Antara kata Hati, gejolak Jiwa, pandangan Mata dan Pemikiran logik terhadap fenomena yang terjadi. Jembatan Jiwa
sebuah renungan kecil tanpa komentar, tulisan yang mengajak kita berpikir
sejenak dan terlintas begitu saja dipikiran saya, di periode 2011. Seperti inilah masa
yang sedang kita lalui.
Negeri seribu bencana (Desember 2011)
Tahun baru sebentar lagi tiba, banyak orang bersuka cita menyambut datangnya tahun yang baru, dengan sejuta harapan dan keinginan. Kemeriahan dalam menyambut tahun baru masehi sudah dirasakan di awal bulan desember. Berbagai orang menyambut dengan caranya sendiri, ada yang melakukan pesta, kumpul keluarga, renungan dipenghujung tahun, ibadah, bahkan tidur di pulau kapuk, seolah tidak ada bedannya antara tahun baru dengan hari-hari sebelumnya.
Menutup ragam tulisan akhir 2011 jembatan jiwa, saya akan berbagi renungan tentang kaleideskop bencana di negeri ini. Mengapa bencana? Mengapa tidak suatu hal yang indah-indah saja? Atau rangkaian prestasi barangkali? Ya... Karena harapan kita di tahun yang baru tidak ada bencana lagi, oleh sebab itu kita merenung diri dan instropeksi diri akan sebuah bencana yang telah menimpa kita.
2011 telah kita lalui dengan sempurna, tinggal beberapa hari saja berakhir. Bencana alam yang menimpa seolah tak pernah absen, tiap bulan selalu hadir mewarnai perjalanan di negeri ini. Sebut saja bencana alam gunung meletus, yang telah meluluh lantakan perumahan penduduk disekitar gunung berapi. Tanggap darurat bencana pun telah dilakukan oleh pemerintah dan sukarelawan, nyatanya tetap menelan korban jiwa. Bencana gempa bumi dan tsunami juga tak lepas dari peringatan dini oleh pemerintah, guna menanggulangi korban jiwa lebih banyak. Terkecuali tanah longsor dan banjir bandang, akibat dari ulang tangan manusia yang serakah maka manusia sendiri yang menanggungnya. Banjir tahunan yang kerap melanda kota besar dan ibu kota telah menjadi hal biasa. Citra bangsa di mata dunia pun tercoreng akibat ulah manusianya yang tidak mampu menjaga keseimbangan alam dengan tatanan kota dan bangunan.
Jika sudah begini bencana alam menjadi langganan dan akan terrus berulang.
Dari beberapa bencana alam yang disebutkan ada bencana yang jauh lebih fatal. Bencana moral; bencana akibat moral dan mental manusianya yang serakah akan materi dan kekuasaan. Saya lebih mengkhawatirkan bencana ini ketimbang bencana alam. Sebut saja bencana korupsi, yang telah merugikan negara dan rakyat. Uang yang seharusnya milik negara untuk kepentingan rakyat telah dicaplok oleh sekelompok individu untuk memperkaya diri. Bencana kongkalikong, memasukan sanak keluarganya kedalam instansi pemerintah, seolah perusahaan keluarga. BUMN, instansi pemerintah partai politik yang seyogyanya dijalankan oleh kaum profesional, justru dikelolah oleh kaum yang abal-abal yang justru terlihat bodoh ketimbang intelektualnya. Ujung-ujungnya aset bangsa dijual ke pihak asing. Bukan hal yang tidak mungkin jika suatu hari nanti ada sebuah iklan yang menjual negeri ini berserta isinya... Bencana makar, bencana anarkis d an masih banyak lagi bencana-bencana lainnya yang kaitannya dengan moral dan mental.
Indonesia, negeri seribu bencana. Yang tidak hanya disebabkan oleh alam, tapi moralitas manusianya. Saya jadi teringat alunan Ebit G Ade, "...Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita. Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita..."
Semoga di tahun baru 2012, segala macam bentuk bencana berkurang, sulit membayangkannya hilang, namun berkurang saja dulu. Sebuah awal yang baik untuk mengawali tahun-tahun berikutnya.
Bata dari Tuhan (Desember 2011)
Musim hujan tiba, suara gemericik air mengalun merdu, angin pun tak kalah menyejukan. Setelah musim panas berlalu, kini saatnya musim hujan yang menghiasi hari-hari saya kedepan. Setiap kali musim hujan tiba, setiap kali itu pula genteng rumah bocor, entahlah apa penyebabnya. Kali ini saya benar-benar dibuat kesal dengan genteng bocor, alhasil saya meminta tolong kepada ahlinya (red. Tukang bangunan) untuk memperbaiki, sekaligus memberi lapangan pekerjaan yang singkat kepadanya.
Layaknya mandor, saya mengawasi pekerjaan mereka dari bawah. Satu hal yang unik dan mengambil hikmah dari mereka adalah cara mereka berkomunikasi dengan rekannya.
Ketika itu kuli bangunan yang berada di atap genteng rumah berlantai dua memanggil berulang kali kepada temannya yang dibawah, namun tak juga dengar. Ia pun melempar sebuah koin ke temannya dibawah dan koin tersebut dimasukan kekantongnya. Ia pun melempar koinnya lagi ke bawah dan koin tersebut tetap dipungut oleh temannya kedalam kantong. Saking kesalnya, kuli bangunan yang berada di atap melempar bata ke bawah, dengan sengaja dikenakan ke pahannya. Seketika itu pula temannya kesakitan dan melihat temannya yang berada di atap genteng.
Baru saya menyadari bagaimana cara Tuhan berkomunikasi dengan kita. Tanpa disadari kita selalu asik dengan kesibukan dan rutinitas harian. Tuhan pun menyapa kita dengan berbagai rejekinya, namun kita berpikir rejeki adalah hasil kerja keras kita selama ini. Tak jarang kita lupa bersyukur dikala senang. Sampai akhirnya Tuhan melempar bata ke kita, barulah kita menyadari.
Sahabat, semoga bata yang dilempar oleh Tuhan bukan untuk yang kedua kalinya, hanya sebuah teguran peringatan saja.
Para penjual ajaran Tuhan (Desember 2011)
Saya sadar betul jika tulisan saya kali ini akan menimbulkan kontroversial bagi pembaca, tapi saya yakin akan adanya hukum pro dan kontra.
Seperti tujuan awal tulisan saya adalah sebuah renungan dan berpikir dari sudut pandang yang berbeda. Mohon sekiranya tulisan saya kali ini tidak dianggap sebuah provocative.
---------------------
Ada hal yang berbeda setiap kali saya menonton televisi dan membaca surat kabar mingguan, salah satunya berita tentang public figure. Hampir keberadaannya disetiap media cetak maupun elektronik lebih mendominasi ketimbang berita tentang pejabat yang korupsi atau atlet yang berprestasi. Mungkin ada indikasi menurunnya angka korupsi atau justru sudah tidak memiliki atlet yang berprestasi.
Para public figur tidak hanya datang dari lingkungan artis dan selebritis saja, tokoh terkemuka, keluarga pejabat dan bahkan para tokoh pemuka agama pun menobatkan diri sebagai public figure. Mereka memberikan sebuah cerminan baru kepada masyarakat tentang kehidupan pribadinya, gaya hidup, sosialita, hingga mimpi-mimpinya yang semua dikemas dalam serba kemewahan dan riya.
Aneh tapi nyata, dengan menjual ajaran Tuhan pada setiap kothbah di penghujung pekan, mereka mengatakan agar manusia selalu senantiasa dekat dengan Yang Maha Kuasa, menjalankan segala perintah-Nya dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya. Namun kehidupan mereka diluar akhir pekan, justru bertolak belakang dengan apa yang disampaikan melalui kothbah akhir pekannya. Sebut saja mulai dari gaya hidup, kehidupan pribadi yang dijabarkan detail di media infotainment; mulai dari koleksi pribadi, hobi, rutinitas harian, rumah, mobil, moge, perhiasan, liburan ke luar negeri, hingga koleksi istri-istrinya semua mereka sajikan lewat berita infotainment.
Ironis, mereka seolah telah hilang aurat kemaluannya. Dengan berbusana mencerminkan tokoh pemuka agama, tapi tak segan-segan pula menceritakan dengan detail kehidupam riyahnya kepada media infotainment untuk di konsumsi oleh masyarakat sebagai bahan gosip. Masyarakat pun secara langsung meniru apa yang dilakukan oleh tokoh pemuka agama yang merangkap public figur dadakan.
Belum lagi kehidupan kawin cerai yang telah dipertontonkan kepada khayalak dari sisi yang jauh dari ajaran Tuhan. Atau kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan, tak ketinggalan perhiasan mewah pun melingkar di anggota tubuhnya. Kegiatan sosial yang dilakukannya pun terekam dalam berbagai media televisi dan surat kabar, yang memberikan gambaran penuh dengan skenario.
Dengan dalil-dalil ajaran Tuhan mereka pertontonkan kepada masyarakat kegiatan dan kehidupan pribadinya, secara lengkap dan detail. Mungkin itu salah satu cara agar mereka mendapat penganut dan simpatisan. Ajaran Tuhan pun mereka perjual-belikan, demi menumpuk pundi-pundi duniawi.
Ketika menjelang pemilihan umum, mereka pun beramai-ramai menjadi salah satu icon partai. Entah partai berbasis nasionalis atau agama. Sepertinya mereka lupa tujuan awal mereka sendiri. Memberikan bimbingan dan panutan rohani kepada para umat Tuhan yang ada di muka bumi agar selalu tetap di jalan yang benar dan menjadi manusia yang baik dimata Tuhan. Ketika akhir jaman tiba, para umat Tuhan pun seperti ayam kehilangan induknya.
Memang tidak semua para tokoh agama berprilaku seperti itu, masih banyak yang benar layaknya pemuka agama islam dengan ustadnya, kristen dengan pendetanya, katholik dengan romonya, budha dengan bhiksunya, hindu dengan pedandanya dan konghucu dengan xueshinya. Namun jika publik tidak pandai-pandai memilahnya, tak ada bedanya dengan ayam yang telah kehilangan induknya.
Saya jadi teringat pepatah lama, karena nila setitik rusak susu sebelangga. Karena perbuatan pemuka mengatas namakan agama, dan menjual ajaran-ajaran Tuhan yang semu, maka rusak sudah para pemuka tokoh agama yang benar.
Baca juga tulisan saya tentang; fatwa, Andai kutahu dan Menjual agama demi politik
Mogok (Desember 2011)
Mogok secara etimologi memiliki arti berhenti secara tiba-tiba yang disebabkan oleh sesuatu hal.
Namun secara harifiah mengandung banyak makna, arti dan pengertian. Mogok kerja misalnya peristiwa di mana sejumlah besar karyawan berhenti bekerja sebagai bentuk protes. Jika tidak tercapai persetujuan antara mereka dengan majikan mereka, maka mogok kerja dapat terus berlangsung hingga tuntutan para karyawan terpenuhi atau setidaknya tercapai sebuah kesepakatan. Tidak hanya mogok kerja, mogok sekolah, mogok makan, mogok aktifitas pun juga berlaku.
Kali ini saya akan menyempitkan topik pada mogok kerja, yang santer digulirkan oleh kaum buruh kepada pelaku bisnis industri. Para pelaku mogok kerja dapat memberikan dampak yang sangat signifikan pada stabilitas perekonomian di negara. Sebut saja "may day" yang hanya berlangsung satu hari, tapi dapat memberikan kerugian trilyunan rupiah pada negara. Belum lagi aksi buruh lainnya yang hampir tiap bulan selalu mengadakan aksinya. Rasanya pelaku industri dan pemerintah sudah saatnya peka dan tanggap terhadap aspirasi mereka jika tidak mau mengalami kerugian ekonomi yang jauh lebih besar.
Tidak hanya kaum buruh saja yang selalu dikambing hitamkan dari aksi mogok nasional atau mogok kerja. Kaum intelektual seperti pilot, dokter, pengacara, guru bahkan pegawai negeri pun tidak terlepas dari aksi ini.
Terlepas dari aksi mogok kerja yang di lakukan oleh beberapa kaum atau kelompok, mogok kerja juga adalah hak setiap individu dalam menggungkapkan ekspresi dan aspirasi yang tidak pernah didengar. Namun mogok sendiri sering disalah artikan sebagai bentuk protes satu arah antara bawahan dengan atasan selaku otoritas. Mereka yang berada di kelompok atas selalu enggan menyadarinya dan tidak mau dikritik, apa lagi di salahkan.
Mogok aktivitas, lalu diikuti dengan intropeksi dua arah, atau aksi revolusi yang akan mengubah selamanya.
Baca juga tulisan saya "revolusi"
Instansi terkorup (Desember 2011)
Lagi-lagi dipenghujung akhir tahun 2011 telah menorehkan catatan kelam perjalanan bangsa ini. Kali ini berita datang dari rating yang dilakukan oleh KPK kepada seluruh jajaran instansi pemerintah dan BUMN di negara pancasila ini, dan temuan yang cukup mengejutkan adalah KPK telah berani mengumumkan pernyataan "instansi terkorup versi KPK tahun 2011".
Kementrian agama dinobatkan sebagai juara umum piala bergilir instansi terkorup oleh KPK. Lucu dan ironis, tempatnya orang-orang yang taat agama dan mengaku sangat dekat dengan Tuhan justru dinobatkan sebagai ladang korupsi.
Apa istimewanya instansi ini? Sampai-sampai instansi dan BUMN lain yang marak akan proyek lahan basah justru tidak mendapat perhatian khusus dari KPK. Penyelenggaraan haji tiap tahun menjadi kambing hitam dari tingginya angka rawan korupsi yang disinyalir KPK sebagai lahan basah.
Hal ini membuktikan betapa lemah dan tidak beradab manusianya, dana yang dipergunakan untuk beribadah ke pada Tuhan justru di korupsi. Dimana mereka meletakan hati nuraninya? Kepada Tuhan saja mereka telah berani berdusta, menipu dan membohongin. Apalagi dengan sesama umat Tuhan yang jauh tidak mengerti sebenarnya dana tersebut dibuat apa?
Rasanya jika sudah begini jabatan yang melekat didepan nama tokoh agama atau pemuka agama seperti; H, Ust, Kyai telah ditanggalkan dan disimpan dalam dompet, dan harus harus berbagi tempat dengan rupiah. Uang telah menyihirnya menjadi kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Dengan cara apa pun dan bagaimana caranya, toh halal dan haram bedanya tipis.
Sedangkan di sisi lain, hubungan antar umat beragama sampai saat ini masih tak kunjung padam. Kaum marjinal harus mengemis-ngemis hanya untuk meminta sumbangan membangun tempat ibadahnya, sementara pejabat diinstansi tersebut yang justru lebih memahami ilmu agama, tengah asik dalam kesibukannya mengeruk uang basah di tempat pembangunan ibadah warganya.
Semoga untuk tahun 2012 jangan dipertahankan piala bergilir dari KPK.
Sumber data-data pendukung toipik :
http://us.wap.vivanews.com/news/read/269123-disebut-instansi-terkorup--menag-datangi-kpk
http://m.poskota.co.id/berita-terkini/2011/11/29/dituding-terkorup-kemenag-minta-klarifikasi-kpk
http://m.kompasiana.com/post/politik/2011/11/29/departement-agama-terkorup/
Trend baru : kuburan bertingkat (Desember 2011)
_Entah karena dampak era globalisasi yang semakin merata disegala bidang atau sebuah permainan kaum kapitalis yang mengatas namakan demokrasi. Tulisan berikut merupakan hasil dari apa yang saya lihat baru-baru ini.
Tidak hanya di kota besar saja, daerah kota madya hingga kabupaten pun telah latah dengan "pembangunan yang mengacu pada era globalisasi". Entah siapa yang memulainya dan siapa yang mencanangkannya, namun keberadaan kata globalisasi saat ini telah dikonotasikan sebagai pembangunan. Membangun dan menata kota dengan tuntutan jaman, tanpa disadari ada aspek yang terabaikan; hilangnya lahan terbuka.
Dahulu, sekitar 20 tahun lalu masih banyak kita jumpai area pemakaman umum yang tersebar di seluruh sudut kota. Kota kecil, kota besar, metropolitan atau megapolitan. Namun kini, keberadaannya telah tergantikan dengan bangunan yang terbuat dari semen dan berbentuk kotak yang abstrak (red. gedung). Entah itu untuk tempat tinggal, hotel, apartment, sekolah, perbelanjaan, rumah sakit, perkantoran, pabrik atau kantor pemerintah. Sedikit demi sedikit lahan-lahan dan area terbuka telah beralih fungsi, semula merupakan paru-paru kota di sulap menjadi bangunan pencakar langit.
Tempat peristirahatan terakhir manusia pun telah tergadaikan dengan segala macam bangunan, dari yang bernilai artistik tinggi hingga yang tak jelas bentuknya(1). Kian lama area pemakaman kian sedikit dijumpai, bahkan di kota-kota besar semakin sulit. Coba pembaca sekali-kali berziarah ke tempat makam, terlihat dalam satu liang lahat (kuburan) di tempatkan lebih dari satu jenasah, ada yang dua dan ada yang tiga.
Jarak antara liang yang satu dengan liang sebelahnya pun sudah teramat berdekatan. Entahlah apa mungkin jika kita ziarah dan berdoa di pusaran makam A, tapi sebenarnya jasad A di dalam tanah letaknya di bawah pusaran B.
Belum lagi kebedaraan pemakaman yang sudah tergusur dengan bangunan yang entah tak terhitung jumlahnya. Akibat dari keberadaan bangunan dan tiang pancangnya, tanah disekitarnya pun mengalami penurunan kontur tanah. Di kota tempat saya tinggal, 10 tahun yang lalu kontur tanah masih tinggi dan tidak pernah terendam banjir tahunan, namun kini area pemakaman bak layaknya empang. Saya sambil memikirkan bagaimana dengan para almarhum di dalam kubur sana. Mungkin pemerintah daerah harus menyediakan perahu karet di dalam kuburan, agar almarhum tidak kebanjiran lagi.
Melambungnya harga tanah per meter pun menjadi salah satu penyebab kumuh dan padatnya rumah masa depan. Bahkan sistim booking untuk rumah masa depan ini sudah banyak peminatnya, swasta pun ramai-ramai mengelolah bak layaknya membangun sebuah apartment.
Pikiran saya pun melompat ke sebuah kota megapolitan namun memiliki wilayah yang terbatas; Hongkong dan Tokyo. Bagaimana pemakaman di sana? Mayoritas penduduknya menganut kepercayaan bahwa jasad yang telah meninggal boleh di kremasi dan kemudian abunya bisa di simpan dalam vas/guci, ada juga dengan melarung ke laut. Namun bagaimana dengan penganut jasad yang meninggal harus dikebumikan? Pemerintah berserta swasta telah menyediakan tempat penyimpanan jenasah dengan model bertingkat layaknya seperti parkir mobil gedung bertingkat. Mereka seolah tak kehilangan akal, jenasah di simpan dalam peti mati(2) yang dibagian dalam terdapat gumpalan tanah yang menutupi seluruh peti mati, kemudian peti mati tersebut disimpan dan disusun rapi. Jika keluarga ingin berziarah, cukup dengan menekan nomor jenasah dan peti mati tersebut keluar dari tempat penyimpanan. Kemudian peziarah kubur dapat menaburkan bunga dan berdoa layaknya di area pemakaman pada umumnya. Setelah selesai, peziarah dapat menekan tombol lagi dan peti mati beserta jenasahnya akan masuk kembali kedalam tempat penyimpanan.
Tentunya tak terlepas dengan biaya tahunan untuk menjadi anggota tetap dan biaya bulanan untuk perawatan. Sebuah makam tanpa tanah, kuburan bertingkat pun menjadi solusi.
Aneh tapi nyata, inilah realita kehidupan bagaimana orang yang masih hidup memperlakukan orang yang sudah meninggal. Ketika itu juga tanah telah menjadi barang mewah.
(1) Bangunan tinggi atau gedung bertingkat yang terpaksa terhenti proyek pembangunannya dikarenakan sesuatu hal. Bisa saja kredit
macet, investor kabur, perizinan tidak keluar, menyalahi amdal, tidak sesuai peruntukan, dll.
(2) Peti mati yang bagian paling luarnya terbuat dari kayu semacam jati/mahoni dengan ukiran yang mewah, dibagian luar kayu tersebut
terdapat identitas jenazah. Kayu tersebut mengeluarkan aroma yang wangi, entah dari mana asalnya dan peti mati tersebut tertutup
rapat, sehingga tidak bisa dibuka lagi. Kemudian bagian dalam peti mati tersebut terdapat lapisan alumunium yang yang tertutup rapat
dan di dalam kotak alumunium tersebut terbaring jenazah dan tanah yang memenuhi seluruh kotak alumunium tersebut.
Pelawak (November 2011)
Dunia hiburan komedi rasanya tak pernah habis oleh tokoh-tokoh baru, selalu saja muncul regenerasi tiap tahunnya. Yang kreatif yang bertahan, yang senior silih berganti dengan yang junior, seperti menyerahkan tongkat komandonya. Namun tidak sedikit komedian senior yang hingga kini masih bertahan dan selalu mendapat tempat, pertanyaannya adalah sampai kapan?
