Obrolan Kosong
29.02.2012
Cerita ini adalah fiksi, jika terdapat kesamaan nama dan tempat kejadian hanyalah kebetulan saja.
Pagi masih baru beranjak,lembayung subuh telah berganti dengan matahari di efuk barat. Jarum pendek masih enggan berjalan cepat menuju angka tujuh, sementara detik dan menit terus berlarian menuju angka tiga puluh. Udara pagi masih terasa segar, belum bercampur dengan asap hitam metro mini. Ini merupakan akhir pekan di minggu ke empat di bulan yang hanya memiliki tanggal 28 sebagai tanggal terakhirnya. Adi sudah memarkir sepeda fixienya di sebuah warung kopi yang berdekatan dengan jalan protokol tempat diadakannya acara dwi mingguan, car free day. Seperti biasa di kalangan sepeda fixie, mereka kumpul dulu di warung kopi milik mak ijoh sebelum akhirnya mereka bergerombol turing mengelilingi sebagian ibu kota dan kembali ke rumahnya masing-masing.
Komunitas sepeda fixie beranggotakan beragam kalangan, adi seorang aktifis mahasiswa hukum tingkat akhir yang tengah galau berat dengan keadaan negara akhir-akhir ini. Obrolannya pun tak jauh dari politik dan hukum, seolah tak ada bahan lain yang layak untuk dibicarakan. Selain adi ada dana dan reza yang sudah nongkrong di warung kopi mak ijoh. Dana seorang profesional muda yang memiliki perusahaan advertising yang berkantor di depan warung kopi mak ijoh. Ia sudah lebih lama makan asam garam, sepetnya kehidupan di kota jakarta. Berbeda dengan dana dan adi, reza pemuda tanggung jebolan S2 universitas negeri di jakarta yang sudah lebih dari 5 tahun masih menganggur. Beruntung ia dari keluarga yang berada, ketidak adanya pekerjaan masih bisa membuat ia sedikit bernafas tenang. Paling tidak sandang pangan masih terpenuhi dnegan sempurna.
Mereka masih menunggu bebrapa teman fixie yang belum datang, kebetulan hari itu banyak yang berhalangan gowes, alasananya beragam dari acara keluarga hingga ada sakit. Masih ada mahasiswi jurusan design si kembar elena-alena, bara sang reserse tajir dan steve si bule matrealistis yang sudah 10 tahun kawin dengan tante-tante konglomerat pribumi. Malam sebelumnya mereka telah mengabari pada adi untuk ketemuan di warung kopi mak ijoh. Entahlah siapa yang memulai duluan dengan pemberian nama mak ijoh, nama sebenarnya suratmin. Asli dari purwokerto. Katanya biar lebih menjual namanya di ganti dengan sebutan ijoh atau mak ijoh. Plesetan dari hijau. “kan sekarang lagi ngetrend go green, biar gaul emak ikutan ganti nama, lagian ijoh kan lebih indonesia” jawab mak ijoh atau mak suratmin ketika di tanya sama dana.
Reza nampak mulai gelisah, sesekali ia sibuk dengan bbm nya, secepat itu pula ia berganti dengan game di ipad. Sementara adi dan dana tengah asik ngobrolin gosip dan politik. Entahlah mereka benar-benar ngobrol atau berdebat. Yang pasti makin lama, suara makin kencang serasa warung milik sendiri.
“aduh mas... dari tadi yang diomongin angie mulu...” potong mak ijoh “gak ada gosip lain? Anang kek? jupe kek?”
“yaa... si emak. Itu sih gosip murahan” jawab adi sambil menyeruput kopi hitamnya
“abis pusing ngikutin gosipnya angie. Kayak gak ada abisnya!” balas mak ijoh
“itu bukan gosip mak, tapi fakta” jawab adi
“ahh... mau fakta kek! Gosip kek! Buat emak bosen. Politik penuh kemunafikan!” balas mak ijoh
“hahaha.... bener juga tuh kata si emak” saut dana
“udah deh mak... dari pada pusing, mending main game di ipad” potong reza sambil memotret suasana warung kopi mak ijoh dnegan ipad nya.
