi kegiatan yang telah dilakukan oleh guru sebelumnya, absen satu per satu.
Berbicara sistim satuan jam pelajaran di sekolah negeri membuat saya berpikir seribu kali. Aturan mana yang menerapkan bahwa satu jam pelajaran setara dengan 45 menit pada satuan waktu. Alangkah baiknya jika dalam satu jam pelajaran tetap sama dengan 1 jam atau 60 menit pada satuan waktu. Jadi, jika sedang berlangsung pelajaran 2 jam mata pelajaran, bearti proses belajar-mengajar adalah 1 jam 30 menit (90 menit), bukan 2 jam (120 menit). Belakangan saya baru mengetahui bahwa sistim satuan jam pelajaran adalah 45 menit bukan 60 menit adalah warisan dari sistim pendidikan belanda ketika masih menjajah indonesia 3,5 abad. Penjelasan itu justru bukan dari para pengajar, melaikan dari praktisi dan pemerhati dunia pendidikan indonesia.
Sistim penerimaan murid baru, dari siswa kanak-kanak hingga siswa dengan embel-embel "maha" selalu menjadi ladang uang bagi penyelenggara pendidikan. Hal ini diperparah dengan pemahaman para orang tua, mereka berasumsi jika anaknya tidak diterima bersekolah maka anaknya bodoh. Sekolah dan para penyelenggara pendidikan, ramai-ramai melihat fenomena ini bagai waktu panen tiba. Disinilah malpraktek penerimaan murid bermain. Ada uang ada bangku. Walaupun hingga kini masih sulit dibuktikan, namun sudah jutaan orang tua di indonesia mengalami kasus pemerasan dalam penerimaan murid.
Terdapat keunikan lain dari sistim pendidikan di indoensia, yaitu salah satu persyaratan penerimaan murid sekolah dasar kelas pertama adalah usia minimal 6 tahun pada bulan juli. Walaupun berusia 6 tahun kurang satu hari (red. 1 agustus) tetap saja tidak di terima, kecuali dengan mahar khusus bernama rupiah (red. menyogok). Pada sekolah dasar negeri percontohan, pihak sekolah berani menerapkan usia minimun untuk kelas 1 adalah 7 tahun.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah, mengapa acuan batasan usia di ukur pada tengah tahun kalender masehi? Beragam jawaban dari para penyelenggara pendidikan mengaku adalah aturan dari pusat (red. Depdikbud) dan awalnya tahun ajaran akademik. Belakangan saya baru mengetahui bahwa tahun ajaran pendidikan dimulai pada pertengahan tahun merupakan warisan pendidikan jaman belanda. Alangkah lucunya pendidikan di negeri ini, menganut sistim yang sudah kadaluarsa, berkesan tidak memiliki pendirian yang kuat dalam menjalankan sebuah sistim pendidikan.
Masih banyak kasus-kasus lain yang terjadi di lingkungan pendidikan di indonesia, yang tak akan habis untuk diceritakan. Sungguh aneh tapi nyata, tapi itulah realita.
Hadirnya sekolah-sekolah nasional plus, internasional, sekolah tinggi, sekolah profesi/kejuruan hanya menambah masalah baru didunia pendidikan, jika sistim yang menjadi acuan inti telah kadaluarsa. Berbagai metode baru pendidikan pun ramai-ramai diperkenalkan pada sekolah non negeri. Yang pada akhirnya semua akan nampak hasilnya ketika berada dilingkungan pekerjaan.
Saya percaya setiap manusia memiliki jiwa pengajar, namun sedikit yang mempunyai mental pendidik. Ironisnya mereka bersikap hanya mau didengar tanpa pernah mau mendengar.
Ke aku-an Indonesia (Februari 2012)
Saya menyadari jika nantinya terdapat kontra dalam penulisan ini.
Maksud dari isi tulisan ini, mengajak pembaca untuk merenungkan dan memahami makna keaku-an yang sudah mulai menjadi budaya dari jati diri orang indonesia.
