Salam Terakhir
10.02.2012
Cerita ini adalah fiksi, jika terdapat kesamaan nama dan tempat kejadian hanyalah kebetulan saja.
Hampir tiap hari menjelang malam pikiranku melayang jauh ke ibundaku. Sosok yang aku kagumi hingga sekarang. Sering aku bertanya pada kesunyian malam, sedang apa dia di sana? Malam belum terlalu larut, tapi dinginnya malam telah menusuk tulang dan ragaku. Bulan masih tampak dengan gagahnya menyinari kegelapan. Dia tidak sendirian, gemerlap bintang seolah tak mau kalah dengan kelap-kelip lampu kota.
Hampir tiap malam aku merindukan ibu di sana. Sosok wanita yang menurutku kuat dan tegar. Mungkinkah dia masih merindukanku? Yang kutahu ibu saat ini sering sakit-sakitan semenjak aku sudah tidak lagi berada didekatnya. Hampir tiap malam ia selalu meneteskan air matanya. Yang ku dengar ia sekarang kurus, tidak secantik dulu. Ibu sudah tidak berselera lagi untuk berkerja, bisnisnya sudah sedikit mengalami kemunduran.
Ingin sekali aku menyapanya, menemuinya, berseda gurau seperti dulu kala. Tapi sulit sekali menggerakan ragaku. Sesekali aku memimpinya dalam tidurku, ketika bangun hanyalah bayangannya yang menghampiriku disini. Berkali-kali aku memohon kepata Tuhan dalam doaku, “Tuhan, aku rindu ibu... aku ingin sekali ia berada di dekatku Tuhan...”. kian aku meneteskan air mata, kian aku sadar bahwa kami tidak cukup ruang dan waktu untuk bertemu. Karena kami sama-sama mempunyai kehidupan dan rutinitas yang harus dijalani.
Aku hanya bisa berdoa, semoga suatu saat aku memiliki keberanian dan ketegaran untuk bertemu dan memeluk ibu. Sambil berkata padanya “rino rindu sekali bu... maafkan rino telah meninggalkan ibu sendirian”
*****
Ibuku seorang business woman, ia mengendalikan tiga perusahaan besar. Satu diantaranya berskala multinasional. Perusahaan ibu bergerak dibidang jasa eksport-import, tambang timah di pulau laskar pelangi dan batu bara di borneo. Usaha ibu meningkat drastis semenjak perceraian dengan ayah. Dulunya ayahku seorang pejabat eselon satu di departemen pajak.
Perceraian dengan ayah mungkin telah membuat ibu sakit hati dan bertekat ingin membuktikan pada dunia dan lingkungannya. Tanpa ayah, ibu bisa sukses. Ayah kawin lagi ketika aku berusia sepuluh tahun. Usia yang masih belia, ketika figur seorang ayah sangat dibutuhkan oleh anak seumuranku, namun aku tidak memperolehnya. Yang kutahu ayah menikah lagi dengan seorang lonte. Pertemuannya di night club, selisih usianya hampir lima belas tahun dengan ayah. Rasanya lebih pantas disebut hubungan om dan ponakan.
Kehidupan keluarga kami ketika masih ada ayah disampingku tiap malam sangat harmonis. Terlebih ayah selalu membacakan dongeng sebelum tidur, hingga aku terlelap. Aku tidak memiliki saudara kandung, bisa dikatakan apa yang aku inginkan selalu ayah berikan. Hingga suatu ketika kehancuran keluarga kami mulai runtuh, saat itu ayah lebih sering menghabiskan malamnya di luar rumah. Kata ayah padaku “ini urusan bisnis nak!”. Kadang-kadang ayah juga sering berkata, “ayah kerja untuk masa depan rino!”
Entah apa yang dikerjakan ayah diluar sana. Belakangan aku baru tahu, kalau ayah memiliki wanita idaman lain. Ia memelihara gundik yang ditemui di night club. Entah apa daya tariknya, sampai-sampai ayah begitu tergila-gila dengannya. Kata ibu gundiknya ayah seperti kambing dibedakin, dekil, wajahnya tak jelas bentuknya, penuh dengan dempulan make up yang tebal, logatnya pun kasar. Aku sampai sekarang tidak tahu dan tidak ingin tahu seperti apa bentuknya lonte yang telah merebut ayah dari ibuku. Pernah kakek berkata pada ibu, “jangan-jangan suamimu di pelet sama lonte itu!”. Aku hanya terdiam ketika kakek marah besar terhadap ayah, dan lagi-lagi ibulah yang harus menanggung kelakuan ayah dimata kakek.