Dahulu di era tahun 70an, 80an dan 90an menikmati hiburan komedi tidak hanya dari layar televisi, ada sandiwara radio, tape rekaman, buku hingga panggung komedi. Di era tahun 70an akhir hingga 80an pertengahan, sejarah komedi di tanah air pernah mencatat hadirnya panggung komedi yang terletak di bilangan taman ria senayan. Kini dengan bergulirnya waktu, tempat itu telah beralih fungsi. Mungkin saja karena letaknya bersebelahan dengan gedung rakyat (red. MPR/DPR) lokasi tersebut sudah berpindah tangan ke pemerintah atau para pemainnya sudah kalah lucu dengan anggota dewan terhormat.
Masih segar ingatan saya bagaimana para pelawak dan komedian era 70an dan 80an mereka menghibur penonton, bagaimana mereka berkarir di dunia komedi, bagaimana mereka mengumpulkan pundi-pundi rupiah hasil jerih payah mereka. Kala itu televisi belum semeriah saat ini, media iklan juga belum mengalami "market booming".
Lain dulu lain sekarang, beruntung bagi mereka (red.pelawak/komedian) yang hadir di era 90an akhir hingga sekarang, masa depan karirnya jauh lebih jelas, rezeki yang diraupnya pun jauh lebih besar daripada pimpinan BUMN dan menteri.
Dari menghibur penonton dan masyarakat, kini ia bisa menghibur dirinya sendiri. Lalu bagaimana dengan pelawak-pelawak sebelum era 90an awal? Dan bagaimana nasib komedian saat ini, 20 tahun mendatang?
Saya punya anekdot untuk menghibur pembaca, nasib pelawak diindonesia, jika tidak berakhir di narkoba atau justru menjadi anggota dewan legislatif.
Sukses (November 2011)
"Sudah lama kita tidak ketemu, hebat kamu sekarang sudah menjadi orang yang sukses!"
"Ahh... Biasa aja koq. Kamu yang sekarang dah jadi sukses"
Kalimat yang sering diucapkan ketika berjumpa dengan kawan lama, entah itu 10 tahun lamanya atau lebih sedikit, mungkin saja lebih dari 10 tahun. Tapi intinya adalah mengagumi kesuksesan dan keberhasilan orang lain.
Kesuksesan bearti berhasi mengangkat taraf hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Namun mengapa justru kita lebih sering mengagumi kesuksesan oarang lain ketimbang diri kita?
Mungkin sahabat pembaca sering bercermin kisah orang yang berada dilingkungan sekitar tempat tinggal. Sebut saja tukang tambal ban, yang dulu hanya memiliki seperangkat kompresor dan lapak tanpa atap, kini memiliki kios denga ukuran 3x3 meter beratapkan kayu dan seng.
Seorang penjual nasi goreng yang dulu tiap magrib sampai seperempat malam selalu memutari komplek perumahan, sekarang telah memiliki warung tenda dan mangkal, kini pembeli yang mencarinya.
Dan masih banyak contoh di sekitar kehidupan kita, ada yang usahanya berkembang, karirnya menanjak, perusahaannya go public, karyanya dikenal dunia internasional. Tetapi ada juga yang justru mengalami sebaliknya atau bahkan kehidupannya berjalan ditempat.
Salah seorang kawan lama saya, 5 tahun lalu ia menjabat sebagai pimpinan di perusahaan swasta dengan membawahi lebih dari 50 pegawai, dengan lingkup bisnis multinasional. Sekarang ia justru berwiraswasta dengan 5 anak buah. Apakah ini sebuah kesuksesan atau kemunduran?
Jawaban yang keluar dari bibirnya adalah sukses bukan hanya memiliki banyak pegawai atau banyak uang atau jabatan yang tinggi. Tetapi sukses adalah bagaimana kita mengatur waktu dan menjalankan kehidupan dengan bijaksana.
Saya pernah menyaksikan penuturan seorang publik figur idola saya, di tengah karir yang menanjak dan gemerlap kehidupannya, ia rela melepas semua atribut yang menempel didirinya hingga memilih sebagai pendakwah. Dalam testimonialnya ia berkata, sukses tidak melulu dikaitkan dengan materi, tapi dengan mensyukuri hidup.
Bagaimana pun juga sukses adalah pilihan, penjabarannya pun dikembalikan ke setiap individu. Sukses seperti apa yang diinginkan? Manusia tidak akan pernah benar-benar sukses jika hanya membanding-bandingkan dengan kesuksesan orang lain. Sukses bagi diri saya adalah berkecukupan; cukup memiliki rumah, cukup memiliki apartment, cukup memiliki mobil, cukup memiliki pesawat, cukup memiliki pulau, cukup memiliki istana, cukup memiliki taman hiburan, cukup memiliki perusahaan...
Cukup! cukup sudah! cukup angan-angannya...
Selamat menjalankan akitifitas dan semoga sukses!
Berani jatuh berani berdiri (November 2011)
Hampir 2 minggu saya tidak menyentuh keyboard komputer dan keypad telepon selular saya, yang selalu setia menemani saya dalam merangkai kata demi kata yang indah menjadi sebuah tulisan.
Lucu memang, sampai-sampai ada pesan singkat (red. bbm) yang menyapa saya, "gak nulis lagi, dot?", bahkan ada yang berkomentar, "lagi bosan nulis? penulis koq tidak terinspirasi!". Apa pun komentar dan anggapan mereka adalah masukan yang sangat berharga bagi saya. Apa arti dari semua itu??? Yaitu kepedulian mereka menanti tulisan-tulisan saya, hikmah itu yang saya ambil. Sehingga saya kini bisa menulis lagi dengan sejuta ide segar, setelah dua minggu berdiam diri dan publik beranggapan saya tengah "jatuh".
Selama peradaban manusia masih ada hingga akhir jaman, kita tidak pernah lepas dari beragam masalah. Karena masalah itu juga yang nantinya akan membentuk karakter dan sikap kita di hari esok kelak. Sebut saja; kegagalan dan kejenuhan. Tanpa disadari atau tidak, kedua problematika tersebut sering menghantui pikiran dan raga kita. Coba anda renungkan, berapa kali anda menyalahkan diri anda, jika anda setiap melakukan kesalahan? Menghujat, memaki diri sendiri, mengeluh bahkan mencap gagal, tidak bersemangat, sedih, tidak ada inspirasi, lama-lama tanpa disadari kita sudah mengarah pada putus asa, jenuh, bosan, stress.
Pernahkah anda melihat disekitar lingkungan anda berada, orang yang hidup dalam keterbatasan? tanpa tangan atau tanpa kaki? ketidaksempurna anggota tubuhnya, namun ia tetap menjalankan aktivitas dan menyongsong hari dengan semangat, bahkan ada juga yang berprestasi dalam olah raga, yang konon merupakan keahlian dengan menggunakan kekuatan fisik. Nyatanya, dengan keterbatasan tanpa anggota tubuh ia pun mampu berprestasi.
Selayaknya manusia yang pernah mengalami "jatuh". Mungkin juga ada yang berpikir atau beranggapan, aku jatuh, jatuh dan jatuh terus, kapan aku bangkit? Mungkin juga ada yang merasa usahanya hancur, ditipu orang kepercayaan, gagal dalam sekolah, gagal dalam berumah tangga, gagal berkarir. Tapi tahukah sahabat, kita perlu "terjatuh" untuk membangun karakter kita di kemudian hari nanti. Karakter tidak hanya membentuk sikap, tapi juga memperkokoh mental dan wawasan.
Orang boleh saja menilai kita pribadi gagal/lemah, tapi jangan pernah kita yang menilai diri kita juga seperti itu, karena akan tertanam didiri kita, sehingga sulit untuk bangkit dan menentukan langkah selanjutnya. Ada usaha, ada niat, ada tembok yang menghalangi, kita dorong, kita dobrak. Semua datang dari diri kita sendiri, kita yang menentukan kapan saatnya kita bangkit lagi dari jatuh.
Semakin lama kita jatuh semakin lama kita berdiri, oleh karenanya jangan terlalu lama berdiam diri dalam kejatuhan, segera bangun dan bangkit. Berbeda halnya dengan semakin sering kita jatuh, semakin kokoh kita dalam berdiri.
Selamat berjuang sobat!
Diam tak berarti emas (November 2011)
Kian hari acara berita di media elektronik kian mengerut dada, bagaimana tidak, yang disuguhi tidak lepas dari korupsi, anarkisme dan gosip murahan. Mungkin hanya beberapa persen saja yang menyuguhi berita kehindahan alam, kuliner, wisata, produksi alam atau yang lainnya. Saya berpikir sejenak, apakah berita semacam ini sudah tidak layak dikonsumsi oleh publik? Atau memang tidak menaikan rating siaran?
Berbicara tentang korupsi sama halnya dengan berbicara "mana yang lebih dulu antara telur atau ayam"? Yang tak ada awal dan akhir, selalu ada dan ada lagi.
Maling, mencuri, nguntit, ngembat dan nyolong atau bahasa kerennya saat ini korupsi telah menjadi suatu trend baru dimasyarakat. Saya khawatir lama-lama akan menjadi budaya baru. Bagaimana tidak? Pernah saya berdiri menunggu antrian taksi disalah satu lobby gedung terkemuka di ibukota. Entah di sengaja atau tidak, saya mendengarkan pembicaraan tiga orang karyawan negeri. Mereka tengah mendiskusikan nilai proyek dan nilai angka yang di mark-up untuk kependingan pribadi. Yang satu nampaknya agak keberatan dengan mark-up kedua temannya.
Satu hal yang mengelitik pikiran saya adalah tentang pernyataan salah seorang dari mereka,
"Udah, lo pada tenang aja. Tau bereslah! Uang halal ama haram bedanya tipis sekarang"
Saya pun tertawa sinis. Saya bertanya dalam hati, apakah setipis itu antara halal dan haram dalam bekerja? Apakah kita bekerja untuk berkarir atau untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya? Atau justru untuk ibadah? (Ahh... Rasanya pertanyaan saya retorik saja untuk yang terakhir).
Memang uang adalah segalanya, tapi nyatanya uang juga tidak dapat membeli kebahagiaan dan kemerdekaan. Ketika para politisi busuk atau oknum pemerintah yang tertangkap tangan oleh aparat, lalu kemudian mereka menjalani hukuman yang lama, apakah uang yang dikorupsikan bisa membeli kemerdekaannya? Lalu bagaimana dengan anak-anaknya, setelah seluruh temannya mengetahui orang tuanya seorang koruptor/pencuri/maling, bahagiakah anak-anaknya?
Ada yang bilang pada saya beberapa tempo yang lalu, "mencari uang haram saja susah, apalagi yang halal". Memang benar adanya, namun pada prakteknya mencari yang halal jauh lebih nyaman ketimbang yang haram.
Saat ini kejujuran adalah harga mati, yang tak bisa ditawar lagi. Banyak diluar sana orang yang jujur, namun sedikit orang yang sanggup bersaksi jujur. Mungkin saja mereka takut diintimidasi atau pengecut, sehingga lebih nyaman menutup mulut ketimbang berkata jujur.
Sahabat pembaca, katakanlah sebuah kenyataan dengan jujur, walaupun itu pahit dan menyakitkan, daripada diamnya kejujuran seseorang, bukanlah emas melainkan noda pengecut.
Saat terakhir (November 2011)
Hujan yang turun disertai angin kencang telah melengkapi kedinginan hari ini, padahal jam telah menujukan jam 12 siang. Bermalas-malasan di pulau kapuk terasa nikmat berserta balutan selimut. Suara merdu radio mengalun merdu di telinga kiri. Tak beberapa lama kemudian, suara ketukan pintu membuyarkan suasana hening...
"Nak... tolong antarkan ibu yuk ke supermarket" pinta ibu yang terdengar dari luar kamar.
"Ah ibu... nanti aja. Lagian diluar masih hujan deras..." Jawab anak dari dalam kamar
"Ibu, perlu beli bumbu dapur, nanti kita tidak bisa makan siang lo..." Jawab ibu
"Tunggu hujan reda bu..." suara sang anak memohon dengan nada pelan untuk mengurungkan niat ibunya.
"Ya sudah, kalau begitu ibu nyupir sendiri aja. Titip rumah sebentar" balas ibu.
"Iya... hati-hati ya bu" balas si anak.
---------------------
Sudah hampir 2 jam, si anak menanti ibunya dengan perut keroncongan. Mengapa juga belum datang? Semenjak ditinggal bapak selamanya ibu sudah terbiasanya mandiri dalam segala hal, tapi entah mengapa akhir-akhir ini ibu selalu terkesan manja dan selalu minta diperhatikan.
Tak beberapa lama suara telepon berdering... Dalam percakapan yang singkat itu, si anak begitu sangat terpukul mendengar berita kecelakaan yang telah merengut nyawa ibunya. Ia pun berlalu ke rumah sakit untuk memastikan kebenaran berita telepon dari aparat kepolisian.
Benar adanya, ibu telah pergi selamanya. Seandainya ia dapat memutar kembali waktu...
---------------------
Sahabat, Terkadang kita selalu menunda-nunda apa yang seharusnya dapat kita kerjakan sekarang juga, seolah kita tahu bahwa masih memiliki umur yang panjang.
Kehidupan dan kematian memang rahasia Tuhan, namun bagaimana kita mengisi kehidupan kita dengan hal-hal yang bermanfaat bagi diri kita dan orang lain. Hingga kematian menjemput kita dengan penuh kedamaian atas segala yang telah kita perbuat selama hidup.
Cerita diatas, saya dedikasikan untuk seorang teman yang beberapa tahun lalu telah kehilangan ibunya.
Ruang makan, ruang demokrasi (November 2011)
Sejak kecil saya di didik untuk selalu terbiasa makan bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga, sarapan, makan siang dan malam. Terkadang waktu siang, kami makan tanpa diikuti oleh ayah, karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan beliau absen.
Pernah suatu hari saya bertanya, mengapa harus selalu bersama-sama saat makan. Dan jawabnya tidak lain adalah kebersamaan. Entah mengapa menurut saya jawaban tadi terkesan umum atau justru pertanyaan sayalah yang mengandung unsur retorika.
Berjalannya waktu saya menyadari bahwa dibalik makan bersama ada sebuah makna demokrasi yang tercipta. Saling dengar pendapat, budaya antri, diskusi bersama, hormat-menghormati hingga gotong royong membersihkan meja makan.
Demokrasi kecil tercipta berawal dari ruang makan, kepala keluarga sebagai pemerintah. Anggota keluarga sebagai rakyat yang juga mempunyai "people power". Komunikasi dua arah yang terjalin baik, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Di ruang makanlah keadilan tercipta, tanpa ada rekayasa, otoriter, intimidasi, money politic, apa lagi korupsi "lauk pauk". Dapatkah anda bayangkan jika, suasana makan malam diliputi oleh amarah. Apakah tetap berselera makan malam bersama? Bagaimana dengan makan malam diselingi senda gurau dan keceriaan? Tentunya anda akan menikmati makan malam tersebut, dan mungkin akan berlanjut ke ruang keluarga.
Ruang makan tempat awal kita belajar demokrasi, sebelum melangkah jauh ke kancah perusahaan, sekolah dan pemerintah.
Bangunan dengan 3 bata (Oktober 2011)
Di awal tahun 2011 saya berkesempatan pulang ke kota kelahiran saya, hanya satu tujuan yaitu menenggok keluarga dari ayah. Saya juga menyempatkan diri mengunjungi rumah paman. Kehadiran saya yang tiba-tiba cukup membuat beliau terkejut, maklum saja hubungan kami sangat erat, melepas kangen adalah suasana yang tercipta saat itu.
Sepasang mata saya tertuju pada sebuah bangunan kecil yang nampak hampir jadi. Bangunan tersusun dari ratusan batu bata merah dan genteng berwarna kehitaman. Konsep bangunannya cukup sederhana, menyerupai rumah "cowboy" di amerika serikat. Dindingnya sengaja tidak diplester dengan semen halus, dibiarkan batu bata merah berjejer rapih.
"Bagus om bangunannya, rencana mau buat apa?" Tanya saya kepada paman.
"Perpustakaan mini sekaligus mushola, kalau ada keluarga datang bisa sholat berjamaah di sana" jawabnya. "Tapi om masih merasa kurang sreg!.... Coba kamu perhatikan lebih detail, masih nampak beberapa bata yang terlihat kusam dan jelek."
"Bagian yang mana om?" Jawab saya
"Itu... tuh... tiga bata yang dikiri" tangan paman sambil menunjuk kearah yang dimaksud. "Ingin sekali om ganti dengan bata yang baru, tapi akan membongkar separuh bangunannya".
Kami pun merenung sejenak memikirkan solusi apa yang tepat untuk bagian bata yang terlihat kusam, walaupun sesungguhnya tidak terlihat kusam. Saya mencoba memberikan solusi kepada paman saya,
"Om... Bukan ketiga bata itu yang kusam atau terlihat jelek, tapi hati dan perasaan om saja yang menganggapnya kusam. Itu karena om terlalu sering memperhatikan kekusaman bata tersebut. Tanpa disadari hati dan pikiran om, tersugesti pada ketiga bata tersebut... Sebenarnya, kekusaman dan kejelekan tiga bata tersebut telah tertutup dengan beratus-ratus bata yang terpasang rapih dan indah pada bangunan itu".
"Benar juga kata kamu, mungkin aku terlalu lelah memperhatikan kejelekan bata yang kusam itu, tanpa disadari bangunan itu telah berdiri kokoh dengan semua bata yang indah dan bersih" jawab paman saya dengan hati yang lebih tenang dari sebelumnya.
Sahabat pembaca, memang benar sebuah pribahasa mengatakan "karena nila setitik rusak susu sebelanga", namun alangkah bijaknya jika manusia melihat dan menilai seseorang secara keseluruhannya. Mengapa justru kita lebih suka berlama-lama memandangi secuil kejelekan daripada menikmati semua kebaikannya?
Seperti halnya dengan tiga batu bata tadi, manusia lebih suka memperhatikan kekurangan dan kejelekannya saja, padahal masih banyak beratus-ratus batu bata yang bagus dan sempurna yang jauh lebih layak untuk dinikmati.
Nila setitik rusak susu sebelangga, tapi susu tersebut masih bisa dinikmati. Daripada mengganti baru atau membuangnya, akan lebih mubazir.
Juara 2 (Oktober 2011)
Pada sebuah perlombaan atletik yang diikuti oleh 9 peserta lari sprint 100 meter, nampak para pelari telah bersiap di posisi start. Suara tembakan pun telah diletuskan sebagai tanda dimulainya perlombaan. Mereka saling kejar-mengejar untuk menjadi yang terdepan, dan saling meninggalkan lawan yang berada dibelakangnya. Hingga akhirnya mencapai garis finish dengan sebuah catatan waktu dan juara 1, 2, 3 hingga paling akhir; 9.
Semua mata penonton tertuju pada peserta terdepan, siapa calon juara 1 dan siapa runner up-nya. Entah mengapa tidak ada yang tertuju pada nomor 4 hingga nomor 8? Mungkin peserta tersebut tidak masuk sebagai calon juara atau justru pelengkap penderita. Lalu bagaimana dengan peserta paling akhir?
Tak ada juara 1 tanpa pernah menjadi juara 2 dan 3. Bagi runner up akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mengeserkan posisi pertama. Bagi juara 3, runner up adalah tujuannya, namun jika ia dapat menjadi juara pertama adalah bonus dari target semulanya, yaitu juara 2. Lalu bagaimana dengan peringkat 4 dan seterusnya hingga akhir?
Saya selalu tertarik untuk menjadi juara 2 daripada juara pertama. Juara pertama terasa lebih mudah memperolehnya daripada mempertahankannya. Jika kita tidak fokus dan enggan melatih kemampuan kita, juara pertama akan jatuh ketangan runner up atau siapa saja yang berada dibelakangnya. Juara 2 adalah tujuan yang akan diraih, namun jika dapat melompatinya menjadi juara pertama, bagi saya adalah bonus.
Lalu bagaimana dengan penghuni terakhir? Saya menyebutnya mereka penghuni rangking terakhir adalah melakukan pengorbanan yang gagah berani, bagaimana tidak mereka mengorbankan segalanya untuk orang lain menempati rangking 1, 2 dan 3.
Tidak ada kalah atau menang, yang ada hanyalah sebuah pertandingan mempertahankan juara 1 atau tergusur oleh peserta di belakangnya.
Revolusi (Oktober 2011)
Perjalanan bangsa ini menuju suatu perubahan telah lama bergulir, sebut saja era kemerdekaan yang berbuah proklamasi kedaulatan bangsa Indonesia. Di pertengahan tahun 60an, bangsa ini juga mengalami pergolakan revolusi politik terhadap kelompok komunis, yang hingga kini kita mengenal para pahlawan revolusi. Di awal tahun 70an, bangsa ini kembali diuji nasionalisnya dengan semangat revolusi, sayangnya peristiwa tersebut ditunggangi oleh sekelompok makar, sejarah kelam telah menorehkan dengan tragedi malari. Perubahan demi perubahan telah lama bergulir dari jaman kerajaan hingga sebuah bangsa.