“apa pet?” tanya emak ke reza
“ipad!” balas reza sambil meletakan gelas kopinya
“aneh bener tuh nama! Kaya nama kebo emak di desa. Si kepet” kata mak ijoh
“beda mak... kepet kan kebo emak. Kalo ini I P A D. Komputer tablet yang paling canggih sekarang” tegas reza
Kontan jawaban emak memancing tawa adi, dana dan seorang supir taksi yang baru datang. Belakangan mereka baru tahu kalau memiliki nama yang sama dengan mantan presiden indonesia, suharto.
“emang berapaan harganya tuh kepet?” tanya emak ke reza
“I P A D, mak...” balas reza
“iyalah apa lah namanya....” saut emak
“kalo sekarang sih sekitar 7 jutaan yang 32 gig...” jawab reza
“7 juta??? Ahhh.... masih lebih mahal kebo emak donk! Seekor bisa 30 juta!” jawab emak spontan
Lagi-lagi adi tertawa ngakak, sambil memukul-mukul kecil meja warung mak ijoh. Dana pun hampir tersedak pisang goreng yang tengah dikunyahnya.
“auk ah mak...” balas reza sambil duduk membelakangin warung.
“ya... bu... sekarang kan eranya ipad, android, bb gitu... bukan jamannya hewan ternak” sapa seorang supir taksi yang tengah duduk santai sambil menanti penumpang
“bodo ah... puyeng emak” jawab mak ijo singkat
“gak narik pak?”tanya adi sambil mengakrabkan diri
“narik lah mas... kalo gak narik gak ada setoran donk! Bisa-bisa besok kita di pecat sama bos” jawab supir taksi
“masa gak ada setoran satu hari langsung di pecat?” tanya dana
“iya pak... sekarang jaman serba susah. Orang yang mau jadi supir taksi lebih banyak dari yang mau jadi anggota DPR. Kalo setoran kita kurang, boss cari supir baru” jawab suharto, sang supir taksi.
“lho koq gitu? Apa hubungannya, DPR ama supir taksi?” tanya dana
“sama-sama punya setoran ke atasan. Tapi setoran naksi lebih ringan dan halal” jawab suharto enteng.
“iya juga ya...” kata dana
“HAHAHAHA....” suara tawa di warung mak ijoh pecah, reza yang tadinya tampak ngedumel karena iapd nya di samakan dengan si kepet, kebonya mak ijoh di kampung, kini turut larut dalam suka cita. Hampir sepuluh menit mereka berbagi keceriaan di warung kopi mak ijoh, tepat pukul 06.40 sikembar alena-elena datang dengan fixie pinknya. Yang satu pink dengan polkadot merah dan satunya pink dengan motif hati merah.
“baru lagi tuh sepeda?” tanya reza, yang sejak awal perkenalan sudah menaruh hati pada si kembar. Cuman yang membuatnya bingung sampai saat ini adalah si kakak atau sang adik yang menjadi pilihan hatinya.
“ciee... reza... langsung sumringah alena datang!” ledek dana
“ooo.... jadi lo ngarepin kakak gue?” sindir elena
“apaan sih.... biasa aja koq” balas reza singkat dengan raut wajah penik dan salah tingkah
“ooo.... jadi bukan gue?” kata alena
“ini apa-apaan sih???” kata reza yang sudah salah tingkah sejak si kembar datang “ya udah deh... dua-duanya sini ama gue...”
“ciee.... udah berani poligami nih” saut dana
Kehangatan mulai tampak diantara mereka. Alena-elena sudah memesan teh manis panas ke mak ijoh, sambil menunggu bara dan steve. Bagi mereka steve sangat lelet, namun kehadirannya bagai oase di padang gurun. Steve selalu mentraktir teman-temannya, tak heran kehadirannya sangat dinantikan. Jangankan makanan, steve tidak segan-segan menfasilitasi seragam, helm dan tas kecil dikomunitasnya. Ia sangat royal. Terlebih setelah teman-temannya tahu siapa istrinya steve. Mereka memanggilnya si bugil alias bule gila. Wanita yang lebih pantas menjadi ibunya telah dinikahi selama sepuluh tahun. Kini di usianya yang genap tiga puluh tahun, ia telah memiliki banyak mobil mewah berpintu dua dan beberapa motor besar.
