Hanya Satu Jam Saja
07.02.2012
Cerita ini adalah fiksi, jika terdapat kesamaan nama dan tempat kejadian hanyalah kebetulan saja.
Ini hari pertamaku terbang, setelah hampir empat bulan menjalani pendidikan ground school, sebelum pada akhirnya kami dinyatakan layak untuk terbang sebagai flight attendant. Orang awam menyebut profesiku adalah pramugari pesaway terbang. Entahlah apa pun anggapan orang rumah tentang profesiku, yang pasti aku senang dan bahagia. Ketika teman-teman sebayaku memilih meneruskan ke bangku kuliah dan masih bergantung uang jajan sama orang tuanya, aku sudah bisa menghasilkan uang bulanan sendiri dari berkerja.
Akhirnya sampai juga di flop(1), sebelum kami bersama-sama menuju pesawat. Tidak sulit pekerjaan ini, hanya melayani penumpang dan sedikit mengerakan badan sambil memperagakan life vest sebelum akhirnya pesawat mengudara. Terkadang kami melayani dari penerbangan pertama hingga terakhir, namun pernah suatu waktu cuman satu kali penerbangan. Aku sangat menyukai pekerjaan ini, walaupun orang rumah sering menginggatkanku untuk fokus dan serius dalam bekerja.
Hari masih pagi, tapi udara sudah mulai terasa panas. Beberapa senior pramugari tampak sumringah ketika mengetahui kita terbang bersama capt. Agus. Sosok yang sangat dikagumi oleh kaum flight attendant. Kaum adam pun mengakui kegantengannya, apalagi seperti kaum kami, yang mengidamkan figur suami sepertinya. Terkadang aku baru mengetahui rute terbang di pagi hari dan siapa saja yang menjadi crew cabin selama bertugas.
Sejujurnya aku tidak peduli betapa gantengnya dia, bagi ku saat ini adalah terbang, kerja dan ngumpulin uang untuk kesenanganku, shopping. Namun pada akhirnya, aku harus terlibat asmara dengannya. Mungkin karena termakan dengan ucapanku yang masa bodoh.
Pernah suatu ketika sewaktu kami masih menjalani pendidikan dan pelatihan flight attendant, ada seniorku yang sempat berkata padaku, "nanti kalo lo ketemu di cabin, jangan ngeces ya!". Sosoknya yang cool membuat teman-teman seprofesi sangat mengidolakannya, walaupun ia telah berkeluarga. Itu menurut beberapa seniorku. Bahkan ada senior ku yang rela berbagi cinta dengan istri pertamanya, asalkan menjadi pendamping capt. Agus.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Senin di tengah bulan april, merupakan hari yang paling bersejarah sepanjang hidupku. Hari dimana aku mulai kerja pertama kali, terbang pertama kali dalam seumur hidupku dan bertemu sosok yang menjadi heboh dikalangan flight attendant.
Aku dan nadia telah melapor kepada petugas flop yang mengabsen kehadiran kami dan memberikan beberapa lembar jadwal dan rute penerbangan hari ini, para crew cabin dan pesawat yang akan kami gunakan. Aku masih termenung memperhatikan lembaran putih yang ramai dengan barisan huruf yang berkelompok menjadi sebuah kalimat dan perintah kerja. Tiba-tiba suara dengan lantang memecah kesunyian diruang flop, sambil menepuk pundaku “hai... FA baru ya?”(2) tegur seorang pria berbadan tegap, wajah indo dan berkulit putih bersih.
“iya capt. Saya ina, ina veronica”
“saya nadia, capt” jawab temanku yang sudah sejak subuh kami dijemput bersama dari tempat kos
“saya agus” jawabnya singkat.
Huh... jutek banget sih! Mentang-mentang captain, tapi ganteng juga dia. Gumamku dalam hati sambil memperhatikan id card yang terpampang di saku kirinya bertuliskan Capt. Agus Haryono, PILOT IN COMMAND, dengan foto pass berlatar belakang merah.
“na... ini ya, capt yang dimaksud ama senior kita?”
“iya, nad...”
“laki banget ya... pantesan teman-teman pada pengen terbang ama dia”
“ahh... biasa aja, cuman menang indo”
Tak beberapa lama ruang flop terasa sangat penuh dan sesak, para cabin crew wanita ramai sekali ngumpul di dalam, seolah seperti sedanag arisan. Aku dan nadia keluar ruang flop, kami menunggu di selasar depan ruang flop, jauh lebih lega dan nyaman. Tidak seperti ruang flop yang berubah menjadi pasar.
“ayo kita jalan sekarang! Pesawat sudah stand by di apron”(3) ajak maria. Ia seorang first cabin senior kita. Orangnya anggun, cantik dan luwes menurutku, entah mengapa ia seperti memiliki dunianya sendiri. Di tangannya tak lepas handphone blackberry berwarna merah. Jalannya pun jauh dibelakang kami. Dalam pendidikan kami diharuskan berjalan bersama-sama menuju kepesawat, di depan kami adalah para pilot dan co-pilot. Kami mengawal dibelakangnya seperti mengawal sepasang pengantin yang tengah menuju pelaminan. Namun tidak halnya dengan maria.
Sebelum boarding kami masih sibuk dengan persiapan pennerbangan dan tugas kecil lainnya. Hiruk pikuk lalulalang pegawai bandara dan maskapai seolah menambah kesemerawutan didalam cabin pesawat. Tiga puluh menit kemudian waktunya boarding, para penumpang telah memasuki cabin satu persatu.
Empat puluh menit kemudian aku menutup pintu pesawat, kami siap melakukan prosedur penerbangan. Aku dan mba maria duduk di kursi flight attendant bagian depan. Bertepatan di samping pintu cabin pesawat.
Sepuluh menit sejak pesawat lepas landas, aku memulai dengan tugas pramugari. Melayani para penumpang. Tiba-tiba aku di hampiri oleh mba maria, “biar aku yang nerusin tugas kamu. Captain manggil kamu”
Aku langsung menuju ke arah cockpit, hati dan pikiran berkecamuk. Ada apagerangan? Apakah aku melakukan kesalahan? Atau apa? Yang ada dipikiranku hanyalah semacam teguran, aku tidak pernah berpikiran yang lain
Pintu cabin aku raih dan ku putar kekanan. Kulihat captain dan co-captain tampak serius dan konsentrasi menerbangkan pesawat.
“maaf capt. Manggil saya?”
“iya. Kamu duduk di kursi observer” balas capt Agus
Diantara kursi pilot dan co-pilot memang terdapat sebuah panel, yang dilengkapi dengan bermacam tombol dan tuas, entah untuk apa fungsinya. Cuman bagi ku alangkah sulitnya membuka kursi lipat observer ini.