Baru saja saya menyadari penggalan lagu indonesia raya, sesaat ketika putri saya dengan suara lantang mengkumandangkan lagu kebangsaan dalam sebuah acara pentas di sekolahnya.
"... Indonesia tanah airku | tanah tumpah daraku | disanalah aku berdiri | jadi pandu ibu ku..."
Refrain-nya
"... Indonesia raya merdeka-merdeka | tanah ku | negeri ku | yang ku cinta..."
Ada yang salah? Tidak! "Tapi cukup mengherankan saja", menurut saya... Apakah tidak berkesan individualis? Dengan bangga menyebutkan keaku-an. Seolah hanya boleh aku saja yang berdiri disana, orang lain tidak boleh. Menjadi pandu/panutan bagi ibuku, bukan makna milik bersama. Tidakkah lebih baik jika diucapkan dengan "kami" atau "kita" seperti semangat gotong-royong, kebersamaan, persatuan dan kesatuan yang telah menjadi cermin bangsa indonesia sejak dulu kala?
Lain lagu kebangsaan, lain pula lagu nasional. Sebut saja "garuda pancasila", indonesia pusaka, dari sabang sampai merauke. Keaku-an dan individualis juga ditonjolkan dalam bait lirik, ketimbang kata "kita" atau "kami" sebagai simbol milik bersama untuk tujuan bersama.
"... Garuda pancasila | akulah pendukungmu..."
"...indonesia tanah air beta | pusaka abadi nan jaya..."
"...sambung-menyambung menjadi satu | itulah indonesia | indonesia tanah airku | aku berjanji padamu | menjunjung tanah airku..."
Coba anda simak dengan lagu kebangsaan didunia yang mengandung arti kolektif "kami" dan "kita".
Sebut saja amerika serikat,
"...gave the proof thro' the night | that our flag was still there...".
Atau inggris raya, "...god save our gracious queen | long live our noble queen...".
Bahkan negara tetangga indonesia yang telah menjadi seteru abadi sejak presiden soekarno menggaungkan slogan ganyang malaysia masih mendoakan rajanya, "...rahmat bahagia Tuhan karuniakan | raja kita selamat bertakhta...".
Satu lagi negara tetangga yang tanah dinegerinya banyak dari kepulauan riau, singapura "...Come, let us unite | In a new spirit | Let our voices soar as one | Onward Singapore..."
Saya pantas untuk tidak perlu merasa heran yang berkepanjangan melihat fenomena yang terjadi dimasyarakat indonesia sekarang. Pemimpin lebih peduli terhadap dirinya sendiri ketimbang rakyatnya. Lebih mementingkan kelompok partainya ketimbang kesehjatraan dan kemakmuran raykatnya. Lebih peduli terhadap pencitraan diri ketimbang kritik membangun bagi kinerja kerjanya. Bukan lagi menjalin persatuan dan kesatuan bagi bangsa indonesia, tapi keakuan dan perakuan bagi kepentinganku.
Karena keaku-an lebih dominan yang membentuk sifat manusianya menjadi apatis. Dampaknya korupsi berjamaah di segala bidang. Tidak perduli lagi instansi pemerintah atau swasta. mereka seolah telah masa bodoh dengan kepentingan bersama atau individu, benar atau salah, toh hampir tidak ada bedanya bagi manusia apatis. Hilangnya ketidak percayaan masyakarat terhadap para legislatif, yudikatif dan eksekutif akibat dampak dari sifat apatis, individualisme dan keaku-an yang dominan. Kata anak abg sekarang, "elu-elu... gue-gue... Yang penting kepentingan gue terpenuhi dulu..."