Menuju perubahan yang lebih baik tentu ada konsekuensinya, dipenghujung tahun 90an, bangsa ini kembali mengalami pergolakan politik perubahan besar-besaran. Bumi pertiwi kembali terobrak-abrik demi sebuah nama demokrasi dan perubahan total. Bangsa Indonesia telah membubuhkan tintanya pada sejarah dengan era refomasi.
Entah nanti apa lagi yang akan terjadi? Pada bangsa ini...
Tak hanya suatu sistim tata negara, atau pun sistim sebuah perusahaan, sistim pada sekolah, lingkungan tempat tinggal dan rumah tangga yang cakupannya paling kecil sangat memungkinkan untuk melakukan perubahan total. Suka atau tidak suka, selama manusia masih terlibat dalam kehidupan dunia, pasti akan ada sebuah pergolakan batin dan raga, bisa menuju ke arah perubahan yang lebih baik atau justru terjerumus perpecahan/kehancuran/perang saudara.
Revolusi, sering kali diteriakan dari bawah menuju atas, dari kelompok yang menginginkan perubahan kepada kelompok berkuasa atas ketidak puasan suatu sistim yang dianggap mementingkan dan memihak kelompok/penguasa tertentu.
Sayangnya, perjuangan kelompok pemuda yang menginginkan perubahan total, sering dikambing hitamkan sebagai awal perang saudara, perpecahan dan disintegrasi suatu "sistim yang sudah terbiasa bergulir". Revolusi juga sering kali dikaitkan dengan tindakan anarki, instabilitas politik dan ekonomi.
Suatu bangsa dengan diktatornya, atau negara demokrasi dengan monarkinya. Perusahaan BUMN dengan nepotismenya, seolah-olah seperti perusahaan keluarga. Sekolah dan organisasi yang menjalankan sistim yang telah kadaluarsa. Rumah tangga yang tidak sakinah.
Sayang beribu sayang, manusia cenderung enggan menerima perubahan baru yang justru lebih baik dari saat ini. Sebagian takut dicap sebagai pembangkang, sebagian lagi merasa cukup puas dalam keadaan yang sudah bergulir, namun dalam hati kecilnya sangat menginginkan perbaikan yang lebih baik lagi. Jika bigini semagat revolusi terhadap perubahan total hanya tertinggal dalam niat saja, tanpa pernah terlaksana.
Tidak ada yang salah dengan semangat revolusi, namun yang salah jika hanya disimpan dalam hati dan berkeluh kesah dalam kegalauan dan ketidakpuasan.
Revolusi atau diam selamanya
Meninggal dan hutang (Oktober 2011)
Hari masih siang, matahari terasa sangat akrab menyinari kami dibumi, saking semangat sinarnya terasa sangat terik bagi kami. Beberapa makhluk Allah termasuk saya, tengah berkumpul di areal pemakaman mengantarkan seorang teman menghadap sang Khalik, sebenarnya beliau adalah mantan sahabat, yang lebih memilih sebagai teman.
Saya tidak mengutarakan penyebab kematiannya, yang jelas sangat tragis; bukan kecelakaan. Tak banyak dari kalangan teman yang menhadiri pemakamannya, hanya nampak beberapa dari keluarga terdekatnya saja. Seusai ritual penguburan menurut kepercayaannya, seorang perwakilan keluarga berbicara didepan pusaran jenasah menghadap para pelayat dan berbicara.
"Kami selaku wali keluarga almarhum, memohon maaf jika almarhum selama didunia banyak membuat kesusahan, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Jika selama hidupnya almarhum banyak meninggalkan hutang, kami selaku wali keluarga akan menyelesaikan hutang-piutang tersebut. Terima kasih atas perhatiannya".
Saya terhenyak dengan ucapan pihak wakil keluarga tadi yang menyinggung soal hutang. Masalah duniawi yang belum terselesaikan akan membuat manusia tertahan langkahnya di akhirat. Jangankan berbicara surga dan neraka, di alam kubur sudah dihentikan langkahnya, apalagi di alam akhirat. Sempat terpikir apakah saya akan menghentikan langkah seorang mantan sahabat (red. teman) menuju alam akhirat karena sebuah persoalan yang tak terselesaikan? Atau saya berbesar hati mengiklaskannya? Benar adanya anggapan bahwa "uang dapat dicari", namun bangaimana bentuk tanggung jawab antara manusia dengan manusia dan Tuhan sebagai saksinya?
Mengikhlaskan materi yang menghambat perjalanan seseorang menuju alam akhirat, menjadikan kita manusia yang berderajat tinggi di mata Tuhan, namun bagaimana mungkin, jika selama hidupnya almarhum tidak pernah mendengar kata ikhlas atau lunas dari sang piutang? Yang tercatat di buku harian Tuhan oleh para pengabdi-Nya (red. malaikat) adalah segala urusan di dunia harus diselesaikan di dunia, bukan justru terbalik. Yang pada akhirnya pihak wali waris yang menyelesaikan semua urusan almarhum selama di dunia.
Sahabat pembaca, sudahkah anda melunasi hutang selama di dunia? Semoga kita tidak meninggalkan hutang di dunia ketika dalam perjalanan ke alam akhirat, yang pada akhirnya justru dapat menghambat langkah kita ke alam
Makna sebuah jam tangan (Oktober 2011)
Lebih dari seabad lamanya kita mengenal dan bergantung pada alat penunjuk waktu ajaib. Peradaban jam pun ikut mengalami pergeseran dari jam pasir, jam matarai, jam bintang, jam menara, jam dinding, jam tangan, hingga jam karet. Dibalik itu semua, tahukah makna yang disampaikan dari sebuah jam? Selain penunjuk waktu, jam memiliki sebuah filosofi yang dalam.
Sebut saja jam menara disisi sungai thames (red. big bang, london selatan) merupakan sebuah simbol kerajaan dan identitas dunia peradaban klasik, selain itu juga menjadi cikal bakalnya satuan internasional, selain berada di kota greenwich.
Bagaimana dengan Jam tangan yang telah diperkenalkan lebih dari satu abad lamanya, dan telah mengalami pergeseran. Dari jam poket hingga jam tangan, dari jam analog hingga jam digital. Entahlah beberapa windu kemudian, mungkin saja ada jam suara atau jam pikiran (baca tulisan saya "circadian rhythm").
pernahkah sahabat pembaca menanyakan kepada pemakai jam, mengapa mengenakan jam tangan di kiri atau di kanan? Atau saja mengapa jam tanpa jarum (red. digital) atau analog? Atau yang sedikit lebih spesifik mengapa mengenakan jam tangan di balik, dial-nya (red. Sisi muka penunjuk jam tangan) berada di dalam pergelangan tangan?
Bertahun-tahun saya mencari alasan dan makna filosofi tersebut. Setiap individu pengguna jam tangan saya tanyai, dan berbagai macam jawaban yang membuat kerancuan. Hingga pada akhirnya sebuah buku terjemahan kunolah yang mengulas tentang filosofi penggunaan jam tangan telah membuka tabir keputusanan saya.
Ijinkan saya menyimpulkan dalam gaya bahasa sendiri,
Jam tangan telah berubah menjadi fashion, perhiasan, barang investasi dan aktualisasi pemakainya. Berapa banyak pengguna jam tangan tanpa pernah melihat fungsi dari waktu? Manusia rela menginvestasikan lebih mahal jauh dari nilai fungsi sebuah penunjuk waktu.
Penggunaan jam di tangan kanan lebih mempertegas sifat kepemimpinan dan kemapanan. Berbeda dengan sebelah kiri; fleksibelitas dan fashion. Lalu bagaimana dengan jam yang di balik, dial-nya menghadap kedalam? Ego dan aktualisasi diri yang ingin ditunjukan.
Lalu bagaimana dengan jam digital dan analog? Analog, para pemakainya ingin dikenal "who am i...", dan fashion lebih dominan ketimbang fungsi. Sementara digital lebih dekat pada kaum perfectionist. Sebagian seseorang tidak terlalu memperdulikan penggunaan jam tangan, tapi umumnya mereka mengenakan disebelah kiri karena kebiasaan dan memudahkan jika harus mengganti jarum jam tanpa harus melepasnya.
Saya pernah bertemu dengan seseorang yang mengenakan jam tangan terbalik, sehingga sangat sulit bagi pemakainya untuk mengetahui jam berapa saat itu, karena penggunaannya terbalik. Tapi, tahukah sahabat pesan dan filosofinya terhadap jam terbalik? Karena dia ingin bermain dengan masa lalunya, membayangkan seandainya bisa memutar mundur waktu. Mungkin masa lalunya terlalu indah untuk dilewati begitu saja, tapi apa pun alasan penggunaan jam tangan, pasti memiliki arti filosofi yang dalam.
Karena jam selalu berputar kearah kanan, agar penggunanya selalu menatap masa depan. Itulah mengapa penggunaan jam tangan seperti tak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia modern. Karena satu hal, mengingatkan kita tentang cita-cita masa depan, bukan membelenggu masa lalu dengan sebuah mesin waktu dan kenangan.
Semangat si semut (Oktober 2011)
Suatu hari saya sedang terlibat pekerjaan yang sangat membosankan; mengantri. Entahlah mengapa rutinitas seperti ini terasa sangat melelahkan dan membosankan. Jika dipikir saya hanya diam berdiri dan sesekali duduk.
Dalam antrian panjang, pikiran dan mata saya tertuju pada sekelompok koloni semut yang merayap seperti membentuk garis dari lantai hingga dinding. Kian lama kian terhanyut untuk menikmati kehidupan koloni semut. Mereka memiliki satu tujuan bersama yaitu mengangkut makanan dari satu tempat ke rumah koloninya.
Dengan gotong royong mereka memindahkan semua makanan, sesekali para pasukan semut bertemu dan saling menyapa, lalu secepat kilat pula mereka melanjutkan pekerjaannya hingga selesai. Tak ada keluh kesah mereka, tak ada kebosanan rutinitas, semua dilakukan dengan semangat gotong royong.
Pada akhirnya barisan koloni semut menjadi berkurang dan hilang, entah kemana para semut itu perginya. Tiba-tiba muncul seekor semut yang tubuhnya jauh lebih besar dari semut lainnya. Ia tengah memanggul makanan yang melebihi ukuran tubuhnya; 3 kalinya. Tampak tergopoh-gopoh membawa makanannya.
Seketika saya mengusap kedua mata saya sambil membenarkan posisi kacamata, sekejap pula para koloni semut sudah berada diantara semut besar itu. Para koloni semut kecil, membagi beberapa makanan besar itu menjadi kecil-kecil dan mulai mem antu membawakan ke rumah koloni. Belakangan, saya baru menyadari ternyata ada sebuah lubang yang cukup besar bagi ukuran semut, yang terletak di sudut lantai dan tembok. Kesanalah tujuan dan rumah koloninya.
Sahabat, semua pekerjaan akan sangat terasa ringan dan menggembirakan jika dilakukan dengan bersama-sama, gotong royong. Begitu pun sebuah masalah akan sangat indah jika dapat terselesaikan secara kekeluargaan. Bangsa ini dulu melalui leluhurnya telah meneriakan semangat gotong-royong kepada dunia, hingga dunia pun menghormati dan belajar banyak pada bangsa ini. Namun, kini individualitas lah yang telah menggantikan semangat gotong-royong, "elu... elu, gue... gue" atau "ada uang, ada kerja". Semangat gototng-royong, kekeluargaan dan kebersamaan telah terkubur dan hanya tinggal sejarah bagi bangsa ini.
Terkadang jalan pintas lebih mudah dipilih dengan membayar jasa tenaga, ketimbang harus kerja bersama-sama, semangat gotong-royong kian terasa sangat mahal harganya. Jika semut yang tidak memiliki nurani dapat bekerja bersama dan memiliki sifat kekeluargaan, mengapa manusia yang memiliki nurani justru tidak peduli lagi dengan semangat gotong-royong.
Tak terasa, tibalah giliran saya untuk bebas dari antrian yang membelengu pikiran saya.
Ular dan sahabatnya (September 2011)
Almarhum kakek saya sering bercerita tentang filosofi kehidupan antara alam dan manusia. Salah satu cerita kuno tentang seorang anak kecil yang bersahabat dengan hewan piaraannya.
-----
Singkat cerita, ada sebuah keluarga yang tinggal dan hidup ditengah hutan yang jauh dari peradaban. Setiap hari, pagi dan sore sang anak selalu diberi susu oleh ibunya, harapan orang tua pada anaknya agara sang anak kuat, tumbuh sehat dan cerdas; susu salah satu unsur penunjangnya. Kian hari si ibu kian curiga melihat kebiasaan anak yang setiap kali diberi susu, selalu di bawanya keluar dari rumah.
Ibunya pun mengikuti dari belakang tanpa sepengetahuan sang anak. Tibalah di sebuah pekarangan yang tak bertuan dan nampak sebuah lubang besar berbentuk goa, sang anak bersiul sambil senandung memanggil hewan piaraan yang telah menjadi sahabatnya. Ibunya tampak terkejut dan segera mengawasi dari kejauhan, ternyata yang keluar adalah seekor ular yang sangat besar, berwarna hitam, tampak menyeramkan dan menakutkan. Sang anak tampak bahagia dengan piaraannya seolah telah bersahabat kian lama.
Sesampainya di rumah, ibu bercerita kepada suaminya, yang tak lain adalah ayah dari sang anak. Hingga akhirnya mereka, mengikuti si anak ke tempat persembunyian ular. Ketika ular besar muncul dari tempat persembunyiannya, sang ayah langsung menembak kepala ular tersebut hingga berantakan. Sementara sang ibu telah menyelamatkan si anak dari bahaya yang mengancam.
Semenjak kejadian itu, sang anak mengurung diri di kamar, tidak mau makan, hingga akhirnya jatuh sakit. Setelah dibawa ke tabib, nyawa sang anak tak tertolong lagi. Raut wajah penyesalan yang tampak pada kedua orang tua anak.
Tabib pun bertanya pada orang tua si anak, "apakah ular tersebut mengancam jiwa anakmu?".
"Tidak" jawab ayah.
"Apakah anakmu bahagia bermain dengan ular besar itu?" Tanya tabib.
"Rasanya tidak ada raut ketakutan diwajah anakku" jawab sang ayah.
"Jangan salahkan anakmu yang telah pergi mendahului kalian, karena kalianlah yang telah memisahkan sebuah persahabatan" jawab tabib pada kedua orang tua si anak.
------
Sosok ular pada cerita diatas diidentifikasikan seperti soerang pria bertampang sangar, rambut gondrong, tatoan, kulit hitam, namun sebenarnya ia sangat sayang pada keluarga dan sahabat kecilnya. Ia menjaga, melindungi, mengayomi dan bersahabat dengan anak kecil. Namun justru ancaman datang dari keluarga terdekatnya, yang hanya menilai dari sebuah penampilan.
Sering kali kita menilai seseorang dari luarnya saja, tanpa pernah menyelami isi hatinya. Terkadang manusia lebih mudah percaya kepada kaum berdasi dan berjas, penampilan yang rapih dan menunjukan simbol kemapanan. Yang sebenarnya belum tentu hati dan jiwanya seperti itu.
Kita juga sangat cepat mendiskriminasikan kelompok minoritas, yang jauh dari unsur rapih, bersih dan berpenampilan sangar. Namun belum tentu hati dan jiwanya juga hitam.
Ada baiknya untuk selalu berpikir positif terhadap semua kemungkinan-kemungkinan yang ada di dunia. Tidak selamanya hitam itu gelap dan terang itu putih. Namun dibalik kegelapan akan nampak bintang-bintang yang bercahaya terang dan bulan purnama yang indah.
Surat dari surga (September 2011)
Beberapa waktu lalu saya menerima sebuah email dari seorang sahabat. Namun sayang, setelah saya baca email tersebut tidak sengaja saya delete dari inbox. Berhari-hari saya mencarinya, namun tidak menemukan, bahkan saya berusaha mengontak sahabat saya untuk dikirimkan lagi email tersebut. Namun, sahabat saya juga mengalami seperti yang saya lakukan. Isinya sangat bagus dan sayang rasanya jika dibaca sendirian. Saya mencoba dan mengingat-ingat isi email tersebut dan mengutarakannya dengan versi saya sendiri.
-----
Untuk bunda yang nanda sayangi.
Apakabar bunda? Apakah bunda baik-baik saja? Semoga bunda sehat dan bahagia disana. Nanda di sini sehat walafiat dan alhamdulillah masih dalam lindungan Tuhan.
Bunda, nanda kangen sekali sama bunda, ingin sekali nanda ketemu dengan bunda, walau hanya semenit, setidaknya dapat mengobati rasa kangen dan rindu nanda kepada bunda.
Oya bunda, di tempat tinggal nanda disini enak sekali, beralaskan kasur bulu angsa dengan hiasan permata dan emas. Setiap hari nanda disuguhin makanan dan minuman yang enak, belum lagi pakaian yang serba mewah, teman-teman nanda juga baik-baik, pemandangan disini juga sangat indah sekali. Bunda, kalau mau main ke tempat nanda, pasti akan nanda ajak jalan-jalan.
Oiya bunda, bolehkah nanda bertanya? Nanda ingin sekali seperti teman-teman nanda, yang memiliki dan mengenal orang tua sendiri. Terkadang, nanda bertanya pada diri sendiri, seperti apa wajah bunda dan ayah? Mengapa nanda tidak sempat bertemu dan mengenal orang tua nanda sendiri?
Pernah sekali waktu, nanda bertanya pada Tuhan. Kata Tuhan, bunda tidak menginginkan kehadiran nanda, apa benar begitu bunda? Mengapa bunda tidak menginginkan kehadiran nanda? Apa salah nanda? Bunda. Mungkin nanda bisa memperbaiki kesalahan nanda dengan kata "maaf".
Pernah sekali waktu nanda bertanya pada Tuhan, "kenapa bunda tidak meninginkan nanda?". Tapi jawaban Tuhan justru membuat nanda bertambah bingung. "karena bunda dan ayah tidak terikat pernikahan yang sah, nanda" jawab Tuhan. Nanda pun bertanya lagi pada Tuhan, "pernikahan yang sah itu seperti apa? Apa itu pernikahan, Tuhan?". Tuhan malah menjawab, "sebuah hubungan cinta kasih yang tidak Aku restui". Nanda pun mencoba bertanya lagi, "mengapa Engkau tidak merestui? Apa salah bundaku?".
Tahukah bunda, semakin sering aku bertanya pada Tuhan, semakin aku bingung dengan jawabannya, yang ku ingat dari banyak jawaban Tuhan adalah bunda malu pada orang-orang di sana, pada keluarga jika mempunyai anak haram seperti nanda. Apa benar, bunda? Kenapa bunda malu? Apa salah nanda, sampai bunda malu mengakui anak bunda sendiri? Nanda semakin bingung bunda, mengapa didunia nanda dipanggil anak haram?
Tapi, apa pun keputusan bunda, nanda tetap sayang dan cinta sama bunda, nanda akan menunggu kehadiran bunda disurga.
Bunda, terima kasih telah memberi kepada nanda kehidupan di dunia, walau hanya beberapa jam saja, nanda rindu sekali sama bunda, ingin rasanya dipinang oleh bunda lebih lama lagi.
Sudah dulu ya bunda, semoga bunda baik-baik saja didunia. Nanda mau main dulu sama sahabat nanda yang menjaga nanda di surga; malaikat. Katanya hari ini nanda mau diajak jalan-jalan sama malaikat untuk melihat sisi lain dari neraka yang konon katanya, bunda nanda akan berada disitu jika bunda tidak bertobat; apa lagi itu tobat, nanda semakin bingung dan tidak mengerti.
Salam kangen dari nanda,
untuk bunda dan ayah tercinta.
Nb. Nanda tunggu bunda di surga, jangan nyasar ke neraka ya bunda...
-----
Surat seorang anak dari surga untuk ibundanya tercinta di dunia. Sang anak menjadi korban aborsi, akibat cinta terlarang ibu dan ayahnya.
kayu dan pakunya (September 2011)
Ada sebuah kisah menarik ketika saya masih remaja SMA, cerita ini menginspirasikan tentang pagar kayu yang membentengi pekarangan rumah kakek saya. Kakek banyak sekali mengajarkan tentang filosofi kehidupan manusia dengan alam sekitarnya, filosofi ini terekam di hati dan benak saya hingga kini, begini ceritanya...
-----
Malam harinya saya berbuat kesalahan fatal kepada orang tua, tak ayal mereka pun marah. Singkat cerita, sang kakek yang biasanya selalu membela saya, hanya duduk terdiam ditemani teh panas. Tak ada kata yang terucap, begitu pun dengan gerak gerik tubuhnya.
Pagi pun tiba, jarum jam tepat berada di angka enam. Saya dibangunkan oleh ibu, katanya kakek telah menunggu saya di teras depan, saya pun segera menemuinya.
Saya : "pagi kek..."
"sini nak... Tolong bantu kakek benerin pagar ini", jawab kakek pada saya
saya pun bertanya dengan penuh keraguan,
"memangnya pagarnya kenapa kek? Kan kayunya masih bagus"
"sudah lepaskan saja semua kayu ini dan itu. Sekalian pakunya juga di cabut dari kayunya. Hati-hati terkena tangan, nak..." balas kakek.