“duduk aja... koq malah berdiri?” kata capt agus
“koq susah ya capt... bukannya”
“ahh.. kamu manja sekali”
Tangan capt agus meraih kursi dan menariknya, sekejap kursi pun terbuka dari posisi lipat yang menempel dengan bagian cabin dalam.
“gimana rasanya terbang pertama?”
“baik capt.... seru, senang...” belum sempat aku meneruskan omonganku, capt agus sudah memotongnya
“umur kamu berapa?”
Hah... dia tanya umur! Apa keperluannya menanyakan umurku? Rasanya seumur hidupku baru kali ini aku ditanya umur.
“sembilan belas capt”
“oo... lulus sma langsung daftar sini?”
“iya capt”
Kami pun terlibat pembicaraan yang santai, tanpa disadari pesawat segera mendarat dalam sepuluh menit lagi. Aku pun menyudahi pembicaraan dengan capt agus. Nampak sekali di rona wajahnya seperti ingin ngobrol dengan ku.
Pesawat mendarat dengan sempurna, sakin sempurnanya decitan suara ban terdengar halus. Kami masih memiliki waktu empat puluh lima menit di bandara yang kami singgahi, sebelum akhirnya kami boarding dan terbang lagi ke bandara tujuan yang berbeda.
Tugas pertamaku berakhir dengan pengalaman yang menyenangkan, terlebih captai pesawat menyukai pekerjaan ku sebagai pramugari. Entahlah ia benar-benar menyukai pekerjaan ku atau diriku. Yang pasti aku senang ketika dalam perjalanan pulang sehabis terbang ia memujiku, “saya senang dengan pekerjaanmu, besok atau lusa saya akan meminta orang flop untuk satu pesawat dengan kamu”. Ia pun juga sempat menanyakan nomor hp ku, sambil berkata “boleh saya menelponmu? Sekedar ingin nyocokin jadwal tugas aja...”. Aku tidak mengiyakan, namun hanya tersenyum.
*****
Hari demi hari telah aku lalui. Aku kini lebih sering bertugas dengan captain agus, ketimbang captain lain. Entah di sengaja atau memang tidak disengaja. Perkenalanku dengan capt agus makin akrab. Aku menyadari hal ini membuat posisi ku di lingkungan flight attendant kurang baik. Beberapa rekan seprofesi menuangkan keiriannya pada ku. Sempat terdengar obrolan ketika aku dan rekan-rekan flight attendant pergi meninggalkan ruang flop menuju pesawat, “dasar lonte! Masih bau kencur udah ngerebut captain gue!”
Tak ada kata balasan daru diriku, aku menyadari posisi ku saat ini kian sulit. Hati kecil aku ingin berontak dan melabrak seniorku tadi. Namun aku sangat menyukai pekerjaanku, bisa-bisa aku dikeluarkan dari sini.
*****
Sudah dua bulan aku bekerja sebagai pramugari. Dan dua bulan juga aku kenal dengan mas agus, kali ini aku tidak lagi memanggilnya dengan sebutan capt atau captain, tapi mas. Hanya ketika sedang bertugas saja aku memanggilnya capt atau captain agus. Ia tidak keberatan dengan sebutan tadi, bahkan ia sendiri yang selalu memintaku memanggil dengan sebutan itu, katanya “panggil mas aja, biar lebih dekat”
Pernah suatu ketika kami harus nge-ron(4), ia begitu perhatian sekali pada diriku, jauh melebihi perhatiannya pada pramugari yang lain. Tak sungkan-sungkan ia mengantarku ke kamar tempat kami bermalam. Pagi harinya ia pun sengaja mengetok kamarku, sekedar memastikan apakah aku sudah bangun.
Aku menyadari hubungan dengan mas agus bukan sekedar hubungan profesi, tapi lebih dari itu. Teman-teman seangkatanku pernah mengingatkan bahwa ia telah berkeluarga. Entahlah apa yang membuatku tidak menjaga jarak dengannya. Yang ku tahu mas agus telah lima tahun menikah dan belum dikaruniai anak. Mungkin itu salah satu penyebab rumah tangga mas agus tidak harmonis, selain keduanya terlalu larut dalam pekerjaannya masing-masing.
*****
Dibulan ketiga sejak perkenalanku dengan mas agus, aku menyadari bahwa ia sosok yang ku butuhkan. Mapan, ganteng, wibawa, pintar rasanya kata-kata pujian terlalu banyak untuk dialamatkan padanya. Hubunganku dengannya semakin hari semakin intim, namun bagaimana pun juga keberadaanku hanyalah orang ketiga. Sulit bagiku untuk mengungkapkan kata cinta pada pria lain, namun tidak dengan mas agus. Ia pun mencintaiku melebihi cintanya pada istrinya. Hingga pada suatu hari di penghujung akhir pekan dimana peristiwa ini tak akan kulupakan dalam hidupku....
Akhir pekan di penghujung bulan, aku baru akan bertugas sore hari menjelang malam, untuk melayani satu rute penerbangan malam hari. Ini merupakan penerbangan tambahan karena di musin liburan, hampir tiap maskapai menambah penerbangan. Kali ini aku tidak di jadwalkan terbang dengan mas agus, tapi entah mengapa ketika waktu boarding tiba, aku melihat nama mas agus haryono dalam daftar menifest(5).
Apakah mungkin dia dengan istrinya? Gumam ku dalam hati. Tapi menurut daftar manifest hanya ada MR saja tidak disertai MRS. Atau menggunakan nama lain?
Benar seperti dugaanku, ia masuk kedalam pesawat seorang diri, masih menggenakan seragam pilotnya. Hanya saja bar empat(6) nya telah dilepas.
Mas agus melewatiku dengan tenang, seolah ia telah mengetahui bahwa aku bertugas di rute penerbangan ini. Ia duduk di barisan paling depan, nomor 1A. Sesekali ia melemparkan senyuman kepadaku.
“mas... dalam rangka apa? Koq tumben naik flight yang malam?”
Mas agus hanya tersenyum, ia tidak memberikanku jawaban yang tepat. Hanya rasa penasaran didiriku yang nampak saat ini.
Pesawat pun akhirnya mendarat. Mas agus belum beranjak dari kursi 1A nya. Sepertinya ia sengaja memberikan jalan kepada penumpang yang lain. Setelah penumpang turun semua, ia menghampiriku, sambil berkata pelan. Tepat diantara telinga dan pipi kiri ku.
“aku punya kejutan untukmu nanti malam”
“apaan mas?”