Sejak kejadian itu ibu meneruskan usahanya di bidang jasa ekspor-impor. Setelah kakek meninggal, ibu diwarisi oleh bisnis tambang timah dan batu bara oleh kakek. Spontan membuat posisi ibu bak putri raja yang naik tahta. Ditangan dingin ibu, usaha warisan kakek melambung. Kontan ibu menjadi lebih sibuk dengan urusan bisnisnya dan lambat laun pertemuan ku dengan ibu semakin jarang. Bisanya tiap malam kami selalu makan bersama, kini aku lebih sering makan ditemani blacky, anjing hitam kesayanganku.
Dulu sewaktu ayah masih bersama kami sering mendongengkan aku cerita sebelum tidur. Ketika ibu bercerai, peran ayah digantikan oleh ibu. Namun setelah bisnis ibu berkembang pesat, giliran pembantu dirumahku yang menggantikan peran ibu. Kehilangan figur ibu dan ayah membuatku makin mengenal dunia luar rumah yang sesungguhnya. Semua bermula ketika aku masuk SMA.
Kebutuhan dan gaya hidupku makin meningkat, dulu aku masih sering diantar supir ke sekolah, namun sekarang aku nyupir mobil sendiri. Apa kata teman-teman jika aku masih dikawal,
“lo anak mami banget sih? Pake supir segala! Bawa sendiri donk” kata sahabatku imam.
“kata nyokap entar kalo SMA! Gue juga bt nih pake supir! Gak bebas” balasku
Akhirnya ibu memberikan ijin, aku ke sekolah sudah tidak diantar supir lagi. Ibu membelikanku mobil sport pintu dua berwarna kuning menyala bak sinar api melesat. Namun, beberapa temanku disekolah menyebutnya kuning tai. Mobil sportku menjadi maskot disekolah, karena baru aku yang memilikinya. Konon ibu memesanya melalui importir umum dengan indent hampir 6 bulan, namun di tangan ibu, mobil itu bisa datang di garasi rumahku hanya 3 minggu.
Pergaulanku sanagt luas, kian hari aku makin bertambah teman. Lagi pula buat apa aku sendirian dirumah? Toh ibu juga sudah jarang di rumah. Ibu sangat sibuk dengan bisnisnya. Hingga suatu ketika, aku bertemu dengan rini. Kelak ia menjadi kekasihku ketika aku naik ke kelas 2 SMA.
Perkenalanku dengan rini ketika, aku sedang bermain futsal di sekolahku. Ia sedang latihan cheer leader dan aku sedang break main futsal. Rini gadis cantik, putih, dada montok, rambut panjang terurai, sesekali ia mengibaskan rambutnya dengan tangan kanan. Penampilan rini saat itu membuatku makin penasara. Bagaimana tidak, seragam latihan cheer leader sangat membuatku ingin mendekat, selain ketat dan seksi juga memberi kesan ingin menyentuhnya lebih jauh lagi.
Tidak sulit bagiku untuk mengenal rini lebih dekat dan rapat dan intim, hingga akhirnya kami pun berpacaran.kalau dipikir lebih jauh lagi, kami pasangan yang serasi. Rino dan Rini, hanya huruf terakhir saja yang membedakan status gender. Kami sering menghabiskan waktu bersama, pagi, siang, malam, subuh dan pagi lagi. Orang tua rini sebenarnya baik dan menyukaiku pada mulanya. Mungkin karena mereka tahu bahwa aku anak seorang konglomerat wanita yang terkenal. Lama-kelamaan, mereka tidak menyukai hubunganku dengan rini. Belakangan aku baru tahu, ketidak sukaan mereka karena kami seolah tidak mengenal waktu. Semakin keras mereka menetang hubungan kami, semakin nekat pula percintaan kami. Aku sering mengajak rini ke rumahku, yang pertama karena ibu jarang dirumah dan yang kedua karena tidak diganggu nyamuk oleh orang tua rini. tidak jarang rini sering bermalam dirumahku, bahkan ia merasa lebih nyaman tinggal bersamaku dari pada dengan orang tuanya.