Saya pun menyelesaikan tugas itu bersama kakek, tak ada percakapan diantara kami. Sekitar 10 menit berlalu...
Kakek pun mulai mengawali pembicaraan,
"nak... Kayu ini tampak bagus dan kokoh". Suara hening, diam sesaat.
"Tapi, tahukah kamu kalau sebenarnya kayu ini rapuh dan ternoda?" tanya kakek pada saya
"tidak kek..." jawab saya.
kakek pun menjelaskan pada saya, sambil menyeruput teh panasnya, "kamu lihat banyak sekali bekas lubang paku dan dempulan pada kayu. Kamu bisa saja mencabut paku dan menutup semua lubang bekas paku dengan dempul kayu dan kemudian kamu cat kayu tersebut. Tapi kamu tidak bisa menutup kayu yang bolong dengan serat kayu yang alami. Butuh waktu yang lama agar serat kayu itu menutup bolongan akibat paku, mungkin saja tidak bisa ditutup lagi. Begitu pun dengan perbuatan dan perkataan kita. Kita bisa saja mengucapkan kata maaf, tapi luka di hati akan tetap tergores, dan butuh waktu untuk melupakannya. Manusia hidup juga patut berkaca pada kayu, paku dan alam".
Saya pun terpaku dan terenung oleh nasihat kakek, hanya sebuah kalimat singkat yang dapat saya ucapkan saat itu. "Maafkan saya kek, jika selama ini saya banyak salah..."
"itulah manusia... Kita berbuat salah, agar kelak dimasa datang kita tidak berbuat kesalahan serupa", jawab kakek pada saya. "namun, kamu juga perlu ingat, jangan sekali-kali menancapkat paku yang terlalu besar dan dalam ke sebuah papan, jika kamu tidak mau merusak kayunya".
Kami pun melanjutkan pekerjaan mengganti pagar yang rusak tadi dengan yang baru, untungnya tak banyak pagar kayu yang harus diganti dengan yang baru.
-----
Sudahkah anda mengucapkan kata "maaf?"
Founding father (September 2011)
Kali ini saya ingin berbagi cerita tentang asal usul "siapa aku" dan "ini bapakku", sering kali penulis berjumpa dengan banyak tokoh yang terlalu mengagung-agungkan garis keturunan. Sebagai ilustrasi percakapan, sebut saja tokohnya destra dan jumena.
Suatu ketika destra tengah diperintahkan oleh atasannya menyelesaikan tugas harian untuk mengecek stock ketersediaan barang di gudang, yang mana tugas tersebut menuntut kesabaran dan fokus. Sebuah pekerjaan yang cukup enak, namun terkesan membosankan, karena rutinitasnya. Tak ayal destra pun mengeluh dan ngedumel, sesekali juga menampakan wajah yang murung. Sahabatnya datang menghampirinya...
Jumena : "napa lo? Dari tadi ngomel mulu..."
Destra : "noh... Ulah si tenyom (red. dibalik monyet, istilah sebutan untuk atasannya yang galak).
Nyuru gw stock opname lagi".
Jumena : "lho... Kan kemarin lusa udah di opname ama anak-anak department. Koq di opname lagi?"
Destra : "ya itulah... Padahal laporan kemarin lusa udag gue siapin tadi pagi di mejanya dia, dan semua kerjaan udah gue selesaikan. Ehh... Tetap aja gue lagi yang disuruh-suruh".
Jumena : "ya udahlah... Dinikmatin aja, jangan ngeluh terus... Nanti cepet stroke lo..."
Destra : "ya dia usil banget ama gue. Gak tau apa gue ini sapa? Gue aduin ke bokap, bisa dipecat tuh
si tenyom"
Jumena : "ahh... Elo, dikit-dikit ngadu ke bokap lo sih. Emang bokap lo yang punya nih perusahaan, tapi jangan
semua urusan kantor di bawa ke urusan keluarga donk".
Destra : "ahh elo selalu gitu ama gue, bukannya belain gue. Toh nanti juga perusahaan ini bakalan jatuh ke
tangan gue, dan elo bakalan kena cipratannya".
Jumena : "iya sih... Pewaris tunggal. Tapi alangkah bijaksananya jika di selesaikan secara profesional"
Destra : "#*?/@*#!"
Pernahkah sahabat menjumpai orang demikian? Atau justru terlibat dalam topik pembicaraan serupa?
Maraknya fenomena founding father atau sering juga mengagung-agungkan garis keturunan sudah menjadikan bangsa ini semakin malas, dengan sedikit bekerja, berharap hasil yang besar. Yang lebih parahnya lagi, mereka tidak mengkhawatirkan apapun hasilnya nanti, karena harta dan nama besar leluhurnya dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Tapi, apa mau dikata jika semua itu berbanding terbalik dari kenyataan?
Seseorang teman juga pernah mengatakan "harta keluargaku tak akan habis sampai 7 turunan, pada turunan ke 8 baru kita bekerja keras lagi". Bukan bekerja keras yang kita butuhkan, tapi bekerja cerdik. Semua orang dari yang berpendidikan sampai yang tidak, bisa bekerja keras. Namun hanya sedikit yang dapat bekerja dengan cerdik dan memanfaatkan peluang, sudah tentu hasilnya akan optimal ketimbang maksimum.
Bangsa ini juga tak luput dari nama besar pendirinya, anak cucu pun ikut meneruskan cita-cita ayahnya. Ironisnya, bukannya lebih baik tapi justru mengalami kemunduran dan kehancuran, yang tak lain akibat keserakahan dan boros dalam mengatur bangsa. Leluhur berjuang sampai titik darah penghabisan mempertahankan keutuhan bangsa dan kemerdekaan, namun justru berpuluh tahun kemudian lah anak cucunya yang menjual semua aset bangsa ini ke bangsa lain.
Perusahaan milik negara yang seyogyanya telah dikelolah secara profesional pun telah berpindah tangan manajemen keluarga besar. Belum lagi perusahaan yang mengawalinya dengan usaha keluarga, mulai ikut campur tangan dengan urusan pemerintah daerah.
Saya jadi teringat pada sebuah film "alangkah lucunya negeri ini", mengankat tentang seorang pemuda sarjana pengangguran yang mengubah masa depan kaum pencopet. Bukan alur ceritanya yang menarik, namun banyak sentilan-sentilan dari sang sutradara kepada bangsa ini terhadap ketidakadilan, keserakahan dan kaum founding father. Nepotisme sangat baik jika dilanjutkan dengan etos kerja yang optimum, namun justru akan menjadi bumerang jika pelaksanaannya malas.
Saya ragu, apa yang akan diperoleh negeri ini jika mereka yang lebih bangga pada hasil kerja leluhurnya (red. ayahnya) tapi tidak diteruskan secara bijaksana dan profesional oleh penerusnya (red. anaknya). Bukankah justru memikil beban dan tanggung jawab yang besar? Paling tidak harus lebih maju, makmur dan sejahtera dari sebelumnya.
Tidak sebuah negara saja, perusahaan dan kelompok kecil (red. individu) tidak lepas dari fenomena ini, pada kesempatan ini izinkan penulis mengajak sahabat pembaca untuk berpikir positif kedepan, bekerja secara cerdik, bahwa apa-apa yang telah dibangun oleh sebelum kita dapat kita pertahankan demi kelangsungan hidup yang berkesinambungan. Mereka telah berusah keras untuk kebahagiaan kita, jangan kita hancurkan jerih payah mereka, hanya sebuah tindakan bodoh; malas dan berpuas diri dengan nama besar leluhur kita.
Bukan ini bapak ku,
Tapi ini lah aku.
Bukan usaha bapak ku,
Tapi karena usaha ku, aku maju.
Bukan karena bapakku aku bertahan,
Tapi karena kreadibilitas ku.
Benar adanya bapak ku yang mendirikan,
Tapi, akulah yang mempertahankannya.
Berbesar hati (September 2011)
Kehidupan didunia selalu meberikan warna tersendiri bagi setiap manusia, ada warna senang, bahagia, gembira, Bahkan ada juga wana sedih, susah, marah. Semua warna-warna dapat menghasilkan pelangi kehidupan bagi manusia. Bermain dengan warna terkadang dapat diidentikan dengan melukis warna dengan harapan dan kenyataan.
Harapan dan kenyataan menjadi tujuan hidup manusia. Terlebih jika harapan yang sudah dicita-citakan sejak lama dengan penuh keyakinan untuk menatap masa depan. Namun terkadang antara kenyataan dan harapan sering kali tidak sejalan, yang akhirnya berdampak pada putus asa, kecewa, resah mungkin juga berubah menjadi marah. Apa yang dapat dilakukan jika sudah demikian? Kata “sabar” saja rasanya terlalu klise untuk diucapkan dan lebih berkesan retorika.
Sebagai contoh saja, sepupu saya (sebut saja AM) sudah merencanakan 3 tahun yang lalu untuk masuk perguruan tinggi negeri di sebuah kota megapolitan, jurusan yang diminati adalah jurusan favorit dan memberikan masa depan yang sangat cerah; kedokteran. Berbagai cara telah dilakukan dari belajar dengan giat, bimbingan belajar (red. les), berdoa, dll. Dia pun berhasil menyabet nomor satu siswi teladan SMA di kotanya. Namun apa yang hendak dikata, rencana Tuhan bukan rencana manusia, semua yang telah direncanakan dengan baik dan matang menjadi kian berantakan setelah tidak diterimanya di universitas negeri yang favorit di sebuah kota megapolitan. Kecewa, sebal, marah, sedih, resah kian mewarnai hari-harinya kedepan. Yang lebih mengecewakannya lagi adalah temannya yang justru tidak rangking di SMA-nya malah diterima di universitas negeri jurusan kedokteran.
Manusia boleh saja berencana, berangan-angan, membuat target tujuan, namun pada akhirnya Tuhan juga yang menetukan hasil akhirnya. Manusia selalu melihat dalam sisi luarnya saja dan berkesimpulan yang cepat terhadap kenyataan hidup. Namun dibalik itu semua Tuhan telah mempersiapkan semuanya yang terbaik. Tidak sekarang, tidak hari ini, tapi esok ketika sang surya kembali bersinar bersama warna-warni pelangi menyambut harapan manusia yang sempat tertunda.
Sering kali penulis mendapatkan sebuah pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan selain menunggu, bersabar dan berdoa antara harapan dan kenyataan yang tidak sejalan? Mengapa Tuhan tidak sekali-kali campur tangan guna mengatasi keputus asaan umatnya? Bukannya penulis tidak pernah mengalami masalah serupa, bertahun-tahun penulis mencoba mencari jawaban atas pertanyaan hati yang sedang resah dan pada akhirnya manusia dituntut untuk “berbesar hati” menerima semua kenyataan hidup.
Tuhan tidak menjanjikan hidup tanpa kesulitan, tawa tanpa kesedihan, tapi Dia menjanjikan kekuatan dikala kita lemah, resah dan sedih dan Dia juga memberikan cahaya dikala kita berbesar hati menerima kenyataan hidup. Tuhan pun juga tersenyum dari singgasananya, dan berkata “tenang sayang, itu hanyalah sebuah belokan, bukan akhir”.
Hidup dalam 3 masa (September 2011)
Kita hidup pada 1 waktu dalam 3 masa, yaitu
Kemarin adalah masa lalu dengan sejuta kenangan yang selalu terekam dalam pikiran kita, tanpa disadari kenangan masa lalu telah berenang hingga ke dalam jiwa dan raga kita. Kita sering terlena dalam bayang-bayang masa lalu, tak peduli pahit atau manis, akan tetap terekam dalam memori hingga kini, terlebih jika memiliki arti dan pesan yang mendalam. Namun hidup dalam bayangan masa lalu atau kemarin akan membuat manusia sulit untuk bisa berkembang maju, karena hati dan pikiran kita masih terbelenggu dangan masa lalu.
Kini, saat yang sedang kita jalani. Dengan hari dan waktu kita lalui rangkaian proses. Saat ini kita beraktifitas, berkerja, berkarir, belajar, mengukir prestasi dengan segala harapan untuk hari esok lebih baik dari hari ini. Hari ini juga kita belajar dengan sejuta pengalaman di masa lalu, yang tujuan akhirnya untuk masa depan. Sering kali kita mengeluh tentang hari ini, mengapa tidak seistimewa hari lalu? Karena masa lalu indah untuk dikenang, tidak indah untuk dijalani.
Esok atau masa depan adalah sebuah cita-cita, harapan untuk meraih keberhasilan dan kesuksesan. Taukah pembaca mengapa kaca depan mobil sangat besar dan kaca spion begitu kecil? Karena masa lalu kita tidak lebih berharga dari masa depan kita. Pandanglah hari esok dan masa depan, dengan berbekal pengalaman dan ilmu pengetahuan dari masa lalu dan hari ini.
Sahabat pembaca, dapatkah anda bayangkan jika kita memiliki kendaraan antar masa (red. mesin waktu). Mungkinkah kita mengaduk-aduk sejarah? Atau menciptakan sejarah? Atau saja, mengatur skenario masa depan? Lalu apa hikmahnya kita hidup? Jika kita bisa mengatur dimensi waktu?
Masa lalu adalah sejarah, masa depan adalah misterius, dan sekarang adalah realita. Akankah kita masih larut dalam kenangan masa lalu? Atau diam ditempat? Atau justru meraih cita di masa depan?
Benci tapi rindu (September 2011)
Dipenghujung akhir pekan saya tanpa sengaja bertemu dengan kawan lama, hampir 20 tahun kami tidak pernah bertemu, padahal kami tinggal satu kota. Hampir 10 menit kami habiskan waktu dengan obrolan kangen, dan tak lama kemudian munculah pendamping hidupnya yang tak lain adalah teman sepermainan kita dulu. Yang cukup membuat saya terkejut, mereka dulu tidak pernah akur, selalu saja ada permusuhan, tidak jelas bagaimana awalnya, tapi yang pasti ada rasa permusuhan diantara mereka. Saya pun mengungkit kenangan masa lalu kita, "koq bisa dulu kalian begitu membenci, dan sekarang malah menjadi pasangan hidup?", hanya senyuman lucu yang nampak dari wajah mereka.
Benci-benci tapi rindu. Sahabat, sering kali kita sebal, marah, benci pada seseorang yang terlalu berlebihan, sampai-sampai enggan bertegur sapa, apalagi berkawan. Tapi tahukah sahabat, benci dan rindu adalah sifat yang sangat dekat dengan keseharian kita, hadir dalam pikiran kita dan bersatu dengan kehidupan kita setiap saat.
Bedanya kebencian selalu dianalogikan dengan sifat negatif dan kerinduan dianalogikan dengan sifat positif. Namun kedua-duanya dapat saling bertukar tempat.
Kebencian yang kita ciptakan sangat dekat dengan kehidupan kita, tanpa disadari. Tiap hari kita memikirkan kebencian, tiap saat kita bermain dengan kebencian, tiap waktu kita utarakan kebencian. Jika satu hari saja kebencian tidak hadir, tentu kita mencari kemana kebencian itu. Tanpa disadari kebencian itu berubah menjadi kerinduan.
Dahulu, mereka saling membenci karena satu persoalan atau tanpa sebab, kini telah berbunga kerinduan dihati. Benci-benci tapi rindu.
Lucu memang jika mengingat kalimat yang terucap antara mereka,
"amit-amit deh aku ama dia..."
"...kalau aku ama dia jadian, akan kiamat dunia..."
"... gak mungkinlah aku ama dia bersatu..."
Ternyata kebencian telah menciptakan kerinduan di hati mereka, alam bawah sadar mereka telah menciptakan kerinduan dengan permusuhan. Saya jadi teringat pada sebuah pepatah yahudi kuno, "bertemanlah dengan kawanmu, tapi dekatlah dengan musuhmu"
Mengapa jembatan jiwa (Agustus 2011)
Luar biasa...
Begitulah kalimat yang terucap oleh saya, ketika menerima banyak komentar via email dari sahabat pembaca. Intinya menanyakan mengapa diberi judul jembatan jiwa? Ada juga yang menanyakan apa makna yang tersirat dari nama jembatan jiwa?
Saya menganalogikan bahwa dalam diri kita terdapat beberapa rasa dan bathin. Sebagai contoh, ketika manusia melakukan sebuah tindakan baik seperti ada yang membisikan bahkan memberi saran. Begitu pun dengan tindakan buruk, seolah ada yang membisikan ke kita "...jangan dilakukan..." atau jika kita melakukan kesalahan "...seandainya tidak dilakukan, tentu tidak begini...". Semua itu adalah bagian terkecil dari dalam batin dan jiwa kita mengenai sifat baik dan buruk. Manusia sendiri memiliki lebih dari 7 sifat dalam jiwa yang membisikan mengenai tindakan yang akan dan telah dilakukan.
Dalam diri manusia, kita tidak sendirian, ada banyak seseorang dalam jiwa yang selalu membisikan kita.
Jembatan adalah sarana penghubung antara dua atau lebih pada suatu dimensi dan tempat. Begitu pun dengan jembatan jiwa, media penghubung antara jiwa yang satu dengan jiwa yang lainnya, yang berada didalam diri kita. Jembatan jiwa sebuah renungan tentang kata hati saya, perasaan jiwa saya, pandangan mata saya dan pemikiran logik saya terhadap fenomena yang terjadi diantara manusia, yang sedang kita lalui.
Yang terbaik (Agustus 2011)
Seorang kawan sekaligus sahabat berpamitan pada saya beberapa waktu lalu, dalam pamitnya ia berkata singkat namun sangat bermakna. "Terima kasih selama ini telah menjadi teman sekaligus panutan hidup, aku minta maaf jika selama ini ada perbuatan dan perkataan yang tidak berkenan di hati mas. Aku mau pamit, aku keluar dari sini (red. perusahaan X, tempat kita berkarir)".
Terhentak saya mendengarnya, maklum saja, dia sosok yang gemar bercanda dan periang. Baru kali ini saya melihat keseriusan diwajahnya. Sulit dipercaya ia meninggalkan dunia dirgantara yang telah menjadi cita-citanya dan impian masa kecilnya. Rasa sedih pun berkecamuk diantara kita, seolah tak terbayangkan dengan rencana besar Tuhan apalagi yang tengah dipersiapkan untuknya.
Penyebab utamanya sederhana, keluarganya terlibat persaingan usaha yang positif dengan tempat dimana seoarang kawan saya bekerja. Sebut saja, si R bekerja pada maskapai X dan keluarga R ada andil besar dalam mendirikan usaha baru maskapai Y, yang mana saat ini berbeda segment. Apa sebenarnya yang dikhawatirkan oleh maskapai X ini sampai-sampai karyawannya (red. pilot) ikut menjadi korban ketidak adilan dari persaingan usaha dengan maskapai Y, yang mana notabennya ada andil dari keluarga si R.
Biarlah apa yang mereka (red. maskapai X) perbuat kepada karyawannya (red. pilot), hingga waktu yang akan membuktikan bahwa sebenarnya mereka telah melepas aset yang paling berharga. Mungkin diantara sahabat pembaca pernah mengalami hal seperti ini atau mendengar cerita ini atau kerabat sahabat penah mengalaminya.
Terkadang kita bertanya-tanya, mengapa kita atau dia (red. si R) harus ikut menanggung dari perlakuan pihak lain?
Sahabat pembaca, disadari atau tidak Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang besar kepada kita, jauh lebih berharga dari yang kita tinggalkan. Sering kali kita berpikir dan bertindak yang terbaik, namun sebenarnya bukan yang baik menurut Tuhan. Tuhan hanya meminta kita untuk sabar, sabar dan sabar... Percayalah, Tuhan tidak akan memberikan hal-hal yang sia-sia kepada umatnya. Hingga akhirnya buah dari kesabaran kita akan dipetik dengan kebahagiaan kita dan Tuhan.
Sahabat, semua akan terasa sangat indah pada waktunya...
Koin numismatik (Agustus 2011)
Pernahkan pembaca menyetor uang koin ke bank?
Sampai saat ini koin masih merupakan alat pembayaran yang sah dan masih dapat digunakan untuk transaksi. Seiring dengan bertambahnya nilai nominal mata uang, koin seakan tergusurkan keberadaannya dengan uang kertas. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti bangsa ini hanya mengenal koin lewat catatan sejarah, tanpa pernah memiliki lagi uang koin di masa depan.
Koin logam yang memiliki nilai intrinsik lebih tinggi dari pada uang kertas, membuat tingginya harga produksi yang berimbas pada nilai nominal mata uang tersebut. Dari segi bahan baku, koin telah mengalami penurunan kualitas dari masa ke masa. Sebut saja, dahulu kita memiliki uang logam yang besar dan berat, terbuat dari nikel diera 1973 dan 1978. Kemudian di era 1980 hingga 1999 masih banyak dijumpai koin berbahan baku tembaga dan kuningan. Bangsa ini juga pernah memiliki koin bimetal (red. copper nickel) pada pecahan nominal 1000 rupiah di era tahun 1993 hingga 2000 produksi terakhirnya.
