Sang pendongeng
28.01.2012
Cerita ini adalah fiksi, jika terdapat kesamaan nama dan tempat kejadian hanyalah kebetulan saja.
Hari sudah beranjak sore, matahari sudah tidak berada diatas kepala seperti empat jam yang lalu. Darmono, kakek berusia 70 tahun masih menjalani kehidupan di usia senjanya sebagai pendongeng. Hari-hari kehidupannya tidaklah terlalu spesial. Setiap pagi, ketika semua orang memulai sibuk dengan aktifitas harian, ia sudah mengitari komplek perumahan mewah sebagai loper koran. Setiap hari ia memulai aktifitasnya sejam sebelum waktu subuh. Dan tepat pukul 6.30, koran yang ada di sepeda ontelnya telah habis diantarkan ke pelanggannya.
Setelah itu kakek darmono menyempatkan diri untuk istirahat sejenak. Tepat pukul sembilan pagi, ia berganti profesi penyapu jalanan sampai menjelang waktu azar tiba.
Beruntung bagi kakek darmono jika awal bulan tiba. Sebelum melanjutkan pekerjaan sapu jalanan, ia menyempatkan diri mampir ke kantor pos, untuk mengambil uang pensiun yang hanya cukup untuk hidup selama tujuh hari kedepan. Sisa hari berikutnya dari penghasilan sebagai loper koran, penyapu jalanan dan pendongeng. Cukup untuk hidup seorang diri dengan rumah kontrakan 3x5 meter. Istri dan ketiga anaknya telah lama meninggal, hanya seorang yang masih hidup. Siti namanya, ia bekerja di malaysia sebagai TKI. Sebelum berangkat ia bercerita ke bapaknya kalau di malaysia akan bekerja sebagai buruh pabrik. Tapi entahlah kerja apa sebenarnya yang terjadi sesampainya di sana.
Di masa mudanya darmono tergabung sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Masa-masa perlawanan terhadap penjajah hingga kemerdekaan telah ia saksikan. Ia pun salah satu saksi hidup bagaimana negara ini merayakan kemerdekaannya. Kini, di usia senja ia masih tengah bertarung melawan kemerdekaan hidup sehari-hari.
Seusai menunaikan sholat azar berjamaah di musholah yang terletak beberapa meter dari rumah kontrakannya, ia kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah singgah, cukup dekat jika ditempuh dengan sepeda ontelnya, tapi sangat jauh jika ia harus berjalan kaki.
Rumah singgah adalah rumah sementara yang menampung anak-anak jalanan yang sudah hampir sepuluh tahun didirikan oleh LSM. Tiap sore kakek darmono mengisi hari-harinya di sini. Ia mendongeng tentang kisah-kisah jenaka ke seluruh anak-anak yang ada di rumah singgah. Kadang ia juga bercerita tentang kisah hidupnya pada para remaja di sana. Hadirnya darmono dalam keluarga rumah singgah dapat mengurungkan niat anak-anak turun ke jalanan.
Tak banyak yang diperolehnya dari mendongeng, selain kepeduliannya pada anak-anak yang kurang beruntung dan taman bacaan.
Sepeda kakek darmono baru saja menelusuri jalan menuju rumah singgah, tampak beberapa anak-anak jalanan sudah mengekornya hingga berhenti tepat di depan rumah singgah.
"Selamat sore sahabat cilikku?" Sapa kakek darmono kepada anak-anak jalanan
"Sore kek..." Jawab mereka serempak
Beberapa sahabat ciliknya tengah mengandeng tangan kakek darmono, menuju ruang aula rumah singgah. Tidak terlalu luas dan bagus, namun cukup untuk menampung 20 orang anak untuk duduk bersilah.
Mawar gadis cilik berusia 10 tahun, sangat antusias menanyakan dongeng hari ini, "Tema dongeng hari ini apa kek?"
"Ayo... Duduk yang manis dulu. Jika tidak kebagian tempat di dalam, bisa berdiri di luar. Nanti gantian dengan yang duduk di dalam" kata kakek darmono kepada sahabat ciliknya.