Hingga akhirnya malapetaka datang menimpa kami. Rini telat 2 bulan. Ia mengandung anak dari aku. Seketika dunia seakan runtuh menimpaku. Entah apa yang akan aku katakan pada ibu? Bagaimana dengan orang tuanya rini? kita masih kelas 3 SMA. Sebentar lagi UAN.
“beb... gimana kalo bayi ini di gugurkan aja? Mumpung masih 2 bulan”
“aku takut beb... aku gak tega...” tangis rini pecah
“lalu gimana kita menghadapi orang tua kita?”
“aku gak tau...” air mata rini kian deras, bagai tsunami di siang bolong
“bebeb gak usah takut. Aku akan ada di sampingmu, aku akan mendampingi bebeb!”
“apa cuman ada jalan itu? Beb...!” tangisan rini berhasil di redam dengan pelukan rino
“itu yang terbaik buat kita beb...”
“baiklah kalau itu yang terbaik beb!” kini tinggal air mata rini yang masih tersisa. Dan rino berhasil menyapunya dengan kecupan sayangnya.
Aku sangat berhati-hati mencari tahu tentang dokter aborsi. Sebenarnya semua dokter dan dokter kandungan bisa melakukan prosedur aborsi, namun mereka terikat dengan kode etik kedokteran dan rasa kemanusiaan, itu yang membuat aku harus ekstra hati-hati. Salah-salah bisa berurusan dengan polisi. Hanya dnegan waktu 2 hari aku sudah menemukan dokter yang tepat berserta tempat prakteknya. Rupanya dokter ini sangat terkenal, kalangan artis sering berkunjung ke beliau. Dari masalah aborsi hingga peremajaan keperawanan.
Kami pun ke tempat prakteknya, sebelumnya aku sudah bikin appoinment. Dari luar tampak seperti rumah mewah berlantai dua. Tidak ada tanda-tanda seperti kelinik atau tempat praktek. Di ruang praktek kami berbincang sedikit mengenai kemungkinan aborsi ini. Dokter menjamin keberhasilan 99%, dengan dukungan peralatan medis yang super canggih. Bahkan ia mengklaim usahanya tidak pernah gagal. Ucapannya cukup membuat hati rini tenang seketika. Proses aborsi pun segera di mulai. Aku di minta tunggu di ruang tunggu.
30 menit berlalu dengan lambat, aku makin gelisah, mondar mandir tak tentu arah. Sesekali aku melihat jam dinding di ruang tunggu. Kian kuperhatikan pergerakan jarum panjang lebih lambat dari jarum pendek. Mungkinkah jam ini mati, gumamku dalam hati.
Tiba-tiba perawat keluar tergesah-gesah menemuiku. Aku diminta masuk kedalam.
“mas... tolong bantu kami!!! Ayo cepat!”
“ada apa mas? Apa yang terjadi dengan rini?”
“cepat! Nanti saja penjelasannya!”
Ketika aku berada di dalam ruang praktek, aku terkejut melihat rini bersimbahan darah dan lendir. tak hanya di tubuhnya rini saja, lantai pun telah dibanjiri warna merah tua.
“bebeb.... tolong aku beb... sakit beb...” rini berteriak sambil memegang erat tanganku, saking eratnya sampai kukunya melukai kulitku.
“tenang beb....”
“sakit sekali bebeb...” rini berteriak keras dan meronta kesakitan
“apa yang terjadi dok?”
“pendarahan pak! Rahimnya ternyata lemah”
“lalu gimana ini dok?”
“sedang saya usahakan pak! bapak tolong bantu saya memegang tangannya”
“sakit sekali bebeb... aku gak kuat bebeb!!!... apakah aku akan mati?” nafas rini mulai terengah-engah.
“lakukan sesuatu donk dok!”
“anda apa tidak liat!!! Saya sedang berusaha dari tadi!”