Dia berlalu, meninggalkanku. Mas agus, sengaja tidak ikut dalam mobil rombongan kami menuju hotel, tempat kami bermalam. Aku sudah terlalu lelah dan mengantuk untuk memikirkan kejutan mas agus, namun ia menginggatkan ku lewat bbm
-belum tidurkan? Ke kamar 512 ya- Aku pun membalas –iya mas-
Aku pun langsung menuju ke kamar 512, kebetulan satu lantai dengan kamarku 520. Segera tanganku mengetok pintu kamar 512. Pintu kamar memang dibiarkan terbuka dengan ganjalan grentel.
“masuk aja...”
Astaga... apa yang aku lihat sungguh luar biasa, aku hampir tidak mempercayainya....
Sebuah kamar suite dengan meja makan bundar berada ditengah ruangaan. Tampak beberapa makanan dengan lilin dua buah yang memancarkan cahaya redup.
“koq bengong? Ayo masuk...”
“dalam rangka apa mas?”
Mas agus menghampiriku dan dan menggandeng tanganku untuk duduk di meja makan berbentuk bundar.
“ini malam yang spesial. Aku tau kamu capek dan lapar. Ayo kita mulai saja”
“Makasih mas.... tapi ini dalam rangka apa?”
“Sudah makan saja dulu...”
“ku pandangi seluruh isi ruang, banyak sekali bunga berwana merah dan putih, entahlah apakah itu mawar atau tulip. Namun bagiku terlalu meriah seperti kebun bunga.
“aku mencintaimu ina...” sambil ia memberiku sebuah kotak kecil berwarna biru berbahan bludru. Merah padam wajahku ketika membuka kota tersebut.beruntung ruangan tidak terlalu terang, sehingga aku dapat menyembunyikan rona merah wajahku.
“apakah ini tidak terlalu berlebihan mas?”
“untuk orang yang aku cintai? Mengapa harus berlebihan?”
“tapi mas... cincin ini terlalu indah buat hubungan kita”
“justru karena hubungan kita yang istimewa, maka harus dengan cincin yang indah pula”
“aku belum sanggup menerimanya mas...”
“kenapa? Apa yang membuatmu ragu dengan hubungan kita?”
“maaf mas.... istri mas bagaimana?” ahhh bodih sekali pertanyaanku ini. Rasanya bukan saat yang tepat untuk sebuah makan malam yang romatis ini. Ingin rasanya kutarik kembali ucapanku, namun mas agus sudah siap dengan jawabannya
“ina... hubunganku dengan maya sudah selesai. Sudah tidak ada lagi kecocokan diantara kami. Kita telah sepakat untuk bercerai”
“maaf mas, turut prihatin”
“it’s ok... ayo dilanjutin lagi makannya. Sambil di pake donk cincinya”
“terima kasih mas.... mas baik sekali”
“kamu suka?”
“suka sekali mas...”
Aku pun melanjuti makan malam bersamanya. Mas agus juga menciptakan ruangan menjadi sempurna dengan alunan lagu jazz yang sengaja diputar dari ipad nya, untuk menambah kesan romatis.
“ina... setelah surat ceraiku beres, aku akan menemui orang tuamu”
“hah! untuk apa mas?”
“aku akan melamarmu...”
Tak ada kata-kata yang kuucapkan, begitupun dengan bahasa tubuhku. Aku hanya tersenyum dan meneteskan air mata haru pada hubungan kita. Mas agus sosok captain yang dipuja oleh banyak orang akhirnya jatuh kepelukanku.
Malam pun kian larut, aku tidak kembali lagi ke kamarku. Di kamar 520 kami menghabiskan malam yang panjang hingga subuh. Ketika alarm di hp blackberry ku berbunyi, aku kembali ke kamarku setelah berpamitan dengan mas agus.
*****
Semenjak itu hubunganku dengan mas agus sudah tidak seperti sepasang kekasih lagi, bisa dikatakan seperti suami-istri. Hampir setiap hari kita selalu bertemu, entah itu di mall atau di apartmentku. Sebuah apartment mungil yang diberikan oleh mas agus bertepatan satu bulan sejak ia melamarku.
Aku tidak pernah menanyakan padanya tentang perkembangan perceraiannya, apakah sudah selesai atau belum. Bagiku kehadiran mas agus tiap malam dalam hidupku sudah memberikan kesempurnaan.
Mas agus pernah memintaku untuk berhenti kerja. Entah apa yang ada dipikirannya, namun sangat sulit bagi ku menerima kenyataan seperti itu, selain aku yang sangat menyukai profesi pramugari ini.
“ina... nanti setelah kita menikah, aku ingin kamu resign dari pekerjaan ini”
“kenapa mas?”
“aku tidak ingin kecantikan dan kemolekan tubuhmu dipertontonkan untuk penumpang”
Sejak itu aku sering berdebat dengan mas agus. Namun setiap kali kami berdebat dan bertengkar ringan, secepat itu pula kami melupakan kejadian itu. Dekapan hangat mas agus sering membuatku luluh tak berdaya. Belum lagi, ia pria yang romatis. Ia tahu bagaimana memperlakukan wanita. Aku pun terbuai dalam pelukannya, sesekali ia mencumbuku.
*****
Seminggu yang lalu ia pamit akan pergi ke singapura, katanya ada interview kerja disana sebagai pilot. Namun kini sudah hampir sepuluh hari, dan aku belum mendapat kabar darinya. Bbm dariku masih pending, aku coba menelponnya, tapi selalu dijawab –nomor yang anda hubungi sedang berada diluar jangkauan-. Entah apa yang membuatnya tidak menghubungiku, padahal aku sudah memiliki kejutan untuknya. Aku juga menanyakan kabar dan jadwal mas agus di flop, yang aku temui adalah belum adanya schedule terbang mas agus. Petugas flop dan beberapa rekan sesama pilot, juga tidak mengetahui keberadaan mas agus. Bahkan mereka tidak mengetahui sama sekali rencana mas agus untuk pindah kerja ke maskapai lain.
Satu hari sejak ia pergi ke singapura, kami masih bbm-an. Ia mengabari paling lama lima hari sudah berada disampingku. Aku juga memberitahukan bahwa kali ini aku telah menyiapkan kejutan untuknya. Pagi hari setelah ia pergi ke singapura, aku men-tes urinku dengan tes pack. Sudah hampir dua minggu badanku terasa tidak enak, rasa mual, eneg selalu menghantui hari-hariku. Ternyata aku memang positif hamil. Aku teringat pembicaraan kita beberapa hari yang lalu,
“koq badan ku akhir-akhri ini gak enak ya mas?”