“tumben si bule belom nongol?” tanya mak ijoh
“ahh dia ma... lama mak...” saut alena dan elena kompak serempak seolah ada yang mengkomandonya
“Jangan sampe gak dateng tuh.... dia janji mau traktir kita makan siang” kata adi
“pasti dateng...” saut dana
Kopi dalam cangkir telah surut, hingga meninggalkan endapan berwarna hitam pekat. Begitu pun dengan teh manis panas telah berbaur dengan udara sejuk di pagi hari, tinggal dua kali tenggak, habis sudah teh dalam gelas. Jam tangan sudah menunjukan pukul 06.50, dan masih belum nampak tanda-tanda kehadiran bara dan steve.
Tepat dua menit kemudian bara datang. Dengan fixie barunya bara memecah kebutekan teman-temannya yang telah lelah menunggunya.
“baru lagi mas?” tanya adi
“hehe... iya nih baru dapet rejeki” jawab bara
“perasaan tiap minggu dapet rejeki mulu!” balas adi
“beli berapa?” tanya dana, sambil mengalihkan pembicaraan adi ke bara. Dana tahu betul bagaimana cara kerja bara sebagai reserse. Karena ia dalam menjalankan bisnis advertisingnya, selalu mencari perlindungan dengan kaum seperti bara. Tujuannya cuman satu, agar bisnisnya tidak diganggu oleh pesaingnya.
“murah aja boss.... cuman 15” jawab bara
“HAH!!!!.... sepeda begituan 15 juta? Mending emak beliin kebo yang anakan di kampung!” saut mak ijoh, yang lagi-lagi memancing tawa
“yah... kebo lagi...” kata reza, sambil menaiki fixie nya alena
“lain donk mak... masa kebo disamain dengan sepeda?” saut adi “kebo cuman bisa nyusahin, harus punya empang, kasih makan. Belum kalo musim kawin,berisik!”
“enggak donk den. Kebo, dua tahun bisa di jual 30 juta. Lah sepeda, dua tahun jadi rongsokan besi tua!” jawab mak ijoh enteng
“iya juga sih...” kata adi. “tapi kan sepeda bisa buat olah raga ama gaul, mak!” jelas adi tak mau kalah debat dengan mak ijoh yang notabenenya tidak pernah merasakan indahnya bangku SD hingga tamat.
“kalo mau olah raga ngebecak aja den... jelas lebih ngaruh ke otot kaki” jawab mak ijoh enteng sambil menerima uang pas pembelian kopi dan indomie dari suharto, supir taksi.
“sial....” balas adi
“kalo gaul. Emak dah gaul dari sononya den... buktinya aden masih betah nongkrong di warung emak” jawab mak ijoh enteng.
Lagi-lagi celoteh spontan mak ijoh memecah tawa orang yang ada di warung kopinya. Saking lucu dan cerianya, sampai-sampai mereka tidak menyadari kehadiran steve di sekitar mereka. Dengan wajah bule berkulit kemerahan yang telah terbakar sinar matahari asia, ia menegur...
“ada apa ini? Tertawa riang?”
“gak papa... lucu aja liat adi ama emak dari tadi ribut melulu...” jawab reza
“ehhh udah datang lo?” sapa alena dan elena dengan nada kompak
“nah si bugil dah dateng, ayo kita jalan... nanti keburu siang” ajak dana ke teman-temannya
“yok...” balas bara yang sudah beranjak menuju fixie kuningnya
“bugil... lo kan datengnya telat. Talangin kita ya?” saut reza
“ahh... selalu saya yang bayar” jawab steve ke teman-temannya. “berapa semuanya mak?” tanya steve, si bule gila ke mak ijoh
“ lima puluh dua setengah” jawab mak ijoh
“brapa?” balas steve keheranan dengan bahasa proklem mak ijoh, kontak menimbulkan kelucuan diantara alena dan elena. Spontan alena memberi penjelasan ringan ke steve,
“lima puluh dua ribu lima ratus rupiah” kata alena dengan menggerakan jemari tangannya ke steve sambil membentuk lima jari pada tangan kanan dan dua jari pada tangan kiri.