Namun setelah tahun 2003 hingga kini (red. 2011) koin hanya diproduksi menggunakan bahan baku alumunium, sama persis ketika di era 1952 hingga 1970, yang dulu kita mengenalnya sebagai uang sen.
Terlepas dari bahan baku utama pembuatan sebuah koin, yang merupakan lambang dari mata uang sebuah bangsa. Koin juga memiliki nilai intrinsik pada setiap nilai nominal yang tertera pada uang tersebut.
Tanpa disadari banyak diantara kita yang menyimpan dan menimbun uang koin, entah karena sebab dan alasan apa, seolah menjadi budaya. Lain lagi bagi sebagian kalangan pencinta uang kuno (baca. numismatik), sangat antusias mengumpulkan koin dan uang kertas, apalagi jika grading (red. kondisi) belum tersirkulasi. Dalam hal investasi tanpa rencana, koin lebih mendapat tempat untuk dikoleksi, disimpan dan ditimbun tanpa rencana. Hal ini disebabkan karena nilai nominalnya tidaklah sebesar nilai nominal pada uang kertas.
Lama-lama menjadi bukit, koin yang dikumpulkan sekeping demi sekeping telah menjadi gunung di dalam toples.
Awalnya hanya cukup beli 1 permen, namun kini bisa membeli 1 dus. Begitu pun dengan saya, yang hobi mengumpulkan uang koin pecahan 500 rupiah berwana kuning dan bergambar bunga melati. Tanpa disadari telah mencapai lebih 2200 keping, tergerak hati saya untuk menyetor koin koleksi saya ke bank yang memang pada saat ini (red. 2011) pecahan nominal 500 rupiah masih sah sebagai alat pembayaran dan transaksi. Namun apa yang mau dikata, kumpulan koin yang telah saya satukan dalam wadah plastik (baca. plastik es yang berbentuk lonjong) menjadi kelipatan. Tiap perseratus keping, ternyata tidak diterima oleh bank (baca. bank milik pemerintah). Dengan alasan teller tidak menerima pecahan dalam bentuk koin. Cukup mengelitik, bank yang merupakan salah satu pendistribusian uang dan penyimpanan uang ternyata tidak melayani setoran dalam bentuk uang logam (red. koin).
Saya dapat memaklumi jika yang menolak setoran uang logam adalah bank swasta, namun justru terjadi pada bank pemerintah (baca. saya juga telah mencoba 2 bank terbesar milik pemerintah). Hingga akhirnya saya pun memutar akal dengan menukarkan pada lembaga keuangan non bank, dan hasilnya mujarab. Saya mendapatkan 13 lembar uang bergambar Soekarno-Hatta dan 2 lembar uang bergambar Otto iskandardinata.
Saya sempat berpikir, bagaimanakah jika para juru parkir ingin menyetorkan uang logam yang diperolehnya? Kernet bis kota dan angkot? Atau pompa bensin? Untuk yang terakhir saya tidak terlalu khawatir, umumnya mereka punya deal khusus dengan pihak bank terkait.
Lucu sekali, Jika memang keberadaan koin atau uang logam hanyalah sebagai pelengkap penderita, alangkah bijaknya jika diganti dengan uang kertas, walaupun nilai intrinsiknya sama dengan nilai nominalnya.
Pemerintah juga menggalakan program gemar menabung sejak usia dini. Berapa pun nilai uang, menabung untuk masa depan dan pembangunan. Menabung uang tidak dimulai dengan nominal yang besar, tapi justru dengan nominal yang kecil.
Tidak akan jadi uang 1 milyar rupiah, jika masih kurang 1 keping uang 100 rupiah
Pak pos (Agustus 2011)
Menjelang hari raya keagamaan, tentu merupakan moment yang indah dan tepat untuk mempererat tali silahturahmi. Beberapa hari sebelum hari raya, selalu diawali dengan kegiatan korespondensi (red. kirim kartu ucapan) via pos, entah itu ucapan selamat ied, natal, tahun baru, waisak, gulungan, imlek, dll.
Seiring bergantinya jaman dan tahun, era pos sekarang seolah telah tergantikan dengan era digital.
Lamunan saya pun terbang melayang ke-28 tahun yang lalu, ketika masih trend dengan surat menyurat, berkorespondensi ria. Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, kala itu salah satu majalah anak-anak sering memuat rubik surat menyurat dari berbagai belahan nusantara. Saat yang tak pernah saya lupakan, ketika itu salah satu surat saya dimuat oleh majalah tersebut kepada salah seorang korespondesi lain yang sebelumnya tidak saya kenal. Hingga kini pun saya masih berkomunikasi, namun dengan media yang berbeda, bbm (red. blackberry massenger).
Bukan salah teknologi dan era yang menggubahnya, semua yang ada didunia tidak ada yang abadi. Jaya pada era dan masa keemasannya tetap akan tergusur dengan inovasi yang lebih cepat, murah, dan canggih.
Ucapan selamat yang dahulu masih populer dengan surat-menyurat, telegram, telex, sekarang telah berganti dengan sms, mms, bbm, e-mail, facebook, twitter. Saya pun ikut merasakan dimana masa-masa peralihan dari jaman analog ke digital, diakui terasa sangat praktis dan cepat.
Namun, ada rasa yang mengusik pikiran saya, yaitu tugas pengantar surat (red.pak pos). Beliaulah yang selama ini berjasa menyampaikan pesan ke segala penjuruh nusantara, dan juga dunia. Dari beberapa tulisan para pemerhati pos dan surat kabar yang saya baca, minat korespondensi telah menurun sebesar 65% hingga dipertengahan tahun 2011 ini. Umumnya mereka lebih memilih komunikasi media digital, ketimbang analog (red. surat-menyurat). Hal ini disebabkan karena murah dan praktis.
Lalu, bagaimana dengan nasib dan masa depan para pengantar pos? Yang telah mengabdi lebih dari puluhan tahun dan mampu menghidupi keluarganya dengan jasa pengantar surat? Atau dialihkan tugas dan profesi ke bidang lain? Mungkin saja cocok atau justru menjadi bumerang. Tetapi tahukah anda bahwa mereka (umumnya) para pengantar pos itu telah berusia baya, yang rata-rata pengabdian mereka diatas 20 tahun dan mereka sendiri telah berusia diatas 45 tahun, sungguh bukanlah usia yang produktif untuk pengalihan profesi dan meningkatkan produktifitasnya.
Kembali ke kenagan masa lalu saya tentang para pengantar surat, tugas yang mulia, yang hampir punah ditelan zaman. Sempat teringat, ketika dulu, setiap bunyi "kring... Kring..." Pada siang hari, langsung meluncur keluar rumah, menantikan surat istimewa. Layaknya budaya bangsa ini, dengan berbasa basi (red. berbincang-bincang) dengan pengantar pos, hingga saya mengenalnya dekat seperti bagian dari kehidupan masa lalu saya. Dari sapaan terima kasih hingga obrolan ringan, mewarnai era keemasan pos surat.
Saya pun juga terkenang dahulu, ketika berkenalan dengan seorang gadis pujaan. Suratlah alat memperdekat hubungan, bukan sms, bbm, atau facebook seperti kini. Sampai-sampai ahmad dhani pun menorehkan karya emasnya lewat lirik sebuah lagu,
"kuterima suratmu. Tlah kubaca. Dan aku mengerti..."
Kenangan masa lalu bersama pak pos telah merekamkan memori otak saya akan besarnya jasanya. Entah apa yang akan terjadi seandainya tidak ada pak pos? Komunikasi akan lumpuh.
Saya pun sempat berpikir jauh kedepan, apakah nanti setelah berpuluh-puluh tahun kemudian akan hilang sebuah profesi pengantar pos surat? Atau mungkinkah bangsa ini hanya merekam catatan sejarah lewat beragam buku cerita dan pelajaran bahwa dahulu ada suatu profesi yang mulia, pak pos.
Merdeka milik siapa? (Agustus 2011)
Dirgahayu Republik Indonesia
66 tahun sudah kita lalui kemerdekaan, dengan semangat 45 proklamasi dikumandangkan oleh pendiri bangsa. Seluruh pelosok nusantara pun ikut larut dalam suka cita, tak terkecuali para penerus bangsa yang kala itu belum lahir. Melalui semangat sang ibu, janin dalam kandungan terbentuk dengan semangat nasionalisme.
Semua orang menginginkan kemerdekaan yang seutuhnya, begitu pun juga sebuah bangsa yang ingin lepas dari belengu penjajahan dan penindasan. Melalui perjuangan kontak fisik, pertempuran, hingga diplomasi dilakukan agar bangsa ini segera terbebas dari penjajahan dan dapat meneruskan pembangunan.
Namun, apa yang terjadi kini masih banyak yang tidak merasakan kemerdekaan yang seutuhnya. Saya pun sering bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya kemerdekaan ini milik siapa?
Milik bangsa dan seluruh rakyat Indonesia kah? Nyatanya masih banyak rakyat yang hidup di garis kemiskinan dan kemelaratan yang hingga kini mereka berusaha terbebas dari penjajahan kemiskinan. Belum lagi para tahanan politik yang era tahun 65 dituduh oleh penguasa saat itu, terlibat secara langsung atau tidak langsung dengan organisasi komunis (red. PKI), hingga kini mereka masih bersembunyi di luar negeri dan takut untuk kembali ke tanah air.
Banyaknya para veteran pejuang bangsa yang terisolir dari kehidupan layak, ditanah ibu pertiwi mereka diusir, tanah kelahiran dijual untuk kepentingan kaum kapitalis, mereka merana dalam belengu kemiskinan, tanpa atap, tanpa perlindungan. Jasa dan pengabdiannya telah digadaikan untuk kaum kapitalis.
Para veteran pejuang bangsa yang kini telah lanjut usia, masih semangat mencari kemerdekaannya. Dahulu mereka bertempur untuk mencari hak kemerdekaan dari penjajah, namun kini diusia lanjut mereka masih bertempur melawan kemiskinan dan mencari hak keadilan dari pemerintah.
Mereka belum merdeka...
Kemerdekaan telah dirampas...
Dipenghujung usia...
Mereka tengah berjuang melawan belenggu ketidakadilan...
Sebenarnya merdeka kini milik siapa?
Lain lagi dengan aset dan kekayaan alam milik bangsa, yang hingga kini masih terus di keruk isinya untuk kepentingan bangsa lain. sebut saja tambang emas di Papua, tambang timah di bangka, minyak bumi di kalimantan, gas alam di sumatera, siapa yang menikmati hasilnya? Belum lagi aset-aset milik bangsa berupa badan usaha milik negara, yang milai berpindah kepemilikannya.
Setiap tahun bangsa ini memperingati kemerdekaan?
Setiap tahun usia bangsa bertambah, dan setiap tahun pula bangsa ini telah kehilangan aset bangsa, hasil bumi, dan kehormatan. Sebenarnya kemerdekaan ini milik siapa? Atau hanya sebuah status pengakuan kepada dunia bahwa bangsa ini telah merdeka, namun kenyataan didalamnya masih dijajah oleh bangsa lain?
Bangsa ini masih terjajah, kemerdekaan terasa sangat jauh...
Kado terindah (Agustus 2011)
Ada yang istimewa bagi diri saya setiap memasuki bulan agustus. Tidak seperti bulan-bulan biasanya, bulan agustus saya beserta keluarga kecil saya selalu merenungkan dan mensyukuri atas hadirnya putri semata wayang ke dunia. Bukan hal yang sederhana, penuh perjalanan yang panjang dan kesabaran untuk menantikan hadirnya dirinya di dalam kehidupan kami.
Bertambah usianya diiringi oleh sifat dan keinginan anak-anak seusianya. Kado yang istimewa, kado yang terbungkus rapih dan indah, dengan balutan pita dan hiasan kartu ucapan seakan mempertegas kesempurnaan kado ulang tahun untuk putri tercinta.
Wajar saja, untuk anak seusianya (red. 4 tahun) menginginkan sesuatu yang baru, sesuatu yang berarti, suatu tanda bahwa usianya telah bertambah, sesuatu yang spesial. Saya rasa merupakan hal yang wajar bagi setiap orang tua, merayakan ulang tahun anaknya.
Pikiran saya melayang jauh ketika 4 tahun yang lalu, saat itu kami tengah menantikan hadirnya ke dunia. Perjuangan yang berat bagi seorang ibu untuk dapat bertahan antara hidup dan mati, selama 9 bulan menjaga dan merawat bayi dalam kandungan. Kini, tiba saatnya bagi bayi dalam kandungan untuk menyapa dunia.
Raut wajah dan emosional kami bercampur aduk menjelang kelahiran putri semata wayang kami. Saya pun mendampingi istri pada saat melahirkan. Karena sesuatu hal, proses persalinan harus dilanjutkan dengan operasi cesar. saya juga menyiapkan diri untuk mengabadikan peristiwa tersebut dalam bentuk foto dan gambar bergerak.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana proses dari kulit perut diiris, hingga rahim dibedah, saat air ketuban di pecah dan dikeluarkan kepala putri saya hingga seluruh tubuhnya yang masih bercampur darah dan lendir air ketuban. Ada seongok daging merah bernama plasenta dan tali pusar dipisahkan dari bagian tubuh sang ibu, yang konon selama 9 bulan merupakan tempat menyimpan makan dan teman hidup bayi selama dalam kandungan. Sungguh tidak ringan perjalanan dan perngorbanan untuk menjadi seorang IBU.
Saya diberi kesempatan yang luar biasa, untuk memotong tali pusar/ari-ari putri saya dan mengazankannya. Seolah seperti pekerjaan yang sederhana, namun tidaklah semudah teorinya.
Setelah saya mengantar bayi mungil ke ruangan, saya masih sempat menemui ibunya yang tengah dirapikan perut dan rahimnya. Tak ada kalimat perkataan, hanya senyuman bahagia diwajahnya. Meskipun dalam keadaan sadar dan bahagia, saya sadar betul bahwa kondisinya sangat lelah. Setelah melalui proses dimana nyawa ibu dan anak menjadi pertaruhan hidup. Dalam keadaan seperti itu, sang ibu masih sempat menanyakan keadaan bayi mungil kami dan saya, tanpa pernah memperlihatkan rasa lelahnya dan kondisi fisiknya. Naluri seorang ibu....
Ucapan selamat kepada kami mengalir bak air dari pengunungan ke muaranya.
Dalam keadaan lelah, kami lalui hari-hari kedepan dengan penuh suka cita. Tak terasa, telah kami lalui bersama, dan kini bayi mungil itu telah bersekolah, bernyanyi, membaca, menulis, meminta perayaan ulang tahun. Lamunan saya masih terbang jauh, ketika ia belum beranjak 1 tahun. Sebuah kata pertama yang terucap, diiringi senyumannya,"abuk" (red. ibu). Genap 1 tahun, kami pun dikagetkan dengan hentakan langkah kakinya, silih berganti menghampiri kami dimana pun berada.
Proses perjalanan hidup anak manusia menuju kedewasaan. Terkadang saya masih tak percaya, bayi mungil itu kini sudah menjadi anak-anak, sebentar lagi remaja, wanita, dan menjadi ibu. Dan kami, menjadi eyang... Ah, rasanya lamunan saya terlalu terbang tinggi jauh.
Yang pasti dari proses kelahiran anak manusia adalah,
"Janganlah berpikir, bahwa kado yang paling indah akan dibungkus pula dengan kertas kado dan pita yang indah"
Ayo sekolah (Agustus 2011)
Apa yang terjadi setiap pertengahan tahun? susahnya mencari sekolah tidak hanya dirasakan oleh calon siswa, tetapi juga para orang tua. Bagaimana tidak, jumlah sekolah tiap tahunnya cenderung stabil pertumbuhan keberadaan sekolah baru atau lama. Sedangkan jumlah siswa dan calon siswa mengalami kenaikan sebesar 30% tiap tahunnya.
Belum lagi sekolah yang tidak masuk kategori layak. Dalam hal "layak" masih banyak sekolah yang minimum prasarana dan terancam roboh/ambruk. Bahkan ada juga sekolah yang harus gulung tikar, akibat status hukum, baik sengketa lahan hingga legalitasnya.
Sungguh ironis sekali, sekolah tempat mendidik dan menciptakan generasi berkualitas masa depan justru harus berbagi, bahkan kalah dengan bangunan yang bersifat komersial dan bisnis. Beberapa kota besar sekelas metropolitan hingga megapolitan tentu tidak akan masalah dengan ketersediaan sekolah.
Dari yang berkualitas hingga asal lulus syukur.
Dari yang terakreditasi hingga kejar paket.
Dari yang internasional hingga lokal.
Namun, bagaimana dengan didaerah? Sejauh mana kesiapan dan ketersediaan sekolah lanjutan atau sekolah penerus dari sekolah sebelumnya? Dari berbagai sumber media cetak dan tulisan para pakar, mahalnya biaya pendidikan dan kepedulian masyarakat tentang pentingnya pendidikan masih rendah menjadi penyebab utamanya. Selain terbatasnya jumlah pengajar yang bersedia ditempatkan di daerah.
Saya hanya mengacu pada 2 masalah yang tertulis diatas,
• Biaya
Program bea siswa dan sponsorship telah dicanangkan serius oleh pemerintah sejak era orde baru. Swasta pun ikut berperan aktif dalam usaha mencerdaskan bangsa. Program bea siswa dan sponsorship tidak hanya berlaku untuk pendidikan formal saja, non formal hingga kejuruan tak luput dari tangan-tangan trampil pemerintah dan swasta. Namun dibalik itu semua, hanya berlaku untuk mereka yang beruntung dan terpilih. Bagaimana dengan mereka yang tidak beruntung? Apakah mereka bodoh dan tidak layak untuk memperoleh bea siswa? Atau pemberian sponsorship hanya menimbulkan mubajir?
Semua manusia di dunia berhak untuk mengenyam pendidikan. Hanya saja pemberi bea siswa dan sponsorship mencari calon penerima yang "best of the best" dan bersedia menjalani ikatan dinas bagi pemberi bea siswa dan sponsorship yang tidak sebentar. Disinilah para calon penerima bea siswa biasanya enggan diikat begitu lama dan cenderung seenaknya sendiri. Sudah disekolahkan, tapi tidak mau mengabdi dalam jangka waktu lama.
Antara minat dan keinginan membuat calon penerima bea siswa dan sponsorship kebingungan dan tidak bisa memilih.
• Kepedulian pentingnya pendidikan
Masih banyak masyarakat yang kurang dan tidak peduli terhadap pendidikan. Sebagai ilustrasi sederhana, mereka lebih memilih bekerja daripada meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Program sekolah 9 tahun telah dijalankan, namun setelah lewat 9 tahun mereka kembali ke dunia kerja. Hanya bermodal pendidikan 9 tahun (red. lulusan SMP) nekat bertarung hidup di kota megapolitan, tanpa pernah memepersiapkan keahlian. Iming-iming lulus sekolah langsung menerima penghasilan dari berkerja membuat tekat para pemuda menjadi nekat. Menginginkan segala sesuatu yang serba instant tanpa pernah melewati proses. Jika sudah begini, tingkat pendidikan secara nasional akan menurun. Dan nantinya akan berdampak langsung pada kualitas dan produktif masyarakat pada negara ini.
Cukup menarik para tenaga pendidik dan para pahlawan tanpa tanda jasa, memberikan sumbangsihnya untuk mencerdaskan bangsa. Mereka juga berperan besar dalam memberantas buta huruf, namun mereka pula terkadang juga memiliki sifat bosan dan jenuh. Tidak sedikit yang tidak mendapat perhatian langsung dari pemerintah, minimumnya penghargaan, kehidupan yang seperti jalan ditempat membuat kaum intelektual lebih memilih mencerdaskan bangsa di negara orang, bahkan melanjutkan kehidupan yang jauh lebih baik, penuh dedikasi dan penghargaan. Tanpa dedikasi, tanpa perhatian, tanpa loyalitas, tanpa penghargaan mereka mengabdi pada bangsa yang acuh.
Sangat kontras jika kita melihat daerah terpencil yang kekurangan tenaga pendidik, bahkan untuk bersekolah, para siswanya rela berjalan menyusuri sungai, sabana, dengan jarak yang tak dekat. Semua itu demi pendidikan.
Adalah hak semua manusia untuk menerima dan menuntut pendidikan yang lebih baik, lebih manusiawi, dan tenaga pendidik yang berkualitas. Tidak hanya datang, absen, memberi tugas, dan pulang.
Hak penyetaraan yang baik, penghargaan atas dedikasi, serta kepedulian pemerintah terhadap kaum intelektual pendidik harus diubah dan ditinggkatkan. Jika tak ingin kaum pencerdaskan bangsa diambil oleh negara lain. Bangsa ini sering sekali kecolongan dalam hal start yang bersifat positif, tapi selalu curi start untuk hal yang negatif.
Sering saya bertanya dalam hati,
Apakah negara memang sudah tidak membutuhkan lagi kaum cerdas, atau justru kaum yang penurut lebih mendapatkan tempat terhormat dari kaum intelektual? Sehingga dapat diperintah tanpa bertanya sebab akibat.