“anjing lo... malah bentak gue!” aku pun melayangkan pukulan keras ke muka dokter bodoh itu. Perawat laki-laki berusaha melerai perkelahianku. Emosi ku terlalu kuat untuk dilerai. Giliran perwat laki-laki yang terkena bogem mentah kiriku. Perkelahian tak terhindarkan, aku makin kalap, seperti kesetanan. Dokter dan perawat tersungkur tak bernyawa, setelah perkelahian hebat dan tanpa kusadari aku telah menusuknya dengan gunting dan pisau operasi. Tepat di dada kirinya, mengenai jantung. Aku masih terlalu lelah mengatur nafas akibat perkelahian. Ku tolehkan muka ku ke arah rini, kekasihku. Ia hanya diam terpaku.
“beb... bebeb...”
Ku hentakan tangan dan dadanya, ia tak bergerak. Tak ada suara yang keluar dari bibir tipisnya.
“bebeb... jawab! Beb...”
Aku baru sadar, ia telah tak bernyawa lagi. Ia pergi meninggalkan ku, demi menyelamatkan aib. aku terduduk di pojok ruang praktek dokter bodoh. Ternyata aku sekarang adalah seorang pembunuh. Segera aku pergi meninggalkan tempat praktek aborsi. Kabur tapi tak kembali ke rumah. Aku teringat villa milik ibu di puncak. Setidaknya aku menenangka pikiran satu hingga dua hari.
*****
Kini aku menjadi buronan polisi, dengan tuduhan berlapis. Melakukan aborsi dan pembunuhan berencana. Bukan hanya 2 nyawa yang aku bunuh, tetapi 4. Termasuk rini dan bayi yang dirahimnya.
Berita tentang aku tercium oleh media. Mereka berlomba-lomba menaikan rating televisinya dan oplah bagi surat kabar. Dari pagi, siang, malam, bahkan talk show ramai-ramai memberitakan kasus ku.
Di hari kedua pencarianku oleh polisi. Ibu berhasil menghubungiku melalui handphone. Ibu tampak marah, kecewa dan sedik akibat perbuatanku. Citra ibu dimata keluarga dan lingkungan bisnisnya hancur. Berkali-kali aku meminta maaf dan meminta ampun. Ibu memintaku untuk menyerahkan diri secapatnya. Namun aku masih takut. Aku takut masuk penjara. Aku takut dengan hukuman seumur hidup.
Aku sudah tak sanggup lagi menerima cobaan seperti ini. Aku merasa bersalah dengan rini. Kini, di penghujung magrib, aku bersiap mengakhiri hidupku. Sebuah pistol revolver yang kubeli dari pasar gelap ketika aku memiliki mobil sport kuning siap menjadi teman curhatku. Ini adalah salam terakhirku ibu... dan setika,
“maaf kan rino, ibu... maafkan atas kesalahan putramu!” pelatuk telah aku tarik
“rini sayang... sebentar lagi kita bertemu” dan... DORR!! Suar letusan menggema di dalam mobil sport kuning
*****
Kini, aku telah bertemu dengan rini dan putraku di surga. Ia kami beri nama roni. Nama yang serasi bagi kami, rino-rini-roni. Bolak-balik dari huruf nama ku dan rini. kini aku tidak lagi didongengkan sebelum tidur, tapi justru akulah yang mendongengkan roni sebelum tidur.
Setiap malam, ketika magrib tiba. Aku selalu mengirimkan doa untuk ibu di sana. Dalam doaku, semoga ibu kuat, tegar dan sehat seperti ketika ayah menelantarkan ibu. Rasanya ingin sekali aku mengajak ibu untuk secepatnya bertemu dengan ku di surga. Namun, Tuhan belum menggabulkan permintaanku. Aku hanya bisa hadir dalam mimpinya ibu tiap malam, setelah ibu selesai sholat isya.
Ibuku yang kusayang, kelak waktunya tiba, akan ku sambut engkau dengan sekuntum mawar putih dengan jubah putihku.
“... mengapa terjadi
Kepada dirimu
Aku tak percaya kau telah tiada
Haruskah ku pergi tinggalkan dunia
Agar aku dapat berjumpa denganmu ...”