Saya berandai-andai bagaimana jika setiap lagu kebangsaan indonesia raya berkumandang, kita menyanyikan lirik stanza 2, versi lain gubahan WR Supratman dengan judul yang sama? Begini liriknya,
Indonesia
Tanah yang mulia
Tanah kita yang kaya
Di sanalah kita berdiri
Untuk s'lama-lamanya
Indonesia
Tanah pusaka
Pusaka kita semuanya
Marilah kita mendoa
Indonesia bahagia
Suburlah tanahnya
Suburlah jiwanya
Bangsanya
Rakyatnya
Semuanya
Sadarlah hatinya
Sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya
3 Toples dan peranannya (Febuari 2012)
Mengilhami dongeng klasik tentang beauty and the beast, tulisan saya kali ini berkisah tentang 3 toples bersahabat. Toples bening yang mempunyai peran sebagai wadah gula, garam dan merica.
Suatu hari terjadi sebuah percakapan diantara para toples. Toples beri isi merica berkata pada dua sahabatnya,
"Hei toples garam.... Maukah engkau bertukar peran dengan ku?"
"Memangnya kenapa?" tanya toples garam dengan penasaran.
"Aku bosan sekali! oleh tuanku selalu di isi merica terus. Terkadang membuatku ingin bersin, karena tak tahan dengan bau merica yang menyengat hidungku"
"Oogah ahh... Apa jadinya jika kita harus bertukar peranan? Akankah rasa ku menjadi kacau!" Balas toples garam
"Terkadang aku iri melihat toples gula. Yang selalu enak dan sering bermanfaat oleh tuanku. Tidak seperti aku, paling dua bulan sekali baru habis mericanya. Sedangkan dia, bisa seminggu dua kali habis" keluh toples merica kepada dua sahabatnya
"Ahh... Kelihatannya saja perananku enak. Tapi tahukah kamu, bahwa toplesku sering tidak tertutup rapat oleh tuanku ketika membukanya! Sehingga hampir tiap saat semut selalu menghampiriku, memakan isi toplesku, bahkan meninggalkan kotoran. Tahukah kalian bertapa menderitanya diriku, setiap kali grombolan semut menggrayangku?" Jawab toples gula kepada dua sahabatnya
"Benar juga kata dia" balas toples garam. "Nikmatilah peranan kita masing-masing, sahabat!"
"Kamu lihat toples yang di lemari bawah itu! Sebuah toples kosong, yang tidak memiliki peran sama sekali" terang toples garam pada dua sahabatnya
"Iya juga ya... Masih syukur kita diberi peran" Balas toples merica
-------
Sahabat pembaca...
Sering kali kita mengeluh tentang pekerjaan yang menjadi tugas dan rutinitas. Terkadang tidak hanya keluhan saja, tetapi membandingkan tugas dan tanggung jawab pekerjaan kepada orang lain.
Mungkin kita pernah atau sering berkeluh, memikirkan bertukar pekerjaan dengan teman atau berkata "seandainya aku jadi dia" atau "seandainya pekerjaanku seperti dia".
Tapi pernahkah sahabat menyadari bahwa di luar sana masih banyak orang yang tidak seberuntung kita. Masih bertarung mencari pekerjaan, mencari kepastian masa depan, bahkan ada juga yang tidak memiliki pekerjaan.
Sahabat...
Besar-kecil, berat-enteng suatu pekerjaan mempunyai mempunyai peranan masing-masing yang harus dijalani. Bukan untuk dikeluhkan!
Kisah raja tikus (Januari 2012)
Alkisah, ada sebuah negeri antah-brantah yang dipimpin oleh raja tikus yang berbadan gemuk. Keseharian raja hanyalah tidur, makan dan bermalas-malasan. Sesekali raja juga bercinta dengan para gundiknya. Raja tikus juga memiliki permaisuri, yaitu ratu tikus. Kesehariannya sang ratu hanya bergosip dan bermain judi.
Suatu hari raja dan ratu tertimpa musibah. Mereka terjebak oleh perangkap tikus yang dibuat oleh manusia. Mungkin manusia sudah muak dengan perilaku tikus yang selalu mencuri dan menggrogoti makanan di dapur, sehingga perangkap pun di buat untuk menangkap tikus.