Pulau sampah (Juli 2011)
Mengisi liburan dengan membaca merupakan hal yang paling menyenangkan, belum lagi diwarnai celoteh anak yang beranjak TK. Rasanya tak pernah habis dan bosan membaca kumpulan buku-buku di rak saya. Buku tentang sejarah kota batavia, salah satunya yang sedang saya baca lagi.
Saya jadi teringat kenangan beberapa tahun yang lalu, ketika saya dan mantan pacar mengitari kota tua bersama salah satu komunitas sejarah jakarta. Selain berbagi ilmu pengetahuan, kami pun juga dimanjakan gambaran sejarah masa lalu.
Kami juga menyusuri sungai yang terkenal di Jakarta, Ciliwung. Dengan beberapa perahu karet yang disewa oleh salah satu komunitas sejarah Jakarta, hingga bermuara di pesisir pantai dan teluk Jakarta. Yang konon dulu merupakan pusat perdagangan kerajaan sunda dengan ibukota di Pakuan Padjajaran (red. sekarang bernama Bogor) dengan pelabuhan kapal yang ramai. Cikal bakal dinamai sunda kalapa.
Selama perjalanan menyelusuri sungai Ciliwung, tampak banyak sekali pemandangan yang menakjubkan. Bagaimana tidak, 4 abad yang lalu sungai ciliwung merupakan jalur perdagangan untuk membawa sandang pangan telah menjadi TPA (red. tempat pembuangan sampah akhir). Selang sekitar 3/4 jam, kami pun bermuara di teluk jakarta. Tak sampai disitu kekaguman kami akan hilangnya fungsi dari sungai dan laut. Sampah menjadi pemandangan yang luar biasa seakan tak mau kalah dengan dataran tanah. Kian jauh kami menyusuri teluk jakarta, kian banyak pula kami melihat tumpukan sampah yang seolah telah menjadi sebuah pulau.
Belum lagi sungai merupakan tempat bertemunya kegiatan harian penduduk kota. Sebut saja, mencuci pakaian, mandi, gosok gigi, cuci piring,mandi, membuang kotoran manusia, hiburan wisata air bagi anak-anak sekitar, dan TPA. Sungai yang seyogyanya dapat menjadi pelangi di tengah kota telah berubah fungsi dan manfaatnya.
Saya berpikir dalam hati, mungkin suatu saat nanti entah berapa tahun, windu, dekade. Jakarta tidak lagi berdiri diatas tanah yang subur, melainkan tumpukan sampah dan kotoran.
Beberapa negara maju, sebut saja daerah odaiba, Tokyo. Juga merupakan daerah teluk yang didirikan diatas tumpukan sampah (red. pantai reklamasi). Lalu apa yang membedakan dengan pulau sampah di jakarta?
Adalah kepedulian untuk membangun daerah reklamasi secara serius. Bukan sekedar sembarangan membuang sampah di sungai tanpa tanggung jawab. Yang akhirnya banjir musimanlah yang menghiasi kota jakarta.
Ada sebuah pribahasa yang mengatakan,
Kebersihan adalah sebagian dari iman. Lalu, dimanakah letak iman mereka?
JakartaJakarta (Juli 2011)
Usia menunjukan kedewasaan seseorang, semakin bertambah usia umumnya disertai pula tingkat kemapanan seseorang. Tidak hanya manusia, sebuah kota pun juga memiliki usia dan tingkat kemapanan. Jakarta misalnya, yang pada tahun 2011 menginjak usia 484 tahun. Atau surabaya yang telah berusia 718 tahun, atau aceh yang berusia 806 tahun. Rasanya usia jakarta masih belia, ibarat trend bahasa anak muda Jakarta ABG.
Layaknya ABG yang baru menginjak sweet seventeen, ingin mencoba hal baru, berpetualang, lepas-bebas. Dibandingkan dengan saudaranya, Jakarta seolah telah lelah menanggung beban, banyak pikiran yang tak terselesaikan, padahal usianya masih ABG dibandingkan dengan Palembang.
Beberapa waktu lalu saya mengunjungi kota tertua di Indonesia yang telah berusia 1328 tahun, Palembang. Seolah seperti awet muda, tertata rapi, bersih. Sejauh mata memandang tampak jelas keseimbangan harmonisasi alam, manusia dan perkotaan. Begitu pun dengan Surabaya yang baru-baru ini menyabet kota terbersih dan rapi se-Indonesia. Aceh juga tak mau kalah, setelah porak-poranda akibat bencana tsunami. Aceh langsung bebenah diri dan segera menunjukan tingkat kedewasaanya. Kurang dari 10 tahun, Aceh menyihir semua pelancong mancanegara untuk mengagumi kemapanan dengan pesona serambi mekkahnya.
Rasanya tak akan habis menceritakan pesona kota-kota di Indonesia dan alamnya. Palembang, Surabaya, Aceh merupakan kota yang usianya jauh diatas Jakarta. Makassar, Pontianak, Denpasar, Balikpapan, Medan memang usianya jauh lebih muda dari Jakarta. Namun dalam kemudaannya telah siap dan bebenah diri untuk menjelma sebuah kekuatan bisnis dan industri baru. Bukan tidak mungkin, kurun waktu 1 dekade kota-kota tersebut dapat menggantikan posisi Jakarta sebagai megapolitan atau ibu dari para kota.
Jakarta menyimpan sejuta pesona semu.
Dari pusat perbelanjaan, bangunan megah, museum, tempat wisata.
Jakarta menghadirkan khayalan 1001 impian.
Menjanjikan kehidupan yang lebih baik, lapangan pekerjaan, masa depan.
Tapi, dibalik itu semua...
Jakarta juga memberikan beban bagi warganya.
Stress, penyakit workaholic, kurangnya waktu 24 jam/ hari, kemacetan, banjir tahunan, polusi, kriminalitas.
Disisi lain tetap saja banyak orang dari daerah/desa yang ingin mengadu nasib di jakarta. Berbagai cara pun dilakukan demi sebuah pepatah lama "akan kutaklukan jakarta". Berbekal modal nekat, para pemburu mimpi pun hijrah ke jakarta.
Yang pada akhirnya hanya beberapa saja yang dapat bertahan di jakarta. Mereka yang kalah dalam pertarungan nasib, sudah enggan untuk kembali ke daerah/desa asalnya, mungkin saja telah habis modal atau terkena penyakit malu. Hingga akhirnya mereka pun ikut menghias sudut kumuh kota jakarta.
Lain halnya bagi yang beruntung memenangi pertarungan di jakarta. Kehidupan mewah serasa dalam gengaman. Setiap akhir tahun, mereka bercerita pada sanak saudaranya tentang bagaimana ia menaklukan jakarta. Menghadirkan mimpi dalam tidurnya.
Jakarta, sungguh unik...
Perbedaan jurang antara kaya dan miskin sangat kontras. Memperoleh keberhasilan dengan cara halal dan haram sangat tipis bedanya. Bangunan megah berdiri kokoh, sementara museum pencatat sejarah dibiarkan runtuh. Pusat perbelanjaan menjamur di seantero jakarta, dibelakangnya tampak sekolah negeri terancam roboh dan di gusur. Sungai dan taman yang seyogyanya sebagai paru-paru kota telah berganti, menjadi surga firdaus bernama apartment. Belum lagi masalah sampah dan gas buang kendaraan yang bau harumnya telah bersatu dengan O2.
Mungkin saja Jakarta telah lelah, masalah yang tiap tahun selalu berulang dan tak kunjung selesai. Wacana pemindahan ibukota pernah menghiasi kolom surat kabar. Pemindahan pusat bisnis dan industri juga pernah menjadi headline surat kabar. Akan tetapi semua hanya isapan jempol.
Jakarta... Jakarta...
Kalau sudah begini, siapa suruh datang ke jakarta? Jakarta masih belum dewasa, masih ABG labil yang perlu pembinaan. Bertambahnya usia hanya menghadirkan masalah baru.
Fatwa (Juli 2011)
Sejarah telah mencatat perjalanan bangsa ini, yang akan menjadikan lembaran sejarah. Satu dekade setelah era reformasi bergulir, bangsa ini mengalami perjalanan yang pincang. Antara pemimpin dan rakyat yang tidak pernah sejalan, agama pun dijual untuk kepentingan politik dan pencitraan.
Agama yang seyogyanya menjadikan manusia tempat berlindung, penuntun kehidupan, malah menjadikan kebimbangan. Lembaga tinggi agama di negara ini (red. MUI) dengan mudahnya mengharamkan yang halal, dengan jurus aji pamungkas bernama "fatwa haram".
Sejarah juga pernah mencatat, fatwa haram yang konyol. Mulai dari foto pranikah, ke salon, menghias kuku (red. manicure), pasang bahel, merayakan tahun baru dan yang paling fenomenal membeli premium. Untuk yang terakhir campur tanggan pemerintah lebih dominan ketimbang fatwa para ulama. Mengharamkan bagi orang kaya untuk beli premium (red. bensin bersubsidi)
Yang menjadi pertanyaan saya, mungkin juga mayoritas penduduk negri ini adalah,
• Ukuran dan batasan kaya seperti apa? Apakah setiap yang memiliki mobil keluaran terbaru
(baca. Produksi > 5th) adalah kaya? Bagaimana dengan mobil antik yang produksinya terbatas didunia?
• Haram bagi penganut agama muslim (red. islam), lalu bagaimana dengan penganut agama non islam?
Masyarakat kristiani juga banyak penganutnya di negeri ini! Apakah juga berlaku haram?
• Banyak agama juga mengajarkan bahwa mencuri (red. korupsi) adalah perbuatan yang diharamkan.
Lalu mengapa begitu banyak korupsi masal di negeri ini? Yang justru dilakukan oleh para pemimpin terhormat
yang paham betul tentang makna haram.
Fatwa, mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram? Sering saya bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka tahu bagaimana kisah turunnya QS. At Tahriim 1?
Mereka punya alasan (Juni 2011)
Sahabat, sebelumnya saya mohon maaf jika tulisan kali ini mengandung unsur sadis dan tidak layak untuk dibaca. Sebenarnya kejadian ini sudah cukup lama menghantui perasaan saya, tentang apa yang saya saksikan, rasanya ingin sekali saya tuangkan dalam tulisan agar menjadi bahan renungan buat kita.
Saya pun sadar jika kemudian hari timbul pro dan kontra. Tapi inilah bagian dari perjalanan saya tentang apa yang pernah saya saksikan.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk bocah kecil 10 tahun yang lalu, yang hidup dalam dunia penuh ketidakadilan.
--oOo--
Dalam perjalanan pulang kerja bersama seorang kawan yang tadinya penuh suka ria harus diakhiri dengan pemandangan yang sungguh menegangkan.
Bagaimana tidak, kami didalam kendaraan menyaksikan seorang yang sudah berumur (rasanya lebih pantas disebut seorang ayah) yang tengah diburu oleh segerombolan warga. Entah apa penyebabnya, namun saya sempat terdengar teriak warga "maling...". Semua kendaraan yang melintasi jalan umum (red. jalan yang dapat dilintasi oleh dua kendaraan lawan arah) terhenti. Yang membuat saya miris adalah semua warga yang memburunya membekali diri dengan senjata tajam (red. golok, parang, pedang katana). Entah apa yang ada dipikiran mereka? Ingin menghabisi nyawanyakah atau ingin menangkapnya?
Saya sangat mengucapkan rasa syukur, setelah buronannya dapat melarikan diri dengan tangan hampa (baca. dia tidak dapat hasil curiannya dan lolos dari kematian). Mengapa saya membela "si buronan?"
Mereka punya alasan untuk mencuri., tapi mereka tidak punya alasan untuk dihakimi masal secara brutal. Dia bersalah karena mencuri, tapi gerombolan warga lebih berdosa dan bersalah karena membunuh dengan berencana.
Saya jadi teringat kisah pada tahun 2001, mungkin juga 2002. Bulannya saya telah lupa, yang pasti ketika itu saya masih kuliah tingkat akhir semester 8. Sore hari di gelora bung karno, saya bersama teman-teman tengah berolahraga, ketika itu kami melihat segerombolan orang yang ramai sekali. Kami pun tergerak untuk mendekat, ada apa gerangan yang terjadi? Dalam langkah kaki yang tengah bergerak cepat, saya terdengar suara "maling..." dan "hajar... hajar..." terus terdengar berulang kali. Dalam hitungan kurang dari semenit, kami pun telah berada di kerumunan paling belakang, sungguh suatu pemandangan yang jauh dari rasa kemanusiaan. Ingin sekali saya melerainya, tapi apa daya. Saya hanya berharap agar aparat keamanan segera datang.
Tak sedikit dari yang menyaksikan adegan penghakiman masal yang meminta untuk menyudahi kekerasan tersebut, terutama dari kaum wanita. Lebih mengherankan lagi, tak tampak satu pun batang hidung aparat keamanan gelora bung karno, baik itu satpam maupun polisi. Tersangka pencurian tampak lemas dan hampir mati, wajah dan tubuhnya sudah tidak berbentuk manusia lagi, darah telah menyatu dengan tanah. Sementara tangan dan kaki pun terikat dibatang pohon.
Ada seorang lelaki paruh baya yang hendak melepaskan ikatan ditangan dan saat itu juga, entah darimana datangnya suara seperti mengkomando para jagoan jalanan "habisin...". Sulit untuk saya ceritakan dengan kata-kata, namun apa yang saya lihat sudah cukup menghantui perasaan saya selama bertahun-tahun, tak ada yang bisa saya lakukan ketika itu. Hanya satu yang terucap dari bibir saya, "sudahlah... Lepaskan saja!"
Tak beberapa lama aparat keamanan gelora bung karno-senayan datang bersama beberapa polisi dengan mobil patrolinya. Namun sayang, pencuri naas itu telah tak bernyawa. jasadnya pun dibawa ke mobil bak terbuka dengan ditutupi beberapa lembar koran bekas. Ada satu adegan yang membuat segerombolan masa tercengang. Seorang anak kecil (red. perempuan) mengikuti naik ke mobil patroli, umurnya kira-kira 6 sampai 8 tahun. Tubuhnya pun lunglai, isak air mata seolah tak habis-habisnya. Seorang polisi menghampiri bocah itu, yang kebetulan berdekatan dengan posisi berdiri saya. Beliau menuturkan bahwa pencuri itu adalah ayahnya. Spontan masa yang berada disekitar kejadian riuh, saling menyalahkan akan tindak kekerasan. Tak ada saksi yang ikut serta dalam mobil patroli itu, begitu pun juga para pencabut nyawa.
Tak ada yang bisa saya perbuat, seharusnya kami yang berada disitu bisa mencegah terjadinya brutalisme, namun amuk masa berjumlah sangat banyak sehingga kami pun sangat ketakutan.
Polisi pun membawa bocah kecil itu berserta barang bukti yang dicuri, yaitu handphone. Ya Allah... hanya sebuah telepon genggam manusia rela menghilangkan nyawa. Bagaimana dengan korupsi yang memakan uang rakyat? Mengapa tidak diadili secara masal?
Sahabat pembaca, sulit rasanya melihat kejadian itu dan lebih sulit lagi menghapus peristiwa 10 tahun lalu. Sahabat, dapatkah anda bayangkan jika anda yang diposisi bocah kecil itu? Menyaksikan ayahnya tewas secara brutal dan anda tak dapat berbuat banyak, hanya belas kasihan, dan trauma?
Sahabat kecil, bagaimanapun buruknya ayahmu, dia tetap pahlawan bagimu. Ia layak dihukum karena mencuri, tapi ia tidak layak untuk mendapatkan penghakiman masal secara brutal.
Seperti inikah potret bangsa yang berasaskan pancasila?
Seperti inikah masyarakat yang mengenal Tuhan yang maha esa?
4 Sehat 5 Sempurna 6 Salah kaprah (Juni 2011)
Sudah sangat lama saya penasaran dengan moto "4 sehat 5 sempurna". Siapa yang pertama kali mempopulerkan dan memperkenalkan, mengapa harus 4 dan 5? Mengapa tidak "5 konsumsi sehat". Saya pun meminta bantuan mr. Google, dan hasilnya USDA (red. united state department of agriculture)-lah yang mempopulerkan piramida makanan, yang kemudian oleh masyarakat Indonesisa melalui program pemerintah orde baru diperkenalkan dengan sebutan "4 sehat 5 sempurna".
Konsumsi makanan yang membuat kita menjadi sehat yang terdiri dari 4 kombinasi, yaitu
• Karbohidrat (nasi, kentang, gandum, roti)
• Lauk pauk (ikan, ayam, daging, dll)
• Sayuran
• Buah-buahan
Kemudian ditambah dengan mengkonsumsi SUSU, menjadikan tubuh makin sempurna. Tapi tahukah anda sebenarnya ide siapa yang pertama kali menciptakan susu untuk dimasukan dalam daftar piramida makanan yang menjadikan sempurna?
Pabrik susu terkemuka di daratan eropa (red. swedia, nama merk produk susu tsb disamarkan) yang memulai ide bahwa susu juga merupakan pelengkap sehat manusia. Dengan melalui strategi pemasaran produknya, maka disertakan susu dalam daftar "piramida makanan" yang belakangan di indonesia lebih dikenal dengan sebutan "4 sehat 5 sempurna"
Dahulu ketika awal diperkenalkannya susu dalam daftar "piramida makanan" sangat cocok, terlepas dari adanya unsur pemasaran produk dan ekonomi politik negara asal. Karena susu yang dihasilkan masih murni, diperas langsung dari sapi perah. Namun kini susu yang banyak beredar adalah bukan susu murni lagi, melainkan susu kimia (red. susu bubuk). Belum lagi diperparah oleh kondisi masyarakat yang mudah terprovokasi oleh iklan di media, dan saran para kaum intelektual di rumah sakit (red. dokter) yang mayoritas lebih pro kepada susu bubuk ketimbang susu murni. Mungkin saja ada kerjasama dengan industri susu bubuk.
Coba anda bayangkan, bagaimana mungkin dilalui oleh proses alami, dari susu cair yang telah diperas lalu di sulap menjadi susu bubuk. Dari zat cair diubah ke zat padat berupa bubuk. Ironisnnya hampir 100% pabrikan susu bubuk yang ada didunia mengklaim bahwa produk susunya murni dan lebih sehat dan higenis dari susu murni langsung dari sapi perah.
Sahabat, tahukah anda bahwa susu segar yang baik adalah susu yang usianya tidak lebih dari 4 jam. Susu murni yang baik jika dimasak (dipanaskan) masih terdapat "langit susu". Bukan susu yang dapat disimpan berbulan-bulan dan dikemas dalam kaleng. Dan tahukah anda bahwa ada susu yang jauh lebih sempurna dari susu sapi perah murni? Susu manusia. Sudah sejak jaman adam-hawa susu manusia telah deperkenalkan oleh Tuhan, tapi entah mengapa susu hewan justru lebih populer dari susu manusia.
Anak sapi minum susu sapi, anak manusia minum susu manusia (red. asi). Namun kenyataannya justru anak manusia minum susu sapi, lalu apakah ibu manusia akan menyusui anak sapi?
Bocah jalanan (Juni 2011)
Tak ada satu orang didunia yang menginginkan terlahir sebagai pencuri dan hidup di garis kemiskinan. Saya menyadari sepenuhnya, jika setelah tulisan ini dipublikasikan akan menuai banyak kontroversi dan pertentangan.
Namun saya akan merasa terbelengu jika apa yang saya lihat hanya menghiasi pikiran saya saja, tanpa pernah diutarakan.
Lima hari sebelum tulisan ini saya muat di blog, saya ditemui oleh seorang anak kecil yang menawarkan jasa semir sepatu. Kebetulan saat itu saya tengah menyantap makan malam di sebuah warung tenda pinggir jalan. Sebenarnya saya telah berulang kali menolak tawarannya utk menyemirkan sepatu milik saya. Entah mengapa, saya akhirnya mengiyakan juga tawarannya, mungkin faktor emosional saya merasa iba terhadap anak kecil tersebut.
Pakaiannya tampak tak terurus, jauh dari kesan layak. Bagian yang sobek tampak banyak menghiasi pakaiannya. Badan tampak gemetaran dan kurus tak terurus. Saya pun mengawali pembicaraan dengan anak kecil itu,
Saya : "umur adik berapa?"
Anak kecil : "9 om"
Saya : "masih sekolah?"
Anak kecil : "nggak om. Gak punya uang"
Saya : "bapak-ibumu mana?"
Anak kecil : "abah gak tau, mamak ada, pembantu di rumah om andri"
Saya pun bertanya dalam hati, siapa om andri? Mengapa ia menyebut nama om andri? Seolah saya mengetahui permasalahannya, atau mungkin saja iya ingin menceritakannya...
Saya : "siapa om andri"
Anak kecil : "itu om, majikannya mamak saya"
Saya : "Ooo... Sudah lama kamu nyemir sepatu?"
Anak kecil : "ada kali setaun, om"
Saya : "selama setaun kamu sudah tidak sekolah lagi?"
Anak kecil : "dah lama gak sekolah lagi. Gak ada duit. Uang mamak selalu abis buat idup"
Saya : "udah nggak kepingin sekolah lagi ya?"
Anak kecil : "pengen om, tapi gak ada duit"
Saya : "nggak coba minta sama om andri? Siapa tau dia mau bantu sekolahin kamu"
Anak kecil : "lebih baik saya nyemir sepatu om, dari pada disekolain dari uang haram"
Saya : "uang haram bagaimana?"