“kecapean kerja kali kamu...”
“nggak ah. Seperti pengen muntah gitu lo...”
“jangan-jangan hamil?”
“ngaco ah mas...”
“kali aja”
“kalo beneran hamil gimana mas?”
“jangan khawatir ina... aku tetap akan menikahimu. Kita akan memiliki anak yang hebat seperti ayahnya”
“kamu pria yang romatis mas...”
*****
Esok harinya sebelum bertugas, aku sengaja mendatangi kantor pusat maskapai kami. Disana aku bertemu dengan seniorku flight attendant, maria. Ia kini telah menjadi kepala flight attendant, sekaligus instruktur bagi calon pramugari. Kabar kedekatanku dengan mas agus sudah tercium di kantor pusat, bahkan rencana pernikahan kita. Aku tidak membantahnya ketika mba maria menanyakan rencana kita kedepan. namun aku sempat curhat sedikit dengan mba maria, tentang hilangnya kabar dari mas agus.
“coba kamu tanya ke HRD sapa tau mereka tahu!”
“iya nih, aku mau ketemu dengan pak sugeng”
“pak sugeng direktur hrd yang baru?”
“iya mba”
“ya... di coba aja, na”
“iya mba, tadi malam aku sms-an ama bu inggrid, cuman katanya aku di suruh tanya ke pak sugeng”
“wah... kalo bu inggrid datengnya siang. Secara dia kan bonekanya pak sugeng”
“gak papa mba, aku tunggu aja. Kebetulan jadwal terbangnya masih sore.”
Setelah menunggu hingga jam sepuluh siang, datanglah ibu inggrid. Ia menegurku di depan lobby ruangan direksi, tempat aku menyenderkan kepala yang telah terasa berat. Bu inggrid ternyata telah mengatur waktu ku untuk bertemu dengan pak sugeng. Direktur HRD yang baru sebulan menjabat, ternyata masih sepupu jauh dengan mas agus.
Aku memasuki ruang pak sugeng, dia mempersilahkanku untuk duduk di sofa marung di pojok ruangan mewahnya. “bentar ya... “ katanya yang masih berkutat dengan telepon kantornya.
“maaf tadi ada telepon sebentar. Gimana ?”
“anu pak... eh... aa.. maksud kedatangan saya ingin menanyakan capt. Agus haryono”
“oiya... saya sudah dengar tentang hubunganmu. Ada masalah apa ya?”
“justru itu pak, saya ingin menanyakan keberadaan beliau. Sudah seminggu ini saya tidak mendapat kabar dari beliau. Apakah ada masalah dengan capt agus?”
“loh?? Memangnya kamu tidak diberitahu sama capt agus?”
“beritahu apa pak? Apakah dia baik-baik saja?”
“ya... dia baik saja. Kira-kira dua minggu yang lalu dia mengajukan surat pengunduran diri. jadi dia sudah tidak bekerja lagi di maskapai ini”
“tidak mungkin pak!”
“bagaimana tidak mungkin? Ini suratnya. Saya kira kamu sudah mengetahuinya!”
“dimana dia sekarang pak?”
“yang saya dengar, dia sekarang kerja di singapura!”
Bangsat kau agus!!! Kenapa aku yang paling dekat denganmu justru tidak diberi tahu tentang rencanamu? Sungguh ini bukan lelucon april mop. Kenapa kau lari gus... kenapa?? Aku hanya bisa mengumpat dalam hati.
“istrinya...?” tanya ku dengan penuh ragu-ragu
“iya... istrinya juga ikut ke singapura. Kabarnya mereka rujuk, sejak istrinya positif menggandung anak pertamanya”
“bapak tidak bercandakan?”
“kenapa harus bercanda!”
“apa bapak tahu nomor dan alamat capt agus yang bisa dihubungi?”
“saya tidak tahu. Ia tidak meninggalkan apa-apa pada kami. Maaf!”
Tak banyak kata yang terucap dari mulutku. Aku pun langsung berlalu, meninggalkan ruang pak sugeng. “terima kasih pak. Saya mau pamit”. Sebenarnya aku yakin sekali, pak sugeng mengetahui keberadaan mas agus, tapi ia enggan mengutarakannya padaku.
Aku langsung menuju flop di terminal keberangkatan. Aku membatalkan jadwal tugasku nanti sore. Aku pun sempat menanyakan kepada rekan-rekan kami yang berada disitu tentang keberadaan mas agus. Hasilnya nihil. Aku juga menyamperin rumah pribadinya. Yang nampak adalah sebuah papan bertuliskan -DI JUAL-.
Mas agus yang sejak semula aku kagumi, aku banggakan, ternyata meninggalkanku begitu saja. Tanpa kabar, tanpa pamit. Lalu siapa yang akan menjadi bapak dari bayi yang aku kandungi? “Bajingan kau agus! Setelah kau nikmati diriku, kini kau campakan aku begitu saja! Anjing kau!!” Teriakku dalam kamar mandi apartment ku.
*****
Semua kisahnya telah ditulis ina dalam sebuah diary selama satu jam lebih. Diary inilah yang nantinya kelak akan menguak tabir dari misteri bunuh diri seorang pramugari cantik di sebuah apartment yang telah menghebohkan masyarakat. Berita kematiannya pun sempat menjadi headline televisi swasta dan surat kabar. Hanya membutuhkan satu jam bagi ina untuk menceritakan kisah cintanya dengan capt agus pada sebuah diary.
“maaf nak... ibu tidak sangup menanggung malu perbuatan ayahmu” kata ina sambil mengelus-elus perutnya.
“balaskan dendam ibumu di akhirat nanti, nak” tepat setelah ina mengucapkan kalimat terakhirnya, ia menyatat urat nadi tangan kirinya dengan silet.
Darah pun bercucuran deras. Tak butuh waktu lama untuk mengakhiri hidupnya.
"...telah aku terima
sakitnya dikhianati
sedalam cintaku ini
selama hidupku ini
hatiku cuma ada satu
sudah untuk mencintaimu..."
(Nindy)
(1) Flop, flight operation. Suatu ruangan untuk mengatur jadwal pesawat dan crew. Disertai jam, registrasi, rute dan lamanya jam
operasional pesawat
(2) FA, flight attendant. Istilah lain dari pramugari/a
(3) Apron. Tempat pesawat di parkir
(4) RON, Remain over night. Bermalam di tempat tujuan
(5) Manifest. Daftar penumpang, dalam berbentuk lembaran kertas yang disertai tempat duduk dan tujuan
(6) Bar empat. Istilah lain dari pangkat captain. Bar empat adalah pangkat tertinggi dalam profesi pilot.