"Mampus deh kita! Bakalan di bunuh sama manusia" kata raja tikus kepada ratunya
"Lakukan usaha donk! Jangan cuman mampus saja" balas ratu tikus kepada raja
"Mau gimana lagi? Kurungan ini terbuat dari besi! Bukan keju! Taringku tidak kuat!" Jawab raja kepada ratu tikus serasa pasrah sama keadaan
"Ooh... Seandainya ada peri tikus yang baik hati. Aku mau renkarnasi menjadi manusia, dan jika keinginanku terkabul, aku tidak akan menjebak tikus-tikus" pinta ratu tikus kepada dewa tikus
Tiba-tiba dalam sekejab berubahlah raja dan ratu tikus tadi menjadi manusia.
Permohonan mereka dikabulkan oleh peri tikus, mereka berubah wujud menjelma sebagai manusia. Kehidupan si tikus berubah drastis, layaknya seorang manusia. Mereka menepati janjinya untuk tidak memasang perangkap tikus bagi leluhurnya. Mereka berkerja keras siang dan malam. Hingga tahun, windu dan dekade pun berlalu. Mereka telah menjadi orang yang berhasil, sukses dengan memimpin sebuah partai dan menjadi politisi kawakan. Namun sayangnya kebiasaan lamanya tidak berubah, mereka masih sering mencuri. Tapi kali ini bukan daging dan makanan di dapur, melainkan uang rakyat dan uang negara yang dicurinya. Tidak hanya milyaran, tapi ratusan trilyunan diraupnya.
Hingga suatu hari mereka dikudeta oleh rakyatnya. Dan hakim memutuskan untuk menghukum mati bagi mereka berdua, dengan cara hukuman gantung.
"Ya... bu, ujung-ujungnya mati mengenaskan juga kita berdua" ujar suami kepada istrinya.
"Ooh... Seandainya ada peri manusia yang baik hati. Aku berjanji tidak akan mencuri lagi" jawab istrinya kepada suami.
Tiba-tiba suara hakim pun menggelegar seisi ruang persidangan, "HEI... Diam kalian berdua!!! Jangan ngedumel terus! DASAR TURUNAN TIKUS!"
Salah seorang wartawan yang hadir dipersidangan nyeletuk dengan lantang, "masih untung gak dihukum mati dengan racun tikus. Dasar koruptor!"
Hidup adalah ..... (Januari 2012)
Hidup untuk kehidupan anda, berawal dari sini....
Persahabatan (Januari 2012)
“...bergegaslah, kawan... tuk sambut masa depan | tetap berpegang tangan, saling berpelukan | berikan senyuman tuk sebuah perpisahan | kenanglah sahabat... kita untuk slamanya...”
Alunan suara bondan prakoso di radio, terasa begitu nyata di telinga saya. Kali ini buka mengkisahkan lumba-lumba, tetapi persahabatan.
Lamunan saya pun terbayang ketika masa-masa SMA dulu saat-saat kebersamaan,terlalu indah untuk dilupakan, suka duka bersama. Bukannya masa TK, SD, SMP tidak indah dan seru, namun berbeda situasinya dengan SMA. Saat dimana seorang remaja mulai diberi tanggung jawab penuh, saat dimana remaja mulai mengenal dunia secara utuh. Itulah sebuah masa yang akan dikenang dalam memori. Tak hanya masa SMA saja, perguruan tinggi hingga lingkungan kerja pun memberikan sumbangsih yang besar bagi perjalanan manusia. Entahlah pembaca setuju dengan argumen saya atau sebaliknya, namun saya sangat menikmati masa-masa indah di SMA.
Pertemanan seperti layaknya aliran air sungai yang terus mengalir sampai ke muara. Ada yang berpecah menuju ke penjuru arah, ada yang terus mengalir sampai ke laut. Ada pertemanan yang membawa ke lingkungan positif, ada yang membawa pengaruh negatif. Ada persahabatan yang abadi, namun ada juga yang seumur jagung. Ada yang mulanya teman, lalu menjadi sahabat. Ada pula yang berlanjut menjadi sepasang kekasih, bahkan pasangan hidup. Ada juga yang mulanya musuh dan sering terlibat perselisihan, namun akhirnya menjadi sahabat.