Anak kecil : "uang korupsi om, mobilnnya banyak, tapi hasil korupsi"
Saya : "ahh... Sok tahu kamu"
Anak kecil : "yah om... Biar kate saya anak jalanan, saya juga gak bego-bego amat. Semua yang kerja disana juga tau, tuh duit hasil korupsi"
Saya : "hmm..."
Anak kecil : "lebih baik nyemir sepatu om, daripada jadi pencuri. Yang penting halal, hidup tenang"
Saya hanya terdiam dan merenungkan ucapan bocah jalanan berusia 9 tahun. Umur boleh saja masih belia, namun realita hidup tidak bisa lari dari apa yang ia lihat dan rasakan.
Anak kecil : "om sepatunya udah"
Saya : "berapa dik?"
Anak kecil : "teserah om, yang penting iklas. Biasanya sih goceng (red. 5000)" dengan logat khas jalanan.
Saya : "ini dik, ambil sisanya" uang kertas bergambar pahlawan sultan mahmud badaruddin II, telah berpindah tangan.
Anak kecil : "makasih om"
Malam itu saya belajar banyak tentang kehidupan, seorang bocah jalanan berhasil membuat paradigma baru. Jangankan cari uang halal, uang haram saja susah, namun kenyataannya tidak bagi bocah jalanan itu. Sayang beribu sayang, saya lupa menanyakan namannya. Sampai detik ini saya bersyukur telah dipertemukan oleh bocah kecil itu.
Ketika tulisan ini saya buat, saya teringat sebuah pepatah kuno yang mengatakan, "jika didalam rumah ada seorang anak yang mencuri, maka orang tuanyalah yang menerima hukuman. Begitu pun jika sebuah negara banyak pencuri (red. korupsi) maka presidenlah yang bertanggung jawab".
Ujian (Juni 2011)
Melihat sahabat-sahabat yang telah menyelesaikan ujian nasional rasa senang dan sebal pun muncul. Dua perasaan yang berbeda tolok ukur.
Senang karena melihat kegembiraan mereka karena saya pernah mengalami seperti mereka. Disisi lain bagi kalangan eksekutif dan pegawai kantoran akan merasa nyaman pergi kekantor, yang selama ini jalanan selalu ramai bahkan macet. Tiba-tiba semua jadi lenggang.
Sebal, setiap berakhirnya masa ujian nasional selalu saja diwarnai aksi yang jauh dari moral. Sebut saja mengecat rambut, mencoret-coret baju, perkumpul dipinggiran jalan, tawuran, merusak fasilitas umum dan bahkan ada juga yang mabuk. Entah mabuk karena ngelem (red. ngirup aroma lem), mabuk miras (red. minuman keras) atau mabuk ngefly (red. narkoba).
Saya pun tergerak untuk melakukan riset kecil-kecilan, dengan mewawancarai beberapa kelompok anak-anak yang tampak bergrombol. Dalam grombolan siswa tersebut terdapat lebih dari 10 siswa menegah atas. Dan hasilnya adalah
1. Mereka bersenang-senang hanya untuk melupakan problematika selama ujian akhir nasional, dengan kata lain adalah refreshing.
2. Ini yang paling menarik, menurut mereka beranggapan selesai SMA (red. sekolah menengah atas) pertanda telah dewasa dan bebas melakukan semua hal. Sungguh merupakan pola pikir yang aneh.
UAN (red. ujian akhir nasional) momok yang paling dikhawatirkan oleh banyak kalangan. Tidak hanya peserta ujian tersebut, keluarga peserta pun juga terikut imbas dari kekawatiran akan gagalnya dari hasil ujian tersebut.
Berbagai macam cara pun dilakukan guna mengadapi ujian tersebut. Sebut saja zikir bersama, bimbingan belajar, pembentukan mental, meditasi, mencari kunci jawaban, semua dilakukan secara instant dan tanpa persiapan matang. Seolah hanya dengan memohon kuasa-Nya dan usaha instant pasti akan berhasil. Bukankah mereka sadar, bahwa usaha juga melalui proses yang panjang, tidak sks (red. sistim kebut semalam). Ya... Apa pun caranya yang dipilih adalah hak individu, tapi apakah hasilnya akan berkreadibilitas tinggi atau sekedar asal-asalan.
Yang menjadi pertanyaan saya kepada mereka adalah setelah lulus ujian. Mau kemana? Mau jadi apa? Mau kerja apa? Ada satu masalah utama yang sampai sekarang belum terpecahkan yaitu sulitnya mencari pekerjaan. Tak hanya lulusan SMA; S1 dan S2 saja banyak yang mengganggur. Membuka lapangan usaha baru sangat menarik, tapi tidaklah seindah apa yang dibayangkan.
Lalu bagaimana? Inilah tantangan masa depan sebenarnya bukan perayaan coret-mencoret dan bukan pula aksi pahlawan kesiangan di jalanaan.
1000 Teori (Mei 2011)
Beberapa hari yang lalu saya bersama keluarga menjenguk seorang kawan yang baru saja melahirkan putri pertamanya. Rasa bahagia tampak jelas terpancar diwajahnya, begitu pun dengan putrinya yang ingin sekali mengucapkan rasa senangnya telah diundang bermain di dunia.
Saya pun jadi terbayang beberapa tahun yang lalu ketika putri saya lahir ke dunia. Kami seperti tak pernah sepi cerita tentang proses kelahiran tersebut. Kebahagiaan seolah tak pernah pudar hingga kini. Banyak cerita dari orang tua, kawan, sahabat, saudara, tentang bagaimana lucu dan bahagiannya mempunyai anggota baru dikeluarga.
Nasihat pun seolah tak pernah alpha menghapiri kami berdua selaku orang tua baru bagi putri kami. Banyak teori yang saya peroleh, dan banyak hukum rumah tangga yang kami pelajari. Tentang bagaimana mendidik, membesarkan hingga nantinya melepasnya untuk berumah tangga. (Baca. rasanya untuk urusan yang ini terlalu dini untuk dibahas).
Sebelum proses kelahiran, kami telah banyak mendapat masukan, saran dan nasihat tentang keluarga dan mempunyai anak. Saya pun juga banyak sekali berguru ilmu dan pengalaman pada buku dan orang tua. Hingga akhirnya satu hari sebelum mempunyai anak saya telaha memiliki 1000 teori tentang bagaimana membesarkan anak dan mendidiknya.
Namun, setelah putri pertama saya lahir ke dunia. Saya hanya mempunyai 1 (red. satu) teori, yaitu sayangi mereka terutama ketika mereka sedang tidak layak untuk disayangi.
Apa maksudnya?
Apa yang akan anda lakukan ketika anak anda merusakan barang kesayangan anda? Marahkah?
Apa yang ada di dalam hati anda ketika anda telah lelah bekerja seharian, dan ketika sesampainnya di rumah ternyata anak anda rewel dan nakal? kesalkah
Itulah maksud dari 1: 1000 teori yang sangat bermanfaat. "Sayangi mereka (red. anak) terutama ketika mereka (red. anak) sedang tidak layak untuk disayangi"
Komitment (Mei 2011)
Lama sekali saya menghilang dari perkumpulan atau komunitas yang telah membesarkan saya dan berkarir profesional dalam industri dunia hiburan. Rasanya ingin sekali pada libur akhir pekan saya menampakan batang hidung saya. Hingga waktunya pun tiba, ada rasa rindu dan kangen, singkat cerita reuni dan silahturahmi terjalin hangat. Berbagi cerita, kisah, dari obrolan ringan hingga pribadi.
Seorang kawan sekaligus sahabat bercerita kepada saya tentang apa yang sedang dia alami, baik masalah keluarga hingga percintaan. Tak ada yang salah dengan penuturannya, hanya saja saya juga bukanlah panutan yang sempurna. Saya hanya mencoba meringankan problematika kehidupannya.
Percintaan selalu saja menimbulkan polemik yang menarik. Bisa saja muncul dari dalam diri karena terlalu lama terpendam atau saja datang pada waktu yang salah. Kadang kala awal sebuah percintaan selalu meninggalkan kenangan yang mendalam, seolah waktu tidaklah pernah cukup. Hari, jam, menit, detik bahkan kedipan mata seakan tak pernah cukup waktu untuk bersama pasangan. Namun, tidaklah demikian jika telah lama menjalin kebersamaan dengan pasangan kita. Ada rasa jenuh, bosan, merupakan hal yang wajar saja. Namun jangan terlalu larut yang berkepanjangan.
Seorang kawan sekaligus sahabat bercerita kepada saya tentang kebosanan dan kejenuhannya terhadap istrinya. Penyebabnya tak lain adalah orang ketiga. Sulit sekali bisa memahami pilihannya, karena saat ini yang nampak dihadapannya adalah indah dan baik bagi pasangan barunya. Suram dan jelek bagi pasangan lamanya (red. istrinya). Hingga akhirnya saya bertanya padanya,
"Menurutmu ibumu mencintaimu?"
Dia menjawab "tentu saja, kenapa?"
"Ketika 5 hari setelah ibumu melahirkan dan membawamu pulang dari rumah sakit, malamnya kamu menangis mungkin karena popokmu basah atau saja karena kamu haus dan ia terpaksa bangun walau tubuhnya masih sangat letih, berjalan di lantai yang dingin tanpa alas kaki untuk mengganti popokmu dan menyusuimu. Apakah menurutmu dia benar-benar menikmati semua itu? Belum lagi jika kamu merusakan barang kesayangannya, apakah dia senang dengan perbuatanmu?" Tanya saya kepada seorang kawan sekaligus sahabat.
Hanya sepatah kata yang keluar dari bibirnya "tidak"
Sahabat dan pembaca, besarnya cinta bukan diukur karena ia menikmati mengganti popok dan menyusuimu di tengah malam, karena yang dilakukannya adalah bagian dari sebuah komitmennya sebagai ibu. Begitu pula, ketika anda merusakan barang kesayangannya, ada rasa didirinya untuk marah, sebal, tapi bukan untuk membencimu. Begitu pun dengan pernikahan, tidak hanya didasari perasaan cinta. Ada yang lebih berharga dari sebuah cinta, yaitu komitment. Saat pertama seseorang menikah, pasti karena cinta, entah cinta paandangan pertama, cinta sejati atau apapun namannya. Semua akan padam seiring dengan berjalannya waktu. Lalu, jika sudah demikian apa yang dapat membuatnya menjadi abadi? Menjadi matang? Menjadi dewasa? Hanya komitment yang membuat kita harmonis. Komitmenlah yang menyelamatkan pernikahan kita. Berani melakukan tindakan apapun dalam suka maupun duka, menjaga komitment dengan pasangan sama seperti kita mempertahankan Pernikahan yang telah dianugrahkan oleh Tuhan.
Sahabat, kadang kita baru menyadari dan menyesal setelah kita benar-benar telah kehilangan pasangan kita. Kita baru sadar bertapa berartinya dirinya dalam perjalanan kehidupan kita. Sahabat, belajarlah untuk mencintainya yang saat ini dia masih menjadi milikmu, mungkin hari ini ia masih mencintaimu seutuhnya, tapi bisa jadi saja esok dia sudah tidak lagi mencintaimu dan pergi meninggalkanmu selamannya.
Ingatkah sahabat ketika sedang membutuhkan pertolongan? Ditimpa musibah, sakit atau mungkin ketika sedang jatuh terpuruk. Siapa yang ada disampingmu dan memberi semangat dan dukungan penuh setiap saat?
Sahabat, sekaligus pembaca.
Mencintai itu mudah, akan tetapi menjaga komitment pernikahan tidaklah semudah ketika sedang jatuh cinta.
Gundul pacul (Mei 2011)
Lagu tradisional ini sering dinyanyikan bersamaan dengan permainan anak-anak di jawa dulu, tidak hanya dinyanyikan sambil bermain tetapi juga ketika malam telah larut. Dulu ketika saya kecil, sering sekali bermain mainan tradisional dengan diiringi tembang ini. Entah apa artinya, tapi saya kecil sangat menikmati alunan tembang ini bersama teman sepermainan. Tak hanya ketika bermain permainan tradisional, tapi juga ketika kami mancing belut di empang, seolah tembang jawa ini menghipnotis semangat kami, apakah mungkin karena kami anak-anak desa dengan kepala yang gundul.
Menurut cerita tembang Jawa ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga, lagu ini mempunyai arti filosofis yang sangat besar dan mulia
• Gundul
Adalah kepala tanpa rambut, kepala identik dengan kehormatan, kemuliaan seseorang. Begitu pun dengan rambut, mahkota lambang keindahan kepala. Bisa anda bayangkan jika kehormatan tanpa mahkota; gundul.
• Pacul
Cangkul, peralatan pertanian untuk mengali atau menguruk tanah. Pacul terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul juga suatu lambang kawula rendah, yang kebanyakan jaman dahulu adalah para petani yang dipaksa kerja untuk tuan tanahnya.
• Gundul Pacul
Artinya bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul utk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya dan orang banyak. Konon masyarakat Jawa mengatakan Pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas). Jika Empat hal itu lepas, maka hilang kehormatannya dan kemuliaan seseorang itu (red. Pemimpin) yaitu,
1. Mata digunakan untuk melihat. Maksudnya adalah para raja-raja di jawa menjadi tulang punggung bagi
kesehjatraan rakyatnya. Para raja-raja di jawa juga melihat kesulitan rakyat dan masyarakatnya akibat
penjajahan.
2. Telinga digunakan untuk mendengar. Baik itu berupa nasehat, saran maupun keluhan dari para rakyatnya.
Seorang raja, juga harus mau mendengarkan aspirasi dari rakyatnya. Tidak hanya mau didengarkan tapi juga
mau mendengarkan.
3. Hidung digunakan untuk mencium. Bukan untuk mencium keburukan dan persaingan licik elit politik,
namun lebih pada kebaikan, yang pada akhirnya untuk kesehjatraan rakyatnya.
4. Mulut digunakan untuk berkata jujur dan bertingkah laku adil. Apa yang mereka janjikan (red. Para raja-raja)
kepada rakyatnya harus dapat dilaksanakan dan diamanatkan. Karena janji yang terucap dari mulut pria
bangsawan adalah prilaku yang sebenarnya. Jika para pemimpin tidak dapat melaksanakan janjinya dan tidak
dapat berbuat jujur, maka rusak sudah kepribadian pemimpin itu.
• Gembelengan
Yang mempunyai arti besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Tidak bersungguh-sungguh memegang teguh amanat rakyatnya. Yang ada dalam pikirannya adalah memperkaya diri.
• Nyunggi nyunggi wakul
Seorang pemimpin haruslah menjunjung tinggi amanah rakyatnya atau orang banyak, jangan baik jika ada maunya saja. Menggumbar janji pada saat ingin dipilih sebagai pemimpin, ketika sudah menjadi pemimpin seolah amnesia terhadap semua janji yang pernah diucapkannya.
• Wakul nglimpang
Seorang pemimpin yang menggumbar janji dan tidak dapat memegang teguh amanat rakyatnya, pada akhirnya akan jatuh juga. Dengan cara revolusi atau people power.
• Segane dadi sak latar
Semua jerih payah dan usahanya akan sia-sia saja. Tidak bermanfaat bagi kesejatraan rakyatnya.
"Gundul gundul pacul cul
gembelengan
nyungi nyungi wakul kul
gembelengan
wakul nglimpang segane dadi sak latar
wakul nglimpang segane dadi sak latar"
(Jika seorang pemimpin yang kepalanya sudah kehilangan empat indera nurani itu maka akan mengakibatkan sombong, individualis. Sehingga tidak dapat lagi menjunjung amanah rakyatnya, yang akhirnya kekuasaan dan amanah jatuh juga dan tidak dapat dipertahankan dan sudah tidak bermanfaat bagi orang banyak, sehingga rakyat makin sengsara)
Hingga berjalannya waktu saya baru menyadari makna yang tersirat dari tembang jawa kuno ini. Mungkin juga sama seperti harapan semua orang tua kepada anaknya kelak nanti. Yaitu, jika sudah besar nanti dan menjadi pemimpin jangan seperti gundul pacul,
yang sangat sarat makna yang dalam bagi kehidupan bermasyarakat. Entahlah apakah sunan kalijaga sudah dapat meramalkan masa yang akan datang atau tembang ini hanyalah suatu kebetulan saja. Yang pasti jayabaya tidak sendirian meramal tentang masa depan.
Semua orang bisa menjadi pemimpin, tapi tidak semua pemimpin mempunyai figur negarawan yang berkharismatik dan peduli terhadap rakyatnya.
My way (April 2011)
Setiap anak kecil tentunya mempunyai cita-cita dan figur yang didambakannya. Ketika usia beranjak remaja, muncul sebuah keinginan untuk mewujudkan cita cita masa kecilnya dan berharap agar perjalanan kedepan tanpa hambatan. Begitu pun dengan perjalanan menuju dewasa, dengan berbagai macam cara. Faktor lingkungan dan keluarga sedikit banyak berperan aktif dalam perjalanan hidup, disadari atau tidak. Beruntung jika anda (red. pembaca) tidak menemukan hambatan dalam proses pendewasaan dan penentuan pilihan hidup.
Lingkungan dan keluarga dalam budaya timur masih mendominasi penentuan arah masa depan seorang. Entah apa yang menyebabkan doktrin ini berkembang dengan sangat baik, mungkin saja ada faktor membanggakan anak kepada teman atau rekan sejawatnya, atau untuk regenerasi profesi turun menurun dari orang tua.
Saya besar di lingkungan dan keluarga yang jauh dari profesi saya saat ini. Butuh waktu lama untuk meyakinkan keluarga untuk profesi yang saya pilih ini. Saya pun sempat hampir melupakan cita cita masa kecil ini, dengan meneruskan kuliah hingga strata 2 dan bekerja di segala bidang (red. kantoran). Penantian panjang saya akhirnya berbuah juga, setelah saya mendapat tawaran pada profesi yang saya impikan sejak lama. Dan pada akhirnya saya pun bergabung dan memasuki dunia yang serba baru; Dirgantara.
Tidak sedikit dari teman, sahabat dan keluarga yang meragukan keputusan saya ini. Maklum saja, sebelumnya saya sudah berhasil di industri hiburan. Keluarga kecil saya (istri, anak, orang tua dan mertua) mendukung penuh dengan pilihan saya, memang awalnya sangat keberatan, terlebih karena resikonya.
Sering kali saya ditanyai dengan sebuah pertanyaan yang cenderung retorika, seperti "nggak sayang dengan S2 mu" ada juga yang berkata "emang nggak ada pekerjaan lain selain pilot" dan bahkan ada juga yang berkata "menjadi pilot, sama saja memasuki kotak jenazah yang dijatuhkan dari langit" dan kalimat ini yang cukup membuat saya berang "ngapain sekolah pilot! burung aja tidak sekolah bisa terbang"
Tidak habis pikir saya, bukankah semua pilihan seseorang harusnya didukung atau dimotivasi agar yang menjalankan pilihannya makin mantap terhadap pilihannya? Kali ini saya benar-benar masa bodoh dengan anggapan teman, saudara, sahabat tadi. Saya tetap pada pendirian awal saya. keinginan masa kecil yang sempat lama tertunda.
Sahabat, tidak ada yang sia-sia dalam mencari ilmu, apakah itu ilmu dari pendidikan formal atau non formal. Apa pun ilmu itu, pasti berguna. Mungkin saja tidak berguna bagi orang lain, tapi setidaknya berguna bagi diri sendiri. Ada satu yang membedakan antara manusia dan binatang, yaitu terletak pada ilmunya.
Sahabat, kawan dan saudara...
Memang benar burung tidak sekolah, bisa terbang. Namun burung tidak bisa menerbangkan Airbus 380, Boeing 777. Burung memang bisa terbang tinggi, tapi burung tidak bisa menanggung nyawa puluhan bahkan ratusan penumpang. Benar, burung bisa terbang tanpa pernah nyaras mencari jalan pulang, tapi burung tidak bisa membaca navigasi. Benar, burung bisa terbang berkelompok, tapi burung tidak bisa mempergunakan radiotelephony.
Sahabat, saudara dan kawan...
Setiap orang mempunyai jalan hidup masing-masing. Mungkin saja tidak sejalan dengan pemikiran anda. Setiap orang terlahir dengan ambisi dan harapan penuh untuk meraih cita-citanya, tapi yakinlah itu adalah pilihan hidupnya. Apa pun resikonya.
Sama halnya pilihan saya saat ini,
"Menjadi penerbang yang memiliki sertifikat type rating boeing 737-series lebih membanggakan daripada memiliki ijazah S3. Sekalipun dari MIT atau Harvard"
Circadian Rhythm (April 2011)
14 tahun lebih saya meninggalkan bangu sma, dengan rutinitas yang monoton. Dan hampir 5 tahun yang lalu saya lepas dari rutinitas civitas akademika program magister. Selama kurun waktu 6 tahun yang lalu rutinitas kehidupan saya tidak menentu. Terkadang saya baru memulai aktivitas kerja jam 08.00 kadang baru jam 16.00, jadwal makan siang pun juga tidak menentu, kadang jam 12.00 kadang juga jam 14.00, sering juga saya puasa dadakan. Rutinitas yang tidak menentu pun berimbas pada jadwal tidur dan bangun tidur. Maklum saja, selama ini saya bekerja pada industri dunia hiburan (entertainment).