Cerita ini adalah fiksi, jika terdapat kesamaan nama dan tempat kejadian hanyalah kebetulan saja.
Ini hari pertamaku terbang, setelah hampir empat bulan menjalani pendidikan ground school, sebelum pada akhirnya kami dinyatakan layak untuk terbang sebagai flight attendant. Orang awam menyebut profesiku adalah pramugari pesaway terbang. Entahlah apa pun anggapan orang rumah tentang profesiku, yang pasti aku senang dan bahagia. Ketika teman-teman sebayaku memilih meneruskan ke bangku kuliah dan masih bergantung uang jajan sama orang tuanya, aku sudah bisa menghasilkan uang bulanan sendiri dari berkerja.
Akhirnya sampai juga di flop(1), sebelum kami bersama-sama menuju pesawat. Tidak sulit pekerjaan ini, hanya melayani penumpang dan sedikit mengerakan badan sambil memperagakan life vest sebelum akhirnya pesawat mengudara. Terkadang kami melayani dari penerbangan pertama hingga terakhir, namun pernah suatu waktu cuman satu kali penerbangan. Aku sangat menyukai pekerjaan ini, walaupun orang rumah sering menginggatkanku untuk fokus dan serius dalam bekerja.
Hari masih pagi, tapi udara sudah mulai terasa panas. Beberapa senior pramugari tampak sumringah ketika mengetahui kita terbang bersama capt. Agus. Sosok yang sangat dikagumi oleh kaum flight attendant. Kaum adam pun mengakui kegantengannya, apalagi seperti kaum kami, yang mengidamkan figur suami sepertinya. Terkadang aku baru mengetahui rute terbang di pagi hari dan siapa saja yang menjadi crew cabin selama bertugas.
Sejujurnya aku tidak peduli betapa gantengnya dia, bagi ku saat ini adalah terbang, kerja dan ngumpulin uang untuk kesenanganku, shopping. Namun pada akhirnya, aku harus terlibat asmara dengannya. Mungkin karena termakan dengan ucapanku yang masa bodoh.
Pernah suatu ketika sewaktu kami masih menjalani pendidikan dan pelatihan flight attendant, ada seniorku yang sempat berkata padaku, "nanti kalo lo ketemu di cabin, jangan ngeces ya!". Sosoknya yang cool membuat teman-teman seprofesi sangat mengidolakannya, walaupun ia telah berkeluarga. Itu menurut beberapa seniorku. Bahkan ada senior ku yang rela berbagi cinta dengan istri pertamanya, asalkan menjadi pendamping capt. Agus.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Senin di tengah bulan april, merupakan hari yang paling bersejarah sepanjang hidupku. Hari dimana aku mulai kerja pertama kali, terbang pertama kali dalam seumur hidupku dan bertemu sosok yang menjadi heboh dikalangan flight attendant.
Aku dan nadia telah melapor kepada petugas flop yang mengabsen kehadiran kami dan memberikan beberapa lembar jadwal dan rute penerbangan hari ini, para crew cabin dan pesawat yang akan kami gunakan. Aku masih termenung memperhatikan lembaran putih yang ramai dengan barisan huruf yang berkelompok menjadi sebuah kalimat dan perintah kerja. Tiba-tiba suara dengan lantang memecah kesunyian diruang flop, sambil menepuk pundaku “hai... FA baru ya?”(2) tegur seorang pria berbadan tegap, wajah indo dan berkulit putih bersih.
“iya capt. Saya ina, ina veronica”
“saya nadia, capt” jawab temanku yang sudah sejak subuh kami dijemput bersama dari tempat kos
“saya agus” jawabnya singkat.
Huh... jutek banget sih! Mentang-mentang captain, tapi ganteng juga dia. Gumamku dalam hati sambil memperhatikan id card yang terpampang di saku kirinya bertuliskan Capt. Agus Haryono, PILOT IN COMMAND, dengan foto pass berlatar belakang merah.
“na... ini ya, capt yang dimaksud ama senior kita?”
“iya, nad...”
“laki banget ya... pantesan teman-teman pada pengen terbang ama dia”
“ahh... biasa aja, cuman menang indo”
Tak beberapa lama ruang flop terasa sangat penuh dan sesak, para cabin crew wanita ramai sekali ngumpul di dalam, seolah seperti sedanag arisan. Aku dan nadia keluar ruang flop, kami menunggu di selasar depan ruang flop, jauh lebih lega dan nyaman. Tidak seperti ruang flop yang berubah menjadi pasar.
“ayo kita jalan sekarang! Pesawat sudah stand by di apron”(3) ajak maria. Ia seorang first cabin senior kita. Orangnya anggun, cantik dan luwes menurutku, entah mengapa ia seperti memiliki dunianya sendiri. Di tangannya tak lepas handphone blackberry berwarna merah. Jalannya pun jauh dibelakang kami. Dalam pendidikan kami diharuskan berjalan bersama-sama menuju kepesawat, di depan kami adalah para pilot dan co-pilot. Kami mengawal dibelakangnya seperti mengawal sepasang pengantin yang tengah menuju pelaminan. Namun tidak halnya dengan maria.
Sebelum boarding kami masih sibuk dengan persiapan pennerbangan dan tugas kecil lainnya. Hiruk pikuk lalulalang pegawai bandara dan maskapai seolah menambah kesemerawutan didalam cabin pesawat. Tiga puluh menit kemudian waktunya boarding, para penumpang telah memasuki cabin satu persatu.
Empat puluh menit kemudian aku menutup pintu pesawat, kami siap melakukan prosedur penerbangan. Aku dan mba maria duduk di kursi flight attendant bagian depan. Bertepatan di samping pintu cabin pesawat.
Sepuluh menit sejak pesawat lepas landas, aku memulai dengan tugas pramugari. Melayani para penumpang. Tiba-tiba aku di hampiri oleh mba maria, “biar aku yang nerusin tugas kamu. Captain manggil kamu”
Aku langsung menuju ke arah cockpit, hati dan pikiran berkecamuk. Ada apagerangan? Apakah aku melakukan kesalahan? Atau apa? Yang ada dipikiranku hanyalah semacam teguran, aku tidak pernah berpikiran yang lain
Pintu cabin aku raih dan ku putar kekanan. Kulihat captain dan co-captain tampak serius dan konsentrasi menerbangkan pesawat.
“maaf capt. Manggil saya?”
“iya. Kamu duduk di kursi observer” balas capt Agus
Diantara kursi pilot dan co-pilot memang terdapat sebuah panel, yang dilengkapi dengan bermacam tombol dan tuas, entah untuk apa fungsinya. Cuman bagi ku alangkah sulitnya membuka kursi lipat observer ini.