Sahabat ciliknya telah duduk dengan tenang, hanya ada beberapa orang anak yang tidak kebagian duduk di dalam terpaksa berdiri di luar pintu dan jendela.
Kakek darmono memulai dongengnya yang pertama, "sahabat kecilku... Hari ini kakek akan bercerita tentang seekor tikus yang menjelma sebagai manusia"(1)
Seperti layaknya pendongeng, darmono selalu memulai cerita dongengnya dengan kalimat -pada jaman dahulu kala-. Kakek darmono tampak menikmati perannya sebagai pendongeng, sesekali ia mengubah suara, agar cerita lebih menarik. Ia selalu berdiri ditengah setiap kali mendongeng, sahabat ciliknya yang mengitari dirinya. Sepuluh menit telah berlalu, ia mengakhiri dongeng pertamannya dengan menengak air putih.
"Cerita lagi kek..." Saut mawar yang telah tak sabar menanti dongeng berikutnya
"Sebelum memulai cerita berikutnya, kakek ingin bertanya kepada kalian. Apa cita-cita kalian" kata kakek darmono kepada sahabat ciliknya
"Aku mau jadi guru, kek" jawab mawar
"Bagus. Kalau budi?" Tanya kakek darmono sambil menghampiri budi, yang baru saja kehilangan kakak kandungnya setelah polisi menembak mati kawanan kelompok kapak merah.
tak ada kata yang keluar dari mulut budi, hanya gelengan kepala.
"Masa budi tidak punya cita-cita?" Tanya kakek darmono
"Belom tau kek" jawabnya sambil bingung
"Aku kek! Mau jadi presiden" teriak amir
"Wah... Hebat amir" balas kakek darmono
"Huuu..." Teriak mawar, "mana ada presiden dari gelandangan!"
"Huss!! Mawar, tidak baik bicara seperti itu!" Tegur kakek darmono
"Lagian kek... Ada-ada aja si amir! Mimpi kali yee..." Balas mawar
"Semua orang boleh saja bermimpi, namanya juga cita-cita" jawab kakek darmono
"Tau tuh kek si mawar, sirik aja ama gue" teriak amir
"Udah... Udah... Kakek lanjutin aja ceritanya" balas kakek darmono sambil menenangkan suasana
"Horeee..." Teriak anak-anak seisi ruangan
Kakek darmono meneruskan dongeng keduanya dengan sebuah kalimat pamungkas -pada jaman dahulu-. Kali ini kakek bercerita kisah si cantik dan si buruk rupa(2).
Detik demi detik, lalu menit, disusul dengan jam, tak terasa azan magrib berkumandang. Lebih dari 10 dongeng telah ia ceritakan pada sahabat kecilnya. Tiap hari ia mendongeng, tapi tak ada satu pun cerita yang terulang. Kakek seperti memiliki perpustakaan dongeng berjalan. Rasanya ia tak pernah kehabisan cerita. Terkadang, ia juga menceritakan kisah hidupnya selama menjadi pejuang kemerdekaan.
Sebelum beranjak pulang, kakek menyempatkan diri sholat magrib di rumah singgah bersama beberapa orang dari LSM. Anak-anak jalanan lebih memilih bermain dan kabur, ketimbang beribadah kepada pencipta-Nya.
Setelah sholat magrib, kakek berpamitan dengan beberapa orang yang ada dirumah singgah. Mereka adalah orang LSM dan penduduk sekitar.
"Kek... Ini upahnya hari ini" kata andreas. Ia seorang perwakilan LSM asing yang memperjuangkan kemerdekaan bagi anak-anak jalanan. Kemerdekaan untuk memperoleh pendidikan yang layak, kehidupan yang lebih baik. Entahlah kepentingan yang sebenarnya LSM asing ini apa? Tapi yang pasti, masyarakat di sekitar rumah singgah menyambut baik hadirnya LSM ini.