Namun bagaimana jika pertemanan yang semulanya baik-baik saja, berubah menjadi persaingan dan permusuhan? Terjadinya percecokan, beda pendapat, persaingan tidak sehat atau teman makan teman, sahabat mengkhianati teman. Tidak selamanya persahabatan mengalir layaknya air sungai yang tenang. Adakalanya aliran sungai itu terjun ke jurang dan menghantam batu karang. Walaupun dibalik air terjun menyimpan sejuta pesona pelangi dan keindahan alam, namun waktu juga yang akan menjelaskannya.
Manusia bukanlah malaikat atau Tuhan, manusia tetaplah manusia yang memiliki kekurangan. Pertemanan dan persahabatan juga kadang mengalami pasang surut, namun merupakan harta yang tak ternilai.
Persahabatan tidaklah seperti tampak luarnya saja.
Harapan pada kertas gambar (Januari 2012)
Menantikan pergantian tahun yang tinggal beberapa jam, saya habiskan dengan menemani putri kecil saya dirumah sambil belajar menggambar. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya tidak merayakan tahun baru dengan kemeriahan, acara televisi dan nyanyian kecil putri kecil saya lebih dari cukup menghibur keluarga kecil kami dari gemerlap tahun baru ibu kota.
Di sekolah TK, putri saya belajar banyak hal, termasuk menggambar. Pelajaran ini melatih motorik halus dan pengenalan aneka warna, dia sangat antusias sekali. Hingga suatu moment yang ia berikan kepada saya tentang cara pandang sebuah harapan. Begini ceritanya...
"Bapak gambar sesuatu di kertas ini" kata putri kecil saya sambil memberikan kertas putih polos kepada saya.
"Gambar apa, nak?" Tanya saya kepada putri kecil saya yang tengah berusia 4,5 tahun.
"Apa aja yang bapak kepinginin" balas dia.
Saya pun menggambar sebuah rumah dengan pekarangan hijau yang luas, tampak sebuah pohon berada di samping rumah dengan seekor kuda. Latar belakang rumah tampak sebuah gunung dengan berselimutkan awan. Di sudut kertas saya hiasi matahari yang bersinar. tak ada pikiran sedikit pun tentang gambaran saya itu, entahlah mengapa saya menggambar sebuah rumah dengan halaman yang luas. Mungkin saja alam bawah sadar saya yang menginginkan suasana seperti itu...
Setelah selesai, saya pun memperlihatkan gambaran saya kepada putri saya. Dan alangkah terkejutnya saya mendengar kata yang keluar dari ucapannya...
"Wow.. Bagus... Bagus..." Katanya "Ini bapak tempel di meja kerja bapak ya..." Katanya kepada saya.
Saya pun membalasnya dengan kata "iya nak... Kenapa di meja bapak? Kenapa tidak rania (red. nama putri saya) simpan?"
"Supaya bapak kerjanya semangat setiap melihat gambar ini" jawab putri saya, sambil menunjuk kertas yang saya gambar.
Ada rasa haru mendengar celoteh polosnya, seolah ia tengah memotivasi saya. Tanpa disadari mata saya berkaca-kaca, harapan seorang anak kepada orang tuannya. Saya belajar banyak hal dari peristiwa ini, inspirasi dan motivasi tidak hanya tercipta dari orang yang kaya akan pengalaman dan lamanya usia perjalanan hidup, tapi justru datang dari kepolosan seorang anak berusia 4,5 tahun.
Moral cerita ini adalah betapa minimnya pengalaman hidup seorang anak, dibanding orang tuannya, tapi menyimpan sebuah optimis dan semangat di masa depan dengan kepolosannya.