“Ok” steve merogoh dompet ditas pinggangnya, “Ini uangnya mak” kata steve
“makasih ya den...” jawab mak ijoh
“alena... what mean is den?”
Lagi-lagi mereka, alena, elena, reza, bara, dana dan adit tertawa lepas melihat keluguan steve yang sudah sepuluh tahun masih bingung dengan bahasa indonesia proklem bercampur bahasa daerah.
“udah ah... ayo genjot” saut adi sambil mengkomandoi teman-temannya. Tepat jam 07.00 mereka beranjak pergi meninggalkan warung kopi mak ijoh.
“saya pusing dengan bahasa mak ijoh!” kata steve ke alena dan elena
“ya... memang kamu harus pusing untuk tinggal di jakarta. Kalo gak mau pusing kamu traktir kita lagi nanti...” balas reza, yang sejak kehadiran si kembar selalu menempel seperti perangko. Reza sadar, steve lah ancaman terselubung bagi hubungannya dengan alena. Walaupun sampai saat ini masih belum bisa menetapkan pilihannya, alena atau elena? Tapi baginya steve teman sekaligus musuh dalam selimut yang siap kapan saja merebut hati alena dan elena dengan pundi-pundi dollarnya.
“reza... apa hubungannya?” tanya steve dengan nada heran
“ya... dihubung-hubungin ajalah...” balas reza
Kawanan fixier berlalu meninggalkan warung kopi mak ijoh. Begitu pun dengan suharto, supir taksi berlogo burung terbang. Tiga puluh menit waktu yang dihabiskan bersama mak ijoh, hanya obrolan kosong, keceriaan dan tanpa beban pikiran. Semua celoteh mengalir begitu saja, tanpa rekayasa. Situasi dan keadaan yang membentuk karakter mereka
“... nongkrong di warung kopi
Denting sana dan sini
Sekedar suara rakyat kecil
Bukannya mau usil ...”
(Dono-Kasino-Indro)
Cerita ini adalah fiksi, jika terdapat kesamaan nama dan tempat kejadian hanyalah kebetulan saja.
Pagi masih baru beranjak,lembayung subuh telah berganti dengan matahari di efuk barat. Jarum pendek masih enggan berjalan cepat menuju angka tujuh, sementara detik dan menit terus berlarian menuju angka tiga puluh. Udara pagi masih terasa segar, belum bercampur dengan asap hitam metro mini. Ini merupakan akhir pekan di minggu ke empat di bulan yang hanya memiliki tanggal 28 sebagai tanggal terakhirnya. Adi sudah memarkir sepeda fixienya di sebuah warung kopi yang berdekatan dengan jalan protokol tempat diadakannya acara dwi mingguan, car free day. Seperti biasa di kalangan sepeda fixie, mereka kumpul dulu di warung kopi milik mak ijoh sebelum akhirnya mereka bergerombol turing mengelilingi sebagian ibu kota dan kembali ke rumahnya masing-masing.
Komunitas sepeda fixie beranggotakan beragam kalangan, adi seorang aktifis mahasiswa hukum tingkat akhir yang tengah galau berat dengan keadaan negara akhir-akhir ini. Obrolannya pun tak jauh dari politik dan hukum, seolah tak ada bahan lain yang layak untuk dibicarakan. Selain adi ada dana dan reza yang sudah nongkrong di warung kopi mak ijoh. Dana seorang profesional muda yang memiliki perusahaan advertising yang berkantor di depan warung kopi mak ijoh. Ia sudah lebih lama makan asam garam, sepetnya kehidupan di kota jakarta. Berbeda dengan dana dan adi, reza pemuda tanggung jebolan S2 universitas negeri di jakarta yang sudah lebih dari 5 tahun masih menganggur. Beruntung ia dari keluarga yang berada, ketidak adanya pekerjaan masih bisa membuat ia sedikit bernafas tenang. Paling tidak sandang pangan masih terpenuhi dnegan sempurna.