"Ahh... Terima kasih" balas kakek darmono
"Jangan lupa kek, besok ada media tv datang untuk meliput rumah singgah kita. Datang lebih awal ya?" kata andreas yang juga blasteran indonesia-amerika.
"Insya allah kakek datang" jawab kakek darmono
Kakek darmono berlalu meninggalkan andreas, rumah singgah dan sahabat kecilnya. Siang telah berganti gelap, ia kembali ke rumah kontrakannya. Esok hari, ia akan memulai rutinitasnya satu jam sebelum waktu subuh tiba. Loper koran, penyapu jalanan dan pendongeng bagi anak-anak jalanan.
----------------
Keesokan harinya kakek darmono tidak nampak hadir di rumah singgah. Sahabat ciliknya dan andreas bertanya dalam hati, sakitkah ia? Andreas dan amir menyusul ke rumah kontrakan kakek darmono. Sepedanya tak nampak di depan jendela rumah kontrakannya. Tetangganya pun tak tahu keberadaan kakek darmono.
Dua hari berlalu, para sahabat di rumah singgah baru menerima kabar dari tetangga kakek darmono. Kakek telah meninggal dunia dua hari yang lalu. Menurut pihak rumah sakit, kakek terkena serangan jantung ketika melakukan pekerjaannya penyapu jalanan. Malang tak bisa di raih, ia meninggal dunia di dalam becak ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Kakek darmono kini telah beristirahat dengan damai, meskipun dipemakamannya tidak dihadiri oleh para sahabatnya di rumah singgah dan putrinya yang berada di malaysia. namun, pengabdiannya sebagai pendongeng telah memberikan kenangan yang tak terlupakan bagi anak-anak jalanan seperti mawar, budi, amir dan lainnya.
"... Di saat ini ingin kuterlena lagi
Terbang tinggi di awan
Tinggalkan bumi di sini ..."
(Achmad Albar)
(1) Baca juga tulisan saya "kisah raja tikus"
(2) Cerita klasik walt disney "beauty and the beast"
Cerita ini adalah fiksi, jika terdapat kesamaan nama dan tempat kejadian hanyalah kebetulan saja.
Hari sudah beranjak sore, matahari sudah tidak berada diatas kepala seperti empat jam yang lalu. Darmono, kakek berusia 70 tahun masih menjalani kehidupan di usia senjanya sebagai pendongeng. Hari-hari kehidupannya tidaklah terlalu spesial. Setiap pagi, ketika semua orang memulai sibuk dengan aktifitas harian, ia sudah mengitari komplek perumahan mewah sebagai loper koran. Setiap hari ia memulai aktifitasnya sejam sebelum waktu subuh. Dan tepat pukul 6.30, koran yang ada di sepeda ontelnya telah habis diantarkan ke pelanggannya.
Setelah itu kakek darmono menyempatkan diri untuk istirahat sejenak. Tepat pukul sembilan pagi, ia berganti profesi penyapu jalanan sampai menjelang waktu azar tiba.
Beruntung bagi kakek darmono jika awal bulan tiba. Sebelum melanjutkan pekerjaan sapu jalanan, ia menyempatkan diri mampir ke kantor pos, untuk mengambil uang pensiun yang hanya cukup untuk hidup selama tujuh hari kedepan. Sisa hari berikutnya dari penghasilan sebagai loper koran, penyapu jalanan dan pendongeng. Cukup untuk hidup seorang diri dengan rumah kontrakan 3x5 meter. Istri dan ketiga anaknya telah lama meninggal, hanya seorang yang masih hidup. Siti namanya, ia bekerja di malaysia sebagai TKI. Sebelum berangkat ia bercerita ke bapaknya kalau di malaysia akan bekerja sebagai buruh pabrik. Tapi entahlah kerja apa sebenarnya yang terjadi sesampainya di sana.