(Chrisye)
Cerita ini adalah fiksi, jika terdapat kesamaan nama dan tempat kejadian hanyalah kebetulan saja.
Hampir tiap hari menjelang malam pikiranku melayang jauh ke ibundaku. Sosok yang aku kagumi hingga sekarang. Sering aku bertanya pada kesunyian malam, sedang apa dia di sana? Malam belum terlalu larut, tapi dinginnya malam telah menusuk tulang dan ragaku. Bulan masih tampak dengan gagahnya menyinari kegelapan. Dia tidak sendirian, gemerlap bintang seolah tak mau kalah dengan kelap-kelip lampu kota.
Hampir tiap malam aku merindukan ibu di sana. Sosok wanita yang menurutku kuat dan tegar. Mungkinkah dia masih merindukanku? Yang kutahu ibu saat ini sering sakit-sakitan semenjak aku sudah tidak lagi berada didekatnya. Hampir tiap malam ia selalu meneteskan air matanya. Yang ku dengar ia sekarang kurus, tidak secantik dulu. Ibu sudah tidak berselera lagi untuk berkerja, bisnisnya sudah sedikit mengalami kemunduran.
Ingin sekali aku menyapanya, menemuinya, berseda gurau seperti dulu kala. Tapi sulit sekali menggerakan ragaku. Sesekali aku memimpinya dalam tidurku, ketika bangun hanyalah bayangannya yang menghampiriku disini. Berkali-kali aku memohon kepata Tuhan dalam doaku, “Tuhan, aku rindu ibu... aku ingin sekali ia berada di dekatku Tuhan...”. kian aku meneteskan air mata, kian aku sadar bahwa kami tidak cukup ruang dan waktu untuk bertemu. Karena kami sama-sama mempunyai kehidupan dan rutinitas yang harus dijalani.
Aku hanya bisa berdoa, semoga suatu saat aku memiliki keberanian dan ketegaran untuk bertemu dan memeluk ibu. Sambil berkata padanya “rino rindu sekali bu... maafkan rino telah meninggalkan ibu sendirian”
*****
Ibuku seorang business woman, ia mengendalikan tiga perusahaan besar. Satu diantaranya berskala multinasional. Perusahaan ibu bergerak dibidang jasa eksport-import, tambang timah di pulau laskar pelangi dan batu bara di borneo. Usaha ibu meningkat drastis semenjak perceraian dengan ayah. Dulunya ayahku seorang pejabat eselon satu di departemen pajak.
Perceraian dengan ayah mungkin telah membuat ibu sakit hati dan bertekat ingin membuktikan pada dunia dan lingkungannya. Tanpa ayah, ibu bisa sukses. Ayah kawin lagi ketika aku berusia sepuluh tahun. Usia yang masih belia, ketika figur seorang ayah sangat dibutuhkan oleh anak seumuranku, namun aku tidak memperolehnya. Yang kutahu ayah menikah lagi dengan seorang lonte. Pertemuannya di night club, selisih usianya hampir lima belas tahun dengan ayah. Rasanya lebih pantas disebut hubungan om dan ponakan.
Kehidupan keluarga kami ketika masih ada ayah disampingku tiap malam sangat harmonis. Terlebih ayah selalu membacakan dongeng sebelum tidur, hingga aku terlelap. Aku tidak memiliki saudara kandung, bisa dikatakan apa yang aku inginkan selalu ayah berikan. Hingga suatu ketika kehancuran keluarga kami mulai runtuh, saat itu ayah lebih sering menghabiskan malamnya di luar rumah. Kata ayah padaku “ini urusan bisnis nak!”. Kadang-kadang ayah juga sering berkata, “ayah kerja untuk masa depan rino!”
Entah apa yang dikerjakan ayah diluar sana. Belakangan aku baru tahu, kalau ayah memiliki wanita idaman lain. Ia memelihara gundik yang ditemui di night club. Entah apa daya tariknya, sampai-sampai ayah begitu tergila-gila dengannya. Kata ibu gundiknya ayah seperti kambing dibedakin, dekil, wajahnya tak jelas bentuknya, penuh dengan dempulan make up yang tebal, logatnya pun kasar. Aku sampai sekarang tidak tahu dan tidak ingin tahu seperti apa bentuknya lonte yang telah merebut ayah dari ibuku. Pernah kakek berkata pada ibu, “jangan-jangan suamimu di pelet sama lonte itu!”. Aku hanya terdiam ketika kakek marah besar terhadap ayah, dan lagi-lagi ibulah yang harus menanggung kelakuan ayah dimata kakek.