Mereka masih menunggu bebrapa teman fixie yang belum datang, kebetulan hari itu banyak yang berhalangan gowes, alasananya beragam dari acara keluarga hingga ada sakit. Masih ada mahasiswi jurusan design si kembar elena-alena, bara sang reserse tajir dan steve si bule matrealistis yang sudah 10 tahun kawin dengan tante-tante konglomerat pribumi. Malam sebelumnya mereka telah mengabari pada adi untuk ketemuan di warung kopi mak ijoh. Entahlah siapa yang memulai duluan dengan pemberian nama mak ijoh, nama sebenarnya suratmin. Asli dari purwokerto. Katanya biar lebih menjual namanya di ganti dengan sebutan ijoh atau mak ijoh. Plesetan dari hijau. “kan sekarang lagi ngetrend go green, biar gaul emak ikutan ganti nama, lagian ijoh kan lebih indonesia” jawab mak ijoh atau mak suratmin ketika di tanya sama dana.
Reza nampak mulai gelisah, sesekali ia sibuk dengan bbm nya, secepat itu pula ia berganti dengan game di ipad. Sementara adi dan dana tengah asik ngobrolin gosip dan politik. Entahlah mereka benar-benar ngobrol atau berdebat. Yang pasti makin lama, suara makin kencang serasa warung milik sendiri.
“aduh mas... dari tadi yang diomongin angie mulu...” potong mak ijoh “gak ada gosip lain? Anang kek? jupe kek?”
“yaa... si emak. Itu sih gosip murahan” jawab adi sambil menyeruput kopi hitamnya
“abis pusing ngikutin gosipnya angie. Kayak gak ada abisnya!” balas mak ijoh
“itu bukan gosip mak, tapi fakta” jawab adi
“ahh... mau fakta kek! Gosip kek! Buat emak bosen. Politik penuh kemunafikan!” balas mak ijoh
“hahaha.... bener juga tuh kata si emak” saut dana
“udah deh mak... dari pada pusing, mending main game di ipad” potong reza sambil memotret suasana warung kopi mak ijoh dnegan ipad nya.
“apa pet?” tanya emak ke reza
“ipad!” balas reza sambil meletakan gelas kopinya
“aneh bener tuh nama! Kaya nama kebo emak di desa. Si kepet” kata mak ijoh
“beda mak... kepet kan kebo emak. Kalo ini I P A D. Komputer tablet yang paling canggih sekarang” tegas reza
Kontan jawaban emak memancing tawa adi, dana dan seorang supir taksi yang baru datang. Belakangan mereka baru tahu kalau memiliki nama yang sama dengan mantan presiden indonesia, suharto.
“emang berapaan harganya tuh kepet?” tanya emak ke reza
“I P A D, mak...” balas reza
“iyalah apa lah namanya....” saut emak
“kalo sekarang sih sekitar 7 jutaan yang 32 gig...” jawab reza
“7 juta??? Ahhh.... masih lebih mahal kebo emak donk! Seekor bisa 30 juta!” jawab emak spontan
Lagi-lagi adi tertawa ngakak, sambil memukul-mukul kecil meja warung mak ijoh. Dana pun hampir tersedak pisang goreng yang tengah dikunyahnya.
“auk ah mak...” balas reza sambil duduk membelakangin warung.
“ya... bu... sekarang kan eranya ipad, android, bb gitu... bukan jamannya hewan ternak” sapa seorang supir taksi yang tengah duduk santai sambil menanti penumpang
“bodo ah... puyeng emak” jawab mak ijo singkat
“gak narik pak?”tanya adi sambil mengakrabkan diri
“narik lah mas... kalo gak narik gak ada setoran donk! Bisa-bisa besok kita di pecat sama bos” jawab supir taksi
“masa gak ada setoran satu hari langsung di pecat?” tanya dana
“iya pak... sekarang jaman serba susah. Orang yang mau jadi supir taksi lebih banyak dari yang mau jadi anggota DPR. Kalo setoran kita kurang, boss cari supir baru” jawab suharto, sang supir taksi.
“lho koq gitu? Apa hubungannya, DPR ama supir taksi?” tanya dana
“sama-sama punya setoran ke atasan. Tapi setoran naksi lebih ringan dan halal” jawab suharto enteng.