Di masa mudanya darmono tergabung sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Masa-masa perlawanan terhadap penjajah hingga kemerdekaan telah ia saksikan. Ia pun salah satu saksi hidup bagaimana negara ini merayakan kemerdekaannya. Kini, di usia senja ia masih tengah bertarung melawan kemerdekaan hidup sehari-hari.
Seusai menunaikan sholat azar berjamaah di musholah yang terletak beberapa meter dari rumah kontrakannya, ia kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah singgah, cukup dekat jika ditempuh dengan sepeda ontelnya, tapi sangat jauh jika ia harus berjalan kaki.
Rumah singgah adalah rumah sementara yang menampung anak-anak jalanan yang sudah hampir sepuluh tahun didirikan oleh LSM. Tiap sore kakek darmono mengisi hari-harinya di sini. Ia mendongeng tentang kisah-kisah jenaka ke seluruh anak-anak yang ada di rumah singgah. Kadang ia juga bercerita tentang kisah hidupnya pada para remaja di sana. Hadirnya darmono dalam keluarga rumah singgah dapat mengurungkan niat anak-anak turun ke jalanan.
Tak banyak yang diperolehnya dari mendongeng, selain kepeduliannya pada anak-anak yang kurang beruntung dan taman bacaan.
Sepeda kakek darmono baru saja menelusuri jalan menuju rumah singgah, tampak beberapa anak-anak jalanan sudah mengekornya hingga berhenti tepat di depan rumah singgah.
"Selamat sore sahabat cilikku?" Sapa kakek darmono kepada anak-anak jalanan
"Sore kek..." Jawab mereka serempak
Beberapa sahabat ciliknya tengah mengandeng tangan kakek darmono, menuju ruang aula rumah singgah. Tidak terlalu luas dan bagus, namun cukup untuk menampung 20 orang anak untuk duduk bersilah.
Mawar gadis cilik berusia 10 tahun, sangat antusias menanyakan dongeng hari ini, "Tema dongeng hari ini apa kek?"
"Ayo... Duduk yang manis dulu. Jika tidak kebagian tempat di dalam, bisa berdiri di luar. Nanti gantian dengan yang duduk di dalam" kata kakek darmono kepada sahabat ciliknya.
Sahabat ciliknya telah duduk dengan tenang, hanya ada beberapa orang anak yang tidak kebagian duduk di dalam terpaksa berdiri di luar pintu dan jendela.
Kakek darmono memulai dongengnya yang pertama, "sahabat kecilku... Hari ini kakek akan bercerita tentang seekor tikus yang menjelma sebagai manusia"(1)
Seperti layaknya pendongeng, darmono selalu memulai cerita dongengnya dengan kalimat -pada jaman dahulu kala-. Kakek darmono tampak menikmati perannya sebagai pendongeng, sesekali ia mengubah suara, agar cerita lebih menarik. Ia selalu berdiri ditengah setiap kali mendongeng, sahabat ciliknya yang mengitari dirinya. Sepuluh menit telah berlalu, ia mengakhiri dongeng pertamannya dengan menengak air putih.
"Cerita lagi kek..." Saut mawar yang telah tak sabar menanti dongeng berikutnya
"Sebelum memulai cerita berikutnya, kakek ingin bertanya kepada kalian. Apa cita-cita kalian" kata kakek darmono kepada sahabat ciliknya
"Aku mau jadi guru, kek" jawab mawar
"Bagus. Kalau budi?" Tanya kakek darmono sambil menghampiri budi, yang baru saja kehilangan kakak kandungnya setelah polisi menembak mati kawanan kelompok kapak merah.
tak ada kata yang keluar dari mulut budi, hanya gelengan kepala.
"Masa budi tidak punya cita-cita?" Tanya kakek darmono
"Belom tau kek" jawabnya sambil bingung
"Aku kek! Mau jadi presiden" teriak amir
"Wah... Hebat amir" balas kakek darmono
"Huuu..." Teriak mawar, "mana ada presiden dari gelandangan!"