Sejak kejadian itu ibu meneruskan usahanya di bidang jasa ekspor-impor. Setelah kakek meninggal, ibu diwarisi oleh bisnis tambang timah dan batu bara oleh kakek. Spontan membuat posisi ibu bak putri raja yang naik tahta. Ditangan dingin ibu, usaha warisan kakek melambung. Kontan ibu menjadi lebih sibuk dengan urusan bisnisnya dan lambat laun pertemuan ku dengan ibu semakin jarang. Bisanya tiap malam kami selalu makan bersama, kini aku lebih sering makan ditemani blacky, anjing hitam kesayanganku.
Dulu sewaktu ayah masih bersama kami sering mendongengkan aku cerita sebelum tidur. Ketika ibu bercerai, peran ayah digantikan oleh ibu. Namun setelah bisnis ibu berkembang pesat, giliran pembantu dirumahku yang menggantikan peran ibu. Kehilangan figur ibu dan ayah membuatku makin mengenal dunia luar rumah yang sesungguhnya. Semua bermula ketika aku masuk SMA.
Kebutuhan dan gaya hidupku makin meningkat, dulu aku masih sering diantar supir ke sekolah, namun sekarang aku nyupir mobil sendiri. Apa kata teman-teman jika aku masih dikawal,
“lo anak mami banget sih? Pake supir segala! Bawa sendiri donk” kata sahabatku imam.
“kata nyokap entar kalo SMA! Gue juga bt nih pake supir! Gak bebas” balasku
Akhirnya ibu memberikan ijin, aku ke sekolah sudah tidak diantar supir lagi. Ibu membelikanku mobil sport pintu dua berwarna kuning menyala bak sinar api melesat. Namun, beberapa temanku disekolah menyebutnya kuning tai. Mobil sportku menjadi maskot disekolah, karena baru aku yang memilikinya. Konon ibu memesanya melalui importir umum dengan indent hampir 6 bulan, namun di tangan ibu, mobil itu bisa datang di garasi rumahku hanya 3 minggu.
Pergaulanku sanagt luas, kian hari aku makin bertambah teman. Lagi pula buat apa aku sendirian dirumah? Toh ibu juga sudah jarang di rumah. Ibu sangat sibuk dengan bisnisnya. Hingga suatu ketika, aku bertemu dengan rini. Kelak ia menjadi kekasihku ketika aku naik ke kelas 2 SMA.
Perkenalanku dengan rini ketika, aku sedang bermain futsal di sekolahku. Ia sedang latihan cheer leader dan aku sedang break main futsal. Rini gadis cantik, putih, dada montok, rambut panjang terurai, sesekali ia mengibaskan rambutnya dengan tangan kanan. Penampilan rini saat itu membuatku makin penasara. Bagaimana tidak, seragam latihan cheer leader sangat membuatku ingin mendekat, selain ketat dan seksi juga memberi kesan ingin menyentuhnya lebih jauh lagi.
Tidak sulit bagiku untuk mengenal rini lebih dekat dan rapat dan intim, hingga akhirnya kami pun berpacaran.kalau dipikir lebih jauh lagi, kami pasangan yang serasi. Rino dan Rini, hanya huruf terakhir saja yang membedakan status gender. Kami sering menghabiskan waktu bersama, pagi, siang, malam, subuh dan pagi lagi. Orang tua rini sebenarnya baik dan menyukaiku pada mulanya. Mungkin karena mereka tahu bahwa aku anak seorang konglomerat wanita yang terkenal. Lama-kelamaan, mereka tidak menyukai hubunganku dengan rini. Belakangan aku baru tahu, ketidak sukaan mereka karena kami seolah tidak mengenal waktu. Semakin keras mereka menetang hubungan kami, semakin nekat pula percintaan kami. Aku sering mengajak rini ke rumahku, yang pertama karena ibu jarang dirumah dan yang kedua karena tidak diganggu nyamuk oleh orang tua rini. tidak jarang rini sering bermalam dirumahku, bahkan ia merasa lebih nyaman tinggal bersamaku dari pada dengan orang tuanya.