“iya juga ya...” kata dana
“HAHAHAHA....” suara tawa di warung mak ijoh pecah, reza yang tadinya tampak ngedumel karena iapd nya di samakan dengan si kepet, kebonya mak ijoh di kampung, kini turut larut dalam suka cita. Hampir sepuluh menit mereka berbagi keceriaan di warung kopi mak ijoh, tepat pukul 06.40 sikembar alena-elena datang dengan fixie pinknya. Yang satu pink dengan polkadot merah dan satunya pink dengan motif hati merah.
“baru lagi tuh sepeda?” tanya reza, yang sejak awal perkenalan sudah menaruh hati pada si kembar. Cuman yang membuatnya bingung sampai saat ini adalah si kakak atau sang adik yang menjadi pilihan hatinya.
“ciee... reza... langsung sumringah alena datang!” ledek dana
“ooo.... jadi lo ngarepin kakak gue?” sindir elena
“apaan sih.... biasa aja koq” balas reza singkat dengan raut wajah penik dan salah tingkah
“ooo.... jadi bukan gue?” kata alena
“ini apa-apaan sih???” kata reza yang sudah salah tingkah sejak si kembar datang “ya udah deh... dua-duanya sini ama gue...”
“ciee.... udah berani poligami nih” saut dana
Kehangatan mulai tampak diantara mereka. Alena-elena sudah memesan teh manis panas ke mak ijoh, sambil menunggu bara dan steve. Bagi mereka steve sangat lelet, namun kehadirannya bagai oase di padang gurun. Steve selalu mentraktir teman-temannya, tak heran kehadirannya sangat dinantikan. Jangankan makanan, steve tidak segan-segan menfasilitasi seragam, helm dan tas kecil dikomunitasnya. Ia sangat royal. Terlebih setelah teman-temannya tahu siapa istrinya steve. Mereka memanggilnya si bugil alias bule gila. Wanita yang lebih pantas menjadi ibunya telah dinikahi selama sepuluh tahun. Kini di usianya yang genap tiga puluh tahun, ia telah memiliki banyak mobil mewah berpintu dua dan beberapa motor besar.
“tumben si bule belom nongol?” tanya mak ijoh
“ahh dia ma... lama mak...” saut alena dan elena kompak serempak seolah ada yang mengkomandonya
“Jangan sampe gak dateng tuh.... dia janji mau traktir kita makan siang” kata adi
“pasti dateng...” saut dana
Kopi dalam cangkir telah surut, hingga meninggalkan endapan berwarna hitam pekat. Begitu pun dengan teh manis panas telah berbaur dengan udara sejuk di pagi hari, tinggal dua kali tenggak, habis sudah teh dalam gelas. Jam tangan sudah menunjukan pukul 06.50, dan masih belum nampak tanda-tanda kehadiran bara dan steve.
Tepat dua menit kemudian bara datang. Dengan fixie barunya bara memecah kebutekan teman-temannya yang telah lelah menunggunya.
“baru lagi mas?” tanya adi
“hehe... iya nih baru dapet rejeki” jawab bara
“perasaan tiap minggu dapet rejeki mulu!” balas adi
“beli berapa?” tanya dana, sambil mengalihkan pembicaraan adi ke bara. Dana tahu betul bagaimana cara kerja bara sebagai reserse. Karena ia dalam menjalankan bisnis advertisingnya, selalu mencari perlindungan dengan kaum seperti bara. Tujuannya cuman satu, agar bisnisnya tidak diganggu oleh pesaingnya.
“murah aja boss.... cuman 15” jawab bara
“HAH!!!!.... sepeda begituan 15 juta? Mending emak beliin kebo yang anakan di kampung!” saut mak ijoh, yang lagi-lagi memancing tawa
“yah... kebo lagi...” kata reza, sambil menaiki fixie nya alena
“lain donk mak... masa kebo disamain dengan sepeda?” saut adi “kebo cuman bisa nyusahin, harus punya empang, kasih makan. Belum kalo musim kawin,berisik!”