"Huss!! Mawar, tidak baik bicara seperti itu!" Tegur kakek darmono
"Lagian kek... Ada-ada aja si amir! Mimpi kali yee..." Balas mawar
"Semua orang boleh saja bermimpi, namanya juga cita-cita" jawab kakek darmono
"Tau tuh kek si mawar, sirik aja ama gue" teriak amir
"Udah... Udah... Kakek lanjutin aja ceritanya" balas kakek darmono sambil menenangkan suasana
"Horeee..." Teriak anak-anak seisi ruangan
Kakek darmono meneruskan dongeng keduanya dengan sebuah kalimat pamungkas -pada jaman dahulu-. Kali ini kakek bercerita kisah si cantik dan si buruk rupa(2).
Detik demi detik, lalu menit, disusul dengan jam, tak terasa azan magrib berkumandang. Lebih dari 10 dongeng telah ia ceritakan pada sahabat kecilnya. Tiap hari ia mendongeng, tapi tak ada satu pun cerita yang terulang. Kakek seperti memiliki perpustakaan dongeng berjalan. Rasanya ia tak pernah kehabisan cerita. Terkadang, ia juga menceritakan kisah hidupnya selama menjadi pejuang kemerdekaan.
Sebelum beranjak pulang, kakek menyempatkan diri sholat magrib di rumah singgah bersama beberapa orang dari LSM. Anak-anak jalanan lebih memilih bermain dan kabur, ketimbang beribadah kepada pencipta-Nya.
Setelah sholat magrib, kakek berpamitan dengan beberapa orang yang ada dirumah singgah. Mereka adalah orang LSM dan penduduk sekitar.
"Kek... Ini upahnya hari ini" kata andreas. Ia seorang perwakilan LSM asing yang memperjuangkan kemerdekaan bagi anak-anak jalanan. Kemerdekaan untuk memperoleh pendidikan yang layak, kehidupan yang lebih baik. Entahlah kepentingan yang sebenarnya LSM asing ini apa? Tapi yang pasti, masyarakat di sekitar rumah singgah menyambut baik hadirnya LSM ini.
"Ahh... Terima kasih" balas kakek darmono
"Jangan lupa kek, besok ada media tv datang untuk meliput rumah singgah kita. Datang lebih awal ya?" kata andreas yang juga blasteran indonesia-amerika.
"Insya allah kakek datang" jawab kakek darmono
Kakek darmono berlalu meninggalkan andreas, rumah singgah dan sahabat kecilnya. Siang telah berganti gelap, ia kembali ke rumah kontrakannya. Esok hari, ia akan memulai rutinitasnya satu jam sebelum waktu subuh tiba. Loper koran, penyapu jalanan dan pendongeng bagi anak-anak jalanan.
----------------
Keesokan harinya kakek darmono tidak nampak hadir di rumah singgah. Sahabat ciliknya dan andreas bertanya dalam hati, sakitkah ia? Andreas dan amir menyusul ke rumah kontrakan kakek darmono. Sepedanya tak nampak di depan jendela rumah kontrakannya. Tetangganya pun tak tahu keberadaan kakek darmono.
Dua hari berlalu, para sahabat di rumah singgah baru menerima kabar dari tetangga kakek darmono. Kakek telah meninggal dunia dua hari yang lalu. Menurut pihak rumah sakit, kakek terkena serangan jantung ketika melakukan pekerjaannya penyapu jalanan. Malang tak bisa di raih, ia meninggal dunia di dalam becak ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Kakek darmono kini telah beristirahat dengan damai, meskipun dipemakamannya tidak dihadiri oleh para sahabatnya di rumah singgah dan putrinya yang berada di malaysia. namun, pengabdiannya sebagai pendongeng telah memberikan kenangan yang tak terlupakan bagi anak-anak jalanan seperti mawar, budi, amir dan lainnya.
"... Di saat ini ingin kuterlena lagi
Terbang tinggi di awan
Tinggalkan bumi di sini ..."
(Achmad Albar)
(1) Baca juga tulisan saya "kisah raja tikus"
(2) Cerita klasik walt disney "beauty and the beast"