Hingga akhirnya malapetaka datang menimpa kami. Rini telat 2 bulan. Ia mengandung anak dari aku. Seketika dunia seakan runtuh menimpaku. Entah apa yang akan aku katakan pada ibu? Bagaimana dengan orang tuanya rini? kita masih kelas 3 SMA. Sebentar lagi UAN.
“beb... gimana kalo bayi ini di gugurkan aja? Mumpung masih 2 bulan”
“aku takut beb... aku gak tega...” tangis rini pecah
“lalu gimana kita menghadapi orang tua kita?”
“aku gak tau...” air mata rini kian deras, bagai tsunami di siang bolong
“bebeb gak usah takut. Aku akan ada di sampingmu, aku akan mendampingi bebeb!”
“apa cuman ada jalan itu? Beb...!” tangisan rini berhasil di redam dengan pelukan rino
“itu yang terbaik buat kita beb...”
“baiklah kalau itu yang terbaik beb!” kini tinggal air mata rini yang masih tersisa. Dan rino berhasil menyapunya dengan kecupan sayangnya.
Aku sangat berhati-hati mencari tahu tentang dokter aborsi. Sebenarnya semua dokter dan dokter kandungan bisa melakukan prosedur aborsi, namun mereka terikat dengan kode etik kedokteran dan rasa kemanusiaan, itu yang membuat aku harus ekstra hati-hati. Salah-salah bisa berurusan dengan polisi. Hanya dnegan waktu 2 hari aku sudah menemukan dokter yang tepat berserta tempat prakteknya. Rupanya dokter ini sangat terkenal, kalangan artis sering berkunjung ke beliau. Dari masalah aborsi hingga peremajaan keperawanan.
Kami pun ke tempat prakteknya, sebelumnya aku sudah bikin appoinment. Dari luar tampak seperti rumah mewah berlantai dua. Tidak ada tanda-tanda seperti kelinik atau tempat praktek. Di ruang praktek kami berbincang sedikit mengenai kemungkinan aborsi ini. Dokter menjamin keberhasilan 99%, dengan dukungan peralatan medis yang super canggih. Bahkan ia mengklaim usahanya tidak pernah gagal. Ucapannya cukup membuat hati rini tenang seketika. Proses aborsi pun segera di mulai. Aku di minta tunggu di ruang tunggu.
30 menit berlalu dengan lambat, aku makin gelisah, mondar mandir tak tentu arah. Sesekali aku melihat jam dinding di ruang tunggu. Kian kuperhatikan pergerakan jarum panjang lebih lambat dari jarum pendek. Mungkinkah jam ini mati, gumamku dalam hati.
Tiba-tiba perawat keluar tergesah-gesah menemuiku. Aku diminta masuk kedalam.
“mas... tolong bantu kami!!! Ayo cepat!”
“ada apa mas? Apa yang terjadi dengan rini?”
“cepat! Nanti saja penjelasannya!”
Ketika aku berada di dalam ruang praktek, aku terkejut melihat rini bersimbahan darah dan lendir. tak hanya di tubuhnya rini saja, lantai pun telah dibanjiri warna merah tua.
“bebeb.... tolong aku beb... sakit beb...” rini berteriak sambil memegang erat tanganku, saking eratnya sampai kukunya melukai kulitku.
“tenang beb....”
“sakit sekali bebeb...” rini berteriak keras dan meronta kesakitan
“apa yang terjadi dok?”
“pendarahan pak! Rahimnya ternyata lemah”
“lalu gimana ini dok?”
“sedang saya usahakan pak! bapak tolong bantu saya memegang tangannya”
“sakit sekali bebeb... aku gak kuat bebeb!!!... apakah aku akan mati?” nafas rini mulai terengah-engah.
“lakukan sesuatu donk dok!”
“anda apa tidak liat!!! Saya sedang berusaha dari tadi!”