“duduk aja... koq malah berdiri?” kata capt agus
“koq susah ya capt... bukannya”
“ahh.. kamu manja sekali”
Tangan capt agus meraih kursi dan menariknya, sekejap kursi pun terbuka dari posisi lipat yang menempel dengan bagian cabin dalam.
“gimana rasanya terbang pertama?”
“baik capt.... seru, senang...” belum sempat aku meneruskan omonganku, capt agus sudah memotongnya
“umur kamu berapa?”
Hah... dia tanya umur! Apa keperluannya menanyakan umurku? Rasanya seumur hidupku baru kali ini aku ditanya umur.
“sembilan belas capt”
“oo... lulus sma langsung daftar sini?”
“iya capt”
Kami pun terlibat pembicaraan yang santai, tanpa disadari pesawat segera mendarat dalam sepuluh menit lagi. Aku pun menyudahi pembicaraan dengan capt agus. Nampak sekali di rona wajahnya seperti ingin ngobrol dengan ku.
Pesawat mendarat dengan sempurna, sakin sempurnanya decitan suara ban terdengar halus. Kami masih memiliki waktu empat puluh lima menit di bandara yang kami singgahi, sebelum akhirnya kami boarding dan terbang lagi ke bandara tujuan yang berbeda.
Tugas pertamaku berakhir dengan pengalaman yang menyenangkan, terlebih captai pesawat menyukai pekerjaan ku sebagai pramugari. Entahlah ia benar-benar menyukai pekerjaan ku atau diriku. Yang pasti aku senang ketika dalam perjalanan pulang sehabis terbang ia memujiku, “saya senang dengan pekerjaanmu, besok atau lusa saya akan meminta orang flop untuk satu pesawat dengan kamu”. Ia pun juga sempat menanyakan nomor hp ku, sambil berkata “boleh saya menelponmu? Sekedar ingin nyocokin jadwal tugas aja...”. Aku tidak mengiyakan, namun hanya tersenyum.
*****
Hari demi hari telah aku lalui. Aku kini lebih sering bertugas dengan captain agus, ketimbang captain lain. Entah di sengaja atau memang tidak disengaja. Perkenalanku dengan capt agus makin akrab. Aku menyadari hal ini membuat posisi ku di lingkungan flight attendant kurang baik. Beberapa rekan seprofesi menuangkan keiriannya pada ku. Sempat terdengar obrolan ketika aku dan rekan-rekan flight attendant pergi meninggalkan ruang flop menuju pesawat, “dasar lonte! Masih bau kencur udah ngerebut captain gue!”
Tak ada kata balasan daru diriku, aku menyadari posisi ku saat ini kian sulit. Hati kecil aku ingin berontak dan melabrak seniorku tadi. Namun aku sangat menyukai pekerjaanku, bisa-bisa aku dikeluarkan dari sini.
*****
Sudah dua bulan aku bekerja sebagai pramugari. Dan dua bulan juga aku kenal dengan mas agus, kali ini aku tidak lagi memanggilnya dengan sebutan capt atau captain, tapi mas. Hanya ketika sedang bertugas saja aku memanggilnya capt atau captain agus. Ia tidak keberatan dengan sebutan tadi, bahkan ia sendiri yang selalu memintaku memanggil dengan sebutan itu, katanya “panggil mas aja, biar lebih dekat”
Pernah suatu ketika kami harus nge-ron(4), ia begitu perhatian sekali pada diriku, jauh melebihi perhatiannya pada pramugari yang lain. Tak sungkan-sungkan ia mengantarku ke kamar tempat kami bermalam. Pagi harinya ia pun sengaja mengetok kamarku, sekedar memastikan apakah aku sudah bangun.
Aku menyadari hubungan dengan mas agus bukan sekedar hubungan profesi, tapi lebih dari itu. Teman-teman seangkatanku pernah mengingatkan bahwa ia telah berkeluarga. Entahlah apa yang membuatku tidak menjaga jarak dengannya. Yang ku tahu mas agus telah lima tahun menikah dan belum dikaruniai anak. Mungkin itu salah satu penyebab rumah tangga mas agus tidak harmonis, selain keduanya terlalu larut dalam pekerjaannya masing-masing.
*****
Dibulan ketiga sejak perkenalanku dengan mas agus, aku menyadari bahwa ia sosok yang ku butuhkan. Mapan, ganteng, wibawa, pintar rasanya kata-kata pujian terlalu banyak untuk dialamatkan padanya. Hubunganku dengannya semakin hari semakin intim, namun bagaimana pun juga keberadaanku hanyalah orang ketiga. Sulit bagiku untuk mengungkapkan kata cinta pada pria lain, namun tidak dengan mas agus. Ia pun mencintaiku melebihi cintanya pada istrinya. Hingga pada suatu hari di penghujung akhir pekan dimana peristiwa ini tak akan kulupakan dalam hidupku....
Akhir pekan di penghujung bulan, aku baru akan bertugas sore hari menjelang malam, untuk melayani satu rute penerbangan malam hari. Ini merupakan penerbangan tambahan karena di musin liburan, hampir tiap maskapai menambah penerbangan. Kali ini aku tidak di jadwalkan terbang dengan mas agus, tapi entah mengapa ketika waktu boarding tiba, aku melihat nama mas agus haryono dalam daftar menifest(5).
Apakah mungkin dia dengan istrinya? Gumam ku dalam hati. Tapi menurut daftar manifest hanya ada MR saja tidak disertai MRS. Atau menggunakan nama lain?
Benar seperti dugaanku, ia masuk kedalam pesawat seorang diri, masih menggenakan seragam pilotnya. Hanya saja bar empat(6) nya telah dilepas.
Mas agus melewatiku dengan tenang, seolah ia telah mengetahui bahwa aku bertugas di rute penerbangan ini. Ia duduk di barisan paling depan, nomor 1A. Sesekali ia melemparkan senyuman kepadaku.
“mas... dalam rangka apa? Koq tumben naik flight yang malam?”
Mas agus hanya tersenyum, ia tidak memberikanku jawaban yang tepat. Hanya rasa penasaran didiriku yang nampak saat ini.
Pesawat pun akhirnya mendarat. Mas agus belum beranjak dari kursi 1A nya. Sepertinya ia sengaja memberikan jalan kepada penumpang yang lain. Setelah penumpang turun semua, ia menghampiriku, sambil berkata pelan. Tepat diantara telinga dan pipi kiri ku.
“aku punya kejutan untukmu nanti malam”
“apaan mas?”