“enggak donk den. Kebo, dua tahun bisa di jual 30 juta. Lah sepeda, dua tahun jadi rongsokan besi tua!” jawab mak ijoh enteng
“iya juga sih...” kata adi. “tapi kan sepeda bisa buat olah raga ama gaul, mak!” jelas adi tak mau kalah debat dengan mak ijoh yang notabenenya tidak pernah merasakan indahnya bangku SD hingga tamat.
“kalo mau olah raga ngebecak aja den... jelas lebih ngaruh ke otot kaki” jawab mak ijoh enteng sambil menerima uang pas pembelian kopi dan indomie dari suharto, supir taksi.
“sial....” balas adi
“kalo gaul. Emak dah gaul dari sononya den... buktinya aden masih betah nongkrong di warung emak” jawab mak ijoh enteng.
Lagi-lagi celoteh spontan mak ijoh memecah tawa orang yang ada di warung kopinya. Saking lucu dan cerianya, sampai-sampai mereka tidak menyadari kehadiran steve di sekitar mereka. Dengan wajah bule berkulit kemerahan yang telah terbakar sinar matahari asia, ia menegur...
“ada apa ini? Tertawa riang?”
“gak papa... lucu aja liat adi ama emak dari tadi ribut melulu...” jawab reza
“ehhh udah datang lo?” sapa alena dan elena dengan nada kompak
“nah si bugil dah dateng, ayo kita jalan... nanti keburu siang” ajak dana ke teman-temannya
“yok...” balas bara yang sudah beranjak menuju fixie kuningnya
“bugil... lo kan datengnya telat. Talangin kita ya?” saut reza
“ahh... selalu saya yang bayar” jawab steve ke teman-temannya. “berapa semuanya mak?” tanya steve, si bule gila ke mak ijoh
“ lima puluh dua setengah” jawab mak ijoh
“brapa?” balas steve keheranan dengan bahasa proklem mak ijoh, kontak menimbulkan kelucuan diantara alena dan elena. Spontan alena memberi penjelasan ringan ke steve,
“lima puluh dua ribu lima ratus rupiah” kata alena dengan menggerakan jemari tangannya ke steve sambil membentuk lima jari pada tangan kanan dan dua jari pada tangan kiri.
“Ok” steve merogoh dompet ditas pinggangnya, “Ini uangnya mak” kata steve
“makasih ya den...” jawab mak ijoh
“alena... what mean is den?”
Lagi-lagi mereka, alena, elena, reza, bara, dana dan adit tertawa lepas melihat keluguan steve yang sudah sepuluh tahun masih bingung dengan bahasa indonesia proklem bercampur bahasa daerah.
“udah ah... ayo genjot” saut adi sambil mengkomandoi teman-temannya. Tepat jam 07.00 mereka beranjak pergi meninggalkan warung kopi mak ijoh.
“saya pusing dengan bahasa mak ijoh!” kata steve ke alena dan elena
“ya... memang kamu harus pusing untuk tinggal di jakarta. Kalo gak mau pusing kamu traktir kita lagi nanti...” balas reza, yang sejak kehadiran si kembar selalu menempel seperti perangko. Reza sadar, steve lah ancaman terselubung bagi hubungannya dengan alena. Walaupun sampai saat ini masih belum bisa menetapkan pilihannya, alena atau elena? Tapi baginya steve teman sekaligus musuh dalam selimut yang siap kapan saja merebut hati alena dan elena dengan pundi-pundi dollarnya.
“reza... apa hubungannya?” tanya steve dengan nada heran
“ya... dihubung-hubungin ajalah...” balas reza
Kawanan fixier berlalu meninggalkan warung kopi mak ijoh. Begitu pun dengan suharto, supir taksi berlogo burung terbang. Tiga puluh menit waktu yang dihabiskan bersama mak ijoh, hanya obrolan kosong, keceriaan dan tanpa beban pikiran. Semua celoteh mengalir begitu saja, tanpa rekayasa. Situasi dan keadaan yang membentuk karakter mereka
“... nongkrong di warung kopi
Denting sana dan sini
Sekedar suara rakyat kecil
Bukannya mau usil ...”
(Dono-Kasino-Indro)