“anjing lo... malah bentak gue!” aku pun melayangkan pukulan keras ke muka dokter bodoh itu. Perawat laki-laki berusaha melerai perkelahianku. Emosi ku terlalu kuat untuk dilerai. Giliran perwat laki-laki yang terkena bogem mentah kiriku. Perkelahian tak terhindarkan, aku makin kalap, seperti kesetanan. Dokter dan perawat tersungkur tak bernyawa, setelah perkelahian hebat dan tanpa kusadari aku telah menusuknya dengan gunting dan pisau operasi. Tepat di dada kirinya, mengenai jantung. Aku masih terlalu lelah mengatur nafas akibat perkelahian. Ku tolehkan muka ku ke arah rini, kekasihku. Ia hanya diam terpaku.
“beb... bebeb...”
Ku hentakan tangan dan dadanya, ia tak bergerak. Tak ada suara yang keluar dari bibir tipisnya.
“bebeb... jawab! Beb...”
Aku baru sadar, ia telah tak bernyawa lagi. Ia pergi meninggalkan ku, demi menyelamatkan aib. aku terduduk di pojok ruang praktek dokter bodoh. Ternyata aku sekarang adalah seorang pembunuh. Segera aku pergi meninggalkan tempat praktek aborsi. Kabur tapi tak kembali ke rumah. Aku teringat villa milik ibu di puncak. Setidaknya aku menenangka pikiran satu hingga dua hari.
*****
Kini aku menjadi buronan polisi, dengan tuduhan berlapis. Melakukan aborsi dan pembunuhan berencana. Bukan hanya 2 nyawa yang aku bunuh, tetapi 4. Termasuk rini dan bayi yang dirahimnya.
Berita tentang aku tercium oleh media. Mereka berlomba-lomba menaikan rating televisinya dan oplah bagi surat kabar. Dari pagi, siang, malam, bahkan talk show ramai-ramai memberitakan kasus ku.
Di hari kedua pencarianku oleh polisi. Ibu berhasil menghubungiku melalui handphone. Ibu tampak marah, kecewa dan sedik akibat perbuatanku. Citra ibu dimata keluarga dan lingkungan bisnisnya hancur. Berkali-kali aku meminta maaf dan meminta ampun. Ibu memintaku untuk menyerahkan diri secapatnya. Namun aku masih takut. Aku takut masuk penjara. Aku takut dengan hukuman seumur hidup.
Aku sudah tak sanggup lagi menerima cobaan seperti ini. Aku merasa bersalah dengan rini. Kini, di penghujung magrib, aku bersiap mengakhiri hidupku. Sebuah pistol revolver yang kubeli dari pasar gelap ketika aku memiliki mobil sport kuning siap menjadi teman curhatku. Ini adalah salam terakhirku ibu... dan setika,
“maaf kan rino, ibu... maafkan atas kesalahan putramu!” pelatuk telah aku tarik
“rini sayang... sebentar lagi kita bertemu” dan... DORR!! Suar letusan menggema di dalam mobil sport kuning
*****
Kini, aku telah bertemu dengan rini dan putraku di surga. Ia kami beri nama roni. Nama yang serasi bagi kami, rino-rini-roni. Bolak-balik dari huruf nama ku dan rini. kini aku tidak lagi didongengkan sebelum tidur, tapi justru akulah yang mendongengkan roni sebelum tidur.
Setiap malam, ketika magrib tiba. Aku selalu mengirimkan doa untuk ibu di sana. Dalam doaku, semoga ibu kuat, tegar dan sehat seperti ketika ayah menelantarkan ibu. Rasanya ingin sekali aku mengajak ibu untuk secepatnya bertemu dengan ku di surga. Namun, Tuhan belum menggabulkan permintaanku. Aku hanya bisa hadir dalam mimpinya ibu tiap malam, setelah ibu selesai sholat isya.
Ibuku yang kusayang, kelak waktunya tiba, akan ku sambut engkau dengan sekuntum mawar putih dengan jubah putihku.
“... mengapa terjadi
Kepada dirimu
Aku tak percaya kau telah tiada
Haruskah ku pergi tinggalkan dunia
Agar aku dapat berjumpa denganmu ...”
(Chrisye)