Dia berlalu, meninggalkanku. Mas agus, sengaja tidak ikut dalam mobil rombongan kami menuju hotel, tempat kami bermalam. Aku sudah terlalu lelah dan mengantuk untuk memikirkan kejutan mas agus, namun ia menginggatkan ku lewat bbm
-belum tidurkan? Ke kamar 512 ya- Aku pun membalas –iya mas-
Aku pun langsung menuju ke kamar 512, kebetulan satu lantai dengan kamarku 520. Segera tanganku mengetok pintu kamar 512. Pintu kamar memang dibiarkan terbuka dengan ganjalan grentel.
“masuk aja...”
Astaga... apa yang aku lihat sungguh luar biasa, aku hampir tidak mempercayainya....
Sebuah kamar suite dengan meja makan bundar berada ditengah ruangaan. Tampak beberapa makanan dengan lilin dua buah yang memancarkan cahaya redup.
“koq bengong? Ayo masuk...”
“dalam rangka apa mas?”
Mas agus menghampiriku dan dan menggandeng tanganku untuk duduk di meja makan berbentuk bundar.
“ini malam yang spesial. Aku tau kamu capek dan lapar. Ayo kita mulai saja”
“Makasih mas.... tapi ini dalam rangka apa?”
“Sudah makan saja dulu...”
“ku pandangi seluruh isi ruang, banyak sekali bunga berwana merah dan putih, entahlah apakah itu mawar atau tulip. Namun bagiku terlalu meriah seperti kebun bunga.
“aku mencintaimu ina...” sambil ia memberiku sebuah kotak kecil berwarna biru berbahan bludru. Merah padam wajahku ketika membuka kota tersebut.beruntung ruangan tidak terlalu terang, sehingga aku dapat menyembunyikan rona merah wajahku.
“apakah ini tidak terlalu berlebihan mas?”
“untuk orang yang aku cintai? Mengapa harus berlebihan?”
“tapi mas... cincin ini terlalu indah buat hubungan kita”
“justru karena hubungan kita yang istimewa, maka harus dengan cincin yang indah pula”
“aku belum sanggup menerimanya mas...”
“kenapa? Apa yang membuatmu ragu dengan hubungan kita?”
“maaf mas.... istri mas bagaimana?” ahhh bodih sekali pertanyaanku ini. Rasanya bukan saat yang tepat untuk sebuah makan malam yang romatis ini. Ingin rasanya kutarik kembali ucapanku, namun mas agus sudah siap dengan jawabannya
“ina... hubunganku dengan maya sudah selesai. Sudah tidak ada lagi kecocokan diantara kami. Kita telah sepakat untuk bercerai”
“maaf mas, turut prihatin”
“it’s ok... ayo dilanjutin lagi makannya. Sambil di pake donk cincinya”
“terima kasih mas.... mas baik sekali”
“kamu suka?”
“suka sekali mas...”
Aku pun melanjuti makan malam bersamanya. Mas agus juga menciptakan ruangan menjadi sempurna dengan alunan lagu jazz yang sengaja diputar dari ipad nya, untuk menambah kesan romatis.
“ina... setelah surat ceraiku beres, aku akan menemui orang tuamu”
“hah! untuk apa mas?”
“aku akan melamarmu...”
Tak ada kata-kata yang kuucapkan, begitupun dengan bahasa tubuhku. Aku hanya tersenyum dan meneteskan air mata haru pada hubungan kita. Mas agus sosok captain yang dipuja oleh banyak orang akhirnya jatuh kepelukanku.
Malam pun kian larut, aku tidak kembali lagi ke kamarku. Di kamar 520 kami menghabiskan malam yang panjang hingga subuh. Ketika alarm di hp blackberry ku berbunyi, aku kembali ke kamarku setelah berpamitan dengan mas agus.
*****
Semenjak itu hubunganku dengan mas agus sudah tidak seperti sepasang kekasih lagi, bisa dikatakan seperti suami-istri. Hampir setiap hari kita selalu bertemu, entah itu di mall atau di apartmentku. Sebuah apartment mungil yang diberikan oleh mas agus bertepatan satu bulan sejak ia melamarku.
Aku tidak pernah menanyakan padanya tentang perkembangan perceraiannya, apakah sudah selesai atau belum. Bagiku kehadiran mas agus tiap malam dalam hidupku sudah memberikan kesempurnaan.
Mas agus pernah memintaku untuk berhenti kerja. Entah apa yang ada dipikirannya, namun sangat sulit bagi ku menerima kenyataan seperti itu, selain aku yang sangat menyukai profesi pramugari ini.
“ina... nanti setelah kita menikah, aku ingin kamu resign dari pekerjaan ini”
“kenapa mas?”
“aku tidak ingin kecantikan dan kemolekan tubuhmu dipertontonkan untuk penumpang”
Sejak itu aku sering berdebat dengan mas agus. Namun setiap kali kami berdebat dan bertengkar ringan, secepat itu pula kami melupakan kejadian itu. Dekapan hangat mas agus sering membuatku luluh tak berdaya. Belum lagi, ia pria yang romatis. Ia tahu bagaimana memperlakukan wanita. Aku pun terbuai dalam pelukannya, sesekali ia mencumbuku.
*****
Seminggu yang lalu ia pamit akan pergi ke singapura, katanya ada interview kerja disana sebagai pilot. Namun kini sudah hampir sepuluh hari, dan aku belum mendapat kabar darinya. Bbm dariku masih pending, aku coba menelponnya, tapi selalu dijawab –nomor yang anda hubungi sedang berada diluar jangkauan-. Entah apa yang membuatnya tidak menghubungiku, padahal aku sudah memiliki kejutan untuknya. Aku juga menanyakan kabar dan jadwal mas agus di flop, yang aku temui adalah belum adanya schedule terbang mas agus. Petugas flop dan beberapa rekan sesama pilot, juga tidak mengetahui keberadaan mas agus. Bahkan mereka tidak mengetahui sama sekali rencana mas agus untuk pindah kerja ke maskapai lain.
Satu hari sejak ia pergi ke singapura, kami masih bbm-an. Ia mengabari paling lama lima hari sudah berada disampingku. Aku juga memberitahukan bahwa kali ini aku telah menyiapkan kejutan untuknya. Pagi hari setelah ia pergi ke singapura, aku men-tes urinku dengan tes pack. Sudah hampir dua minggu badanku terasa tidak enak, rasa mual, eneg selalu menghantui hari-hariku. Ternyata aku memang positif hamil. Aku teringat pembicaraan kita beberapa hari yang lalu,
“koq badan ku akhir-akhri ini gak enak ya mas?”
“kecapean kerja kali kamu...”
“nggak ah. Seperti pengen muntah gitu lo...”
“jangan-jangan hamil?”
“ngaco ah mas...”
“kali aja”
“kalo beneran hamil gimana mas?”
“jangan khawatir ina... aku tetap akan menikahimu. Kita akan memiliki anak yang hebat seperti ayahnya”
“kamu pria yang romatis mas...”
*****
Esok harinya sebelum bertugas, aku sengaja mendatangi kantor pusat maskapai kami. Disana aku bertemu dengan seniorku flight attendant, maria. Ia kini telah menjadi kepala flight attendant, sekaligus instruktur bagi calon pramugari. Kabar kedekatanku dengan mas agus sudah tercium di kantor pusat, bahkan rencana pernikahan kita. Aku tidak membantahnya ketika mba maria menanyakan rencana kita kedepan. namun aku sempat curhat sedikit dengan mba maria, tentang hilangnya kabar dari mas agus.
“coba kamu tanya ke HRD sapa tau mereka tahu!”
“iya nih, aku mau ketemu dengan pak sugeng”
“pak sugeng direktur hrd yang baru?”
“iya mba”
“ya... di coba aja, na”
“iya mba, tadi malam aku sms-an ama bu inggrid, cuman katanya aku di suruh tanya ke pak sugeng”
“wah... kalo bu inggrid datengnya siang. Secara dia kan bonekanya pak sugeng”
“gak papa mba, aku tunggu aja. Kebetulan jadwal terbangnya masih sore.”
Setelah menunggu hingga jam sepuluh siang, datanglah ibu inggrid. Ia menegurku di depan lobby ruangan direksi, tempat aku menyenderkan kepala yang telah terasa berat. Bu inggrid ternyata telah mengatur waktu ku untuk bertemu dengan pak sugeng. Direktur HRD yang baru sebulan menjabat, ternyata masih sepupu jauh dengan mas agus.
Aku memasuki ruang pak sugeng, dia mempersilahkanku untuk duduk di sofa marung di pojok ruangan mewahnya. “bentar ya... “ katanya yang masih berkutat dengan telepon kantornya.
“maaf tadi ada telepon sebentar. Gimana ?”
“anu pak... eh... aa.. maksud kedatangan saya ingin menanyakan capt. Agus haryono”
“oiya... saya sudah dengar tentang hubunganmu. Ada masalah apa ya?”
“justru itu pak, saya ingin menanyakan keberadaan beliau. Sudah seminggu ini saya tidak mendapat kabar dari beliau. Apakah ada masalah dengan capt agus?”
“loh?? Memangnya kamu tidak diberitahu sama capt agus?”
“beritahu apa pak? Apakah dia baik-baik saja?”
“ya... dia baik saja. Kira-kira dua minggu yang lalu dia mengajukan surat pengunduran diri. jadi dia sudah tidak bekerja lagi di maskapai ini”
“tidak mungkin pak!”
“bagaimana tidak mungkin? Ini suratnya. Saya kira kamu sudah mengetahuinya!”
“dimana dia sekarang pak?”
“yang saya dengar, dia sekarang kerja di singapura!”
Bangsat kau agus!!! Kenapa aku yang paling dekat denganmu justru tidak diberi tahu tentang rencanamu? Sungguh ini bukan lelucon april mop. Kenapa kau lari gus... kenapa?? Aku hanya bisa mengumpat dalam hati.
“istrinya...?” tanya ku dengan penuh ragu-ragu
“iya... istrinya juga ikut ke singapura. Kabarnya mereka rujuk, sejak istrinya positif menggandung anak pertamanya”
“bapak tidak bercandakan?”
“kenapa harus bercanda!”
“apa bapak tahu nomor dan alamat capt agus yang bisa dihubungi?”
“saya tidak tahu. Ia tidak meninggalkan apa-apa pada kami. Maaf!”
Tak banyak kata yang terucap dari mulutku. Aku pun langsung berlalu, meninggalkan ruang pak sugeng. “terima kasih pak. Saya mau pamit”. Sebenarnya aku yakin sekali, pak sugeng mengetahui keberadaan mas agus, tapi ia enggan mengutarakannya padaku.
Aku langsung menuju flop di terminal keberangkatan. Aku membatalkan jadwal tugasku nanti sore. Aku pun sempat menanyakan kepada rekan-rekan kami yang berada disitu tentang keberadaan mas agus. Hasilnya nihil. Aku juga menyamperin rumah pribadinya. Yang nampak adalah sebuah papan bertuliskan -DI JUAL-.
Mas agus yang sejak semula aku kagumi, aku banggakan, ternyata meninggalkanku begitu saja. Tanpa kabar, tanpa pamit. Lalu siapa yang akan menjadi bapak dari bayi yang aku kandungi? “Bajingan kau agus! Setelah kau nikmati diriku, kini kau campakan aku begitu saja! Anjing kau!!” Teriakku dalam kamar mandi apartment ku.
*****
Semua kisahnya telah ditulis ina dalam sebuah diary selama satu jam lebih. Diary inilah yang nantinya kelak akan menguak tabir dari misteri bunuh diri seorang pramugari cantik di sebuah apartment yang telah menghebohkan masyarakat. Berita kematiannya pun sempat menjadi headline televisi swasta dan surat kabar. Hanya membutuhkan satu jam bagi ina untuk menceritakan kisah cintanya dengan capt agus pada sebuah diary.
“maaf nak... ibu tidak sangup menanggung malu perbuatan ayahmu” kata ina sambil mengelus-elus perutnya.
“balaskan dendam ibumu di akhirat nanti, nak” tepat setelah ina mengucapkan kalimat terakhirnya, ia menyatat urat nadi tangan kirinya dengan silet.
Darah pun bercucuran deras. Tak butuh waktu lama untuk mengakhiri hidupnya.
"...telah aku terima
sakitnya dikhianati
sedalam cintaku ini
selama hidupku ini
hatiku cuma ada satu
sudah untuk mencintaimu..."
(Nindy)
(1) Flop, flight operation. Suatu ruangan untuk mengatur jadwal pesawat dan crew. Disertai jam, registrasi, rute dan lamanya jam
operasional pesawat
(2) FA, flight attendant. Istilah lain dari pramugari/a
(3) Apron. Tempat pesawat di parkir
(4) RON, Remain over night. Bermalam di tempat tujuan
(5) Manifest. Daftar penumpang, dalam berbentuk lembaran kertas yang disertai tempat duduk dan tujuan
(6) Bar empat. Istilah lain dari pangkat captain. Bar empat adalah pangkat tertinggi dalam profesi pilot.