Januari 2011 saya memasuki dunia yang serba baru dalam hidup saya; Dirgantara. Saya pun masuk asrama dan menjadi taruna. Sama persis ketika 14 tahun lalu, cuman bedanya ini adalah impian saya yang sempat tertunda.
Kehidupan taruna membuat ritme hidup saya berubah drastis 720º. Pola makan yang tidak teratur, waktu tidur yang berantakan, bahkan aktifitas harian pun mulai ditata ulang. Kehidupan asrama dan taruna telah merubah hidup saya menjadi teratur. Jiwa pun seperti telah menyatu menjadi robot. Bangun pagi jam 04.00, sholat subuh jam 05.00, olahraga jam 05.30, apel pagi jam 06.00 hingga aktivitas pendidikan dan berakhir jam 17.00, jam makan siang pun seperti telah di set 12.00 tidak lebih, tidak kurang. Jadwal makan malam dan belajar malam pun seperti tak mau kalah diaturnya, begitu pun seterusnya.
Pada awalnya saya menyerahkan semua rutinitas kegiatan pada teknologi yang bernama alarm. Tapi entah kenapa, hanya bertahan selama 4-5 hari. Lama-kelamaan saya telah lepas dari ketergantungan pada alarm. Selanjutnya tubuh, jiwa, raga dan pikiran tanpa disadari seperti mengikuti ritme rutinitas yang baru. Kadang saya kurang cukup tidur malam (3 jam), namun paginya badan sudah terbangun tanpa alarm pagi dan bugar kembali. Begitu pun kegiatan lainnya.
Tanpa disadari pikiran dan alam bawah sadar manusia telah mengikuti program rutinitas yang baru. Belakangan saya baru menyadari, bahwa hal seperti itu dikenal dengan Circadian rhythm.
Apakah pembaca pernah mengalami hal seperti saya?
Aparatur negara (Maret 2011)
Miris
Kata yang pantas untuk diucapkan sejak bergulirnya era reformasi. Bagaimana tidak, setelah kran kebebasan dibuka seolah tak terbendung lagi. Dari media yang mengatas namakan kebebasan berpendapat hingga kehidupan sosial yang mengatas namakan kebebasan bertindak.
Setiap kaki melangkah dan mata menjelajah, setiap itu pula perjalanan hidup direkam. Hampir tiap saat kita menyaksikan (red. melalui media atau melihat langsung) adegan adegan yang kurang pantas untuk diceritakan, apalagi dilakukan. Sebut saja adegan kekerasan, seolah seperti tidak ada kata komunikasi musyawarah, semua di selesaikan dengan cara yang kuat yang menang. Ironisnya lagi semua dilakukan oleh mereka yang berpendidikan (red. mengaku pendidikan luar negeri). Ada yang mengatas namakan agama, sosial, golongan dan lain lain,
Diawal dekade milenium, masyarakat seolah sudah tidak takut lagi terhadap hukum di negara dan penegak hukum. Para aparatur negara seperti ketakutan menghadapi liarnya tingkah laku masyarakat. Para aparatur seperti telah kehilangan taring. Rakyat yang dulu dikenal budaya santun, telah berubah menjadi liar tak berbudaya. Markas kesatuan, seragam kesatuan yang menjadi simbol kebanggaan seolah mudah untuk dikoyakan dengan petarung jalanan dan premanisme.
Saya tidak dapat meramalkan dikemudian hari nanti apa yang akan terjadi, jika dibiarkan berlarut larut. Namun saya pesimis jika negara ini akan tetap ada di tahun 2015 nanti (red. setelah hasil pemilu legislatif dan presiden diumumkan)
Menjaga negara tidak hanya tugas dari para aparatur negara,
Membina negara juga bukan tugas eksekutif negara saja,
Menegakan kedaulatan negara tidak hanya tugas para yudikatif dan aparatur negara saja,
Tetapi tugas kita (red. rakyat) bersama. Harus ada andil besar dari masyarakat untuk berperan aktif. Jika masyarakat dan rakyatnya sudah menyerahkan semua urusan negara kepada lembaga penegak hukum negara, maka saat itu pula hukum di negara telah berganti menjadi hukum rimba.
Gn. Kawi sang spiritual (Maret 2011)
Ada yang menggangap sebagai perjalanan wisata, ada pula yang menggangap sebagai perjalanan spiritual.
Sebelumnya saya sangat penasaran ada apa di sana? Apa yang dilakukan? Sampai-sampai tempat ini terkenal di seantero jagad, bahkan di belahan dunia lain. Saya pun memulai mencari informasi dan melakukan perjalanan wisata. Entah nanti di tengah jalan berubah menjadi perjalanan spiritual itu urusan nanti, yang penting saat ini saya harus menghapus rasa penasaran, tentang mitos dan cerita mengenai tempat ini.
Tahun 2002 di bulan september, jauh sebelum masuk bulan suro (red. bulan muharam). Yang menurut berbagai sumber mengatakan saat yang tepat untuk kesana. Kesan pertama yang saya jumpai setiba di sana adalah ramai sekali, udara yang sejuk dan area wisata spiritual sangat bersih. Tidak hanya masyarakat etnis jawa saja, etnis cina, hingga wisatawan asing.
Perjalanan diawali dari kota malang (jawa timur) kearah barat daya, lalu singgah di desa kecil, yaitu ngajum, atau bisa juga dilalui arah timur dari blitar. Setelah itu tinggal mengikuti arah panah dan petunjuk menuju pesarean gunung kawi. Terdapat tempat parkir kendaraan bermotor yang sangat luas (setara terminal bis antar kota), kemudian menelusuri anak tangga yang relatif sangat landai. Sepanjang perjalanan pejiarah akan menjumpai warung makan, losmen, wc umum, toko cendramata, rumah padepokan eyang djoego, toko ritual, klenteng, masjid, vihara, gereja, rumah wayang kulit, toko ramal, toko pengubah nasib, toko spiritual, agen perjalanan spiritual, hingga kantor administrasi dan pengelolah.
Sebelum memasuki area pesarean (red. makam mbah djoego), para pejiarah diminta untuk merapikan diri, mensucikan diri dan membekali diri, untuk yang terakhir ini lebih bersifat tambahan jika pejiarah ingin melakukan perjalanan spiritual.
Ada apa saja?
Setelah saya memutuskan hanya untuk perjalanan wisata, maka saat itu pula saya tidak didampingi oleh pembatu juru kunci. Sebelum memasuki pesarean, saya menjumpai sebuah gapura megah. Kemudian, masuk ke sebuah area yang cukup luas di tengahnya tertanam beberapa pohon yang tengah mengalami kekeringan. Hanya ada beberapa ratus helai daun dan beberapa buah, lebih tepatnya cuman 2 buah, belakangan saya baru tahu pohon itu oleh masyarakat setempat dinamai dewndaru yang di keramatkan. Para pejiarah ramai sekali duduk bersila mengelilingi pohon tersebut. Menurut cerita ritual masyarakat setempat, barang siapa yang kejatuhan daun dan buah pohon tersebut, maka keinginan akan terwujud. Tidak heran jika banyak pejiarah spiritual yang duduk menunggu di bawah pohon tersebut berjam jam bahkan berhari hari, meskipun hujan turun tetap tidak menyurutkan niatnya.
Sebuah pendopo yang didalamnya terdapat makan eyang djugo beserta kerabat dan keluarganya. Konon menurut cerita juru kunci, eyang djoego (baca. mempunyai nama lain kyai zakaria II, R Imam Soedjono) merupakan sosok kepercayaan pangeran diponogoro. Beliau juga turut andil dalam penyebaran agama islam di daerah blitar-malang dan sekitarnya.
Tidak hanya pohon dewandaru dan pendopo saja, terdapat tempat pemandian sumber mata air yang mengeluarkan aroma yang wangi. Dua buah guci atau kendi suci menjadi simbol dan salah satu tempat ritual di area pesarean tersebut.
Singkat cerita perjalanan wisata sehari penuh saya habiskan untuk berfoto foto dan mencari tahu asal mula tempat spiritual ini, yang belakangan mulai terkenal dengan pesugihan. Banyak cerita yang berkembang mengenai keberhasilan, kesuksesan, kekayaan dan kemakmuran secara instant dimasyarakat kita dan belahan dunia lain adalah hasil dari produk gunung kawi. Entah benar tidaknya...
Ada sesuatu yang paling menarik dari perjalanan wisata gunung kawi dengan pohon dewandarunya. Ternyata di area wisata alam "taman buah mekarsari" daerah jonggol, jawa barat, masih banyak terdapat pohon dewandaru yang telah berhasil dibudidayakan, daunnya lebat dan berbuah. Para penggunjung pun di perbolehkan memetik daun dan buahnya, tidak hanya itu saja, bibit pohonnya pun di jual oleh pihak pengelolah.
Percaya atau tidak, saya kembalikan kepada anda.
Motivator juga manusia (Maret 2011)
Beberapa waktu lalu saya mendapat sebuah pesan dari bbm (red. blackberry messenger) yang berisi sebuah renungan hidup. Kebetulan beliau adalah salah satu motivator favorit saya. Hampir tiap program acaranya tidak pernah absen dan bukunya pun telah saya miliki.
Namun tidak untuk kali ini, saya cukup tercegang membaca penggalan tulisannya, "Pria yang sukses adalah pria yang mempunyai penghasilan lebih besar daripada istrinya. Wanita yang sukses adalah wanita yang berhasil menemukan pria tersebut" (demi menjaga nama baiknya, saya tidak menyebutkan siapa beliau).
Sahabat yang saya hormati, kesuksesan didalam kehidupan berumah tangga tidak hanya peran suami atau istri. saja. Namun bagaimana sebuah keluarga itu mengisi kekurangan dengan kelebihan tiap pasangannya. Bukan juga wanita hebat yang bisa menemukan pria berpenghasilan lebih besar dari istrinya, tetapi wanita yang paham akan kebutuhan keluarga dan melengkapi kekurangan suaminya dengan kelebihannya. Bukan pula pria lemah yang tidak mempunyai penghasilan lebih besar daripada pengeluaran istrinya, tetapi pria yang paham akan keutuhan keluarga dengan kelebihan istrinya.
Dengan begitu kesuksesan bisa diraih dengan berkerjasama bukan saling menggantungkan satu sama lain. Keluarga bukan ajang untuk berkompetitif atau persaingan, tetapi kerjasama. Ada sebuah anekdot kehidupan keluarga mengatakan, "uang suami adalah uang istri, uang istri adalah uang istri", jika ada yang masih menganut pandangan seperti ini, maka tidak akan pernah ada kesuksesan dalam sebuah keluarga. Saya berani katakan mereka penganut paham tersebut adalah parasit.
Sahabat motivator yang terhormat, bagaimana jika anda adalah seorang pria dirumah tangga yang tidak produktif, sementara wanita anda (red. istri) adalah wanita yang produktif. Apakah berarti keluarga anda tidak sukses?
Kesuksesan sebuah keluarga adalah menopang kekurangan dengan keberhasilan dari kerjasama. Tolak ukur kesuksesan bukan dari materi, tapi dari keharmonisan.
Boleh saja motivator yang bersangkutan mengatakan, "Pria yang sukses adalah pria yang mempunyai penghasilan lebih besar daripada istrinya". Tetapi bagi saya, "Wanita yang sukses adalah istri yang berhasil membangkitkan mental dan semangat suami dikala kehidupan keluarga sedang jatuh terpuruk".
Surat untuk Tuhan (Maret 2011)
Dalam perjalanan sang waktu sering saya bertanya dalam kesunyian malam.
Apa yang akan dilakukan para pengabdi-Mu,
Jika sedang tidak diberi tugas oleh-Mu,
Untuk mengawasi kehidupan dunia dan pemainnya.
Berwisatakah?
Piknik?
Atau pulang kampung?
Kegundahan saya sebenarnya beralasan Tuhan...
Ketika mereka memata-matai kami,
Mengadu pada-Mu,
Mungkin juga bergosip.
Apakah pengabdi-Mu sadar bagaimana permainan di kehidupan dunia
Yang kuat yang menang.
Tapi mengapa seolah bisu dan acuh,
Terhadap kerusakan dan keserakahan manusia.
Tidakah ada tindakan-Mu?
Tidakah ada peleraian-Mu?
Tidakah ada teguran-Mu?
Tidakah ada kedamaian lagi dari Mu?
Seolah tengah asik menonton panggung sandiwara kami.
Episode demi episode...
Tuhan...
Apakah disana sudah tidak ada sinetron lagi?
Sampai sampai, kami harus mengisi hari-hari Mu dengan sandiwara semu.
Bagaimana keadaan disana Tuhan?
Apakah penjara-Mu sudah penuh,
Sampai-sampai para dajjal dan kroninya transmigrasi ke bumi.
Apakah disneyland dan mall telah gulung tikar,
Sampai-sampai para pengabdi-Mu mencari hiburan ke bumi,
Dengan mengaduk-ngadukan misteri kehidupan manusia?
Tuhan...
Dalam tengah malam aku bersujud pada-Mu,
Bolehkah aku memohon?
Kami lelah terhadap sandiwara ini,
Tentramkan dunia kami,
Yang telah penuh dengan dajjal dan setan berwajah manusia.
Tuhan...
Sampaikan salam hormatku pada para pengabdi-Mu,
Malaikat.
Menikmati sakit sebelum mati (Maret 2011)
Pembaca pernah mengalami sakit? Rasanya kalimat ini merupakan retorik, tidak butuh jawaban. Selama adanya kehidupan manusia pasti ada saat dimana kondisi badan drop atau kurang fit dan berimbas pada sakit. Ada yang pernah mengalami sakit besar (red. kronis) atau sakit kecil, misalnya ketika jatuh yang mengakibatkan luka di kulit.
Beberapa tahun yang lalu orang tua saya mengalami sakit yang menurut pandangan saya adalah kategori berat. Mengingat pola hidup yang sehat dan selama hidupnya sangat jauh dari segala macam penyakit, paling-paling hanya flu dan demam. Biasanya paling lama 3 hari sudah sembuh dan dapat beraktifitas lagi. Namun tidak kali ini, seluruh keluarga besar pun seakan tak percaya dengan yang penyakit yang dihadapinnya, bahkan vonis dokter pun juga tidak dapat dianggap sederhana. Jantung, bocornya katup tricuspid dan sebagian pembuluh darah vena yang pecah (red. bukan bocor atau tersumbat)
Mungkin dari pembaca ada yang berprofesi dokter, dan merasa terheran-heran, bagaimana bisa penyakit yang sudah begitu kronis dan fatal, masih bisa selamat tanpa berdampak apapun (baca. stroke atau kematian). Saya hanya bisa mengatakan "itu kuasa tuhan". Singkat cerita, banyak kolega, kawan, sahabat, saudara yang tidak percaya akan derita penyakit tersebut. Saya pun sering menjadi tempat keluhan dan curahan hati, baik dari keluarga dekat maupun pasien (red. orang tua saya).
Selang beberapa hari kemudian, operasi besar pun dilaksanakan dan berhasil, sebelumnya tim dokter bedah telah berkata bahwa tingkat keberhasilan 50-50. Masa recovery (red. penyembuhan) mengalami waktu yang sangat lama, hingga 3 bulan. Rasa resah, leleh, jenuh pun sering menghampiri saya melalui keluhan penderita sakit. Saya hanya dapat memberi motivasi;
"Di nikmatin aja sakit itu, tidak usah dirasakan. Coba di renungkan, selama hidup di dunia, berapa tahun kita diberi kesehatan? Apakah lebih banyak sehatnya atau justru lebih banyak sakitnya? Rasanya kita tidak pantas untuk mengeluh ketika diberi sakit/penyakit. Masih beruntung kita diberi sakit/penyakit, daripada langsung meninggal dunia".
Pembaca yang budiman, apa artinya? Tuhan masih sangat sayang kepada kita yang diberi sakit, Tuhan masih mau menyapa umatnya dengan penyakit, Tuhan juga masih memberi kesempatan kepada kita untuk menjadi manusia yang jauh lebih baik lagi. daripada Tuhan sudah tidak percaya lagi dengan umatnnya, bukan sakit yang diberi, melainkan kematian. Apakah kita masih dapat memperbaiki diri setelah kematian?
Jadi, mulai sekarang jika ada pembaca yang sedang sakit, disyukurin saja semua pemberian Tuhan itu. Diberi sakit alhamdulillah, diberi sehat alhamdulillah. Dengan begitu, kita telah naik kelas dan menjadi manusia yang bertaqwa, IKHLAS.
Berita investigasi (Maret 2011)
Kegiatan diwaktu luang yang paling saya sukai selain membaca adalah menonton televisi. Biasanya saya menghabiskan beberapa jam di depan tv, entah itu melihat acara komedi, dokumenter atau berita. Sampailah di suatu program berita yang membuka tabir dan menguak misteri yang ada di sekitar kehidupan kita, sebut saja nama program acara tv swasta tersebut investigasi.
Sepertinya sudah menjadi kebiasaan masyarakat untuk mencari keuntungan besar dengan mengelabui pembeli. Cara apapun layak untuk dilakukan selagi itu tidak merugikan dirinya sendiri (mungkin mereka berpikir, biarlah itu urusan orang lain, yang penting urusan perut saya terselesaikan). Sebelumnya saya sudah banyak mengetahui tentang permainan oknum pedagang nakal untk mengelabui konsumen. Saya pun sering kali terheran-heran, koq bisanya para reporter televisi mencari tahu tentang jaringan oplos-mengoplos atau apapun namanya. Pikiran saya pun melayang jauh tentang fenomena yang marak terjadi akhir-akhir ini;
• Apakah terjadi suatu kong-kalikong antara oknum aparatur negara dengan pedagang nakal
• Kemampuan reporter yang jauh lebih hebat mencari oknum pedagang nakal tersebut
• Atau telah terjadi rekayasa berita, untuk menaikan rating
Tidak hanya produk makanan dan minuman saja yang dioplos, kebutuhan sehari hari pun tak luput dari tangan dan otak kreatif oknum tersebut. Sebut saja; bahan bakar, sampo, sabun, bahkan hewan hidup pun juga menjadi alat percobaan. Beragamnnya cara yang dipertontonkan membuat saya menjadi ngeri, zat zat yang seharusnya untuk kebutuhan industri berbahaya justru dicampurkan dengan segala kebutuhan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, tak jarang ada pula yang telah menjadi konsumsi manusia. para pakar pun berbicara tentang dampak nya dalam jangka waktu pendek dan panjang, yang kemudian saya simpulkan berdampak pada cacat permanen, penyakit kronis, hingga kematian.
Apa saja yang dilakukan oleh oknum pedagang nakal tersebut, sangat beragam; Seekor sapi yang sebelum dagingnya dijual harus diminumkan air sebanyak-banyaknya agar daging yang dijual bertambah berat. Ada juga telor ayam negeri dicuci dengan zat kimia berbahaya agar warna kulitnnya menyerupai telor ayam kampung (yang harga jualnnya lebih tinggi daripada ayam negeri), bahan bakar minya premium di salah satu SPBU dioplos dengan sisa minyak goreng dan air. Ada juga sabun cair dioplos dengan berbagai macam zat kimia industri berbahaya, dan lain-lain.
Apakah ini menandakan yang pinter lebih banyak yang menggangur dari pada yang bodoh bekerja? Bagaimana tidak, umumnya mereka para pelaku oplosan dan oknum pedagang nakal adalah mereka yang pengangguran dan tidak mendapatkan lahan pekerjaan yang layak, setelah mereka menuntut ilmu sekian lama. Entahlah apalagi yang akan diperbuat oleh para oknum pedagang nakal tersebut, saya hanya dapat mengajak untuk berpikir lebih jauh lagi, tentang sebuah tulisan bijak Thomas Robert Dewar, "Pikiran manusia seperti parasut, hanya berpikir ketika parasut terbuka"
Matinya sebuah privasi (Februari 2011)
Beberapa hari yang lalu saya menerima 11 sms penawaran melalui agen telemarketing, dan 4 panggilan telepon. Dan semua itu terjadi dalam waktu 1 HARI. Lucunya lagi saya menerimanya pada hari sabtu (red. 19 feb 2011) yang notabenenya adalah hari libur, hari saatnya beristirahat dan kumpul bersama keluarga.
Sampai saat ini saya telah menerimia penawaran baik per sms atau telepon; KTA, asuransi, kartu hutang (red.cerdit card), tawaran nonton konser, info jodoh, tawaran psk, solusi keuangan praktis, jasa ramalan masa depan, undian berkedok penipuan hingga mama-papa minta pulsa. Saya yakin para pembaca pun juga mengalaminya atau setidaknya pernah.
Tidak hanya siang, bahkan malam hari buta hingga subuh pun juga diusik. Saya bertanya tanya apakah mereka para wiraniaga/telemarketing tersebut tidak mengerti sebuah ETIKA? Sampe sampe untuk menawarkan produk tersebut harus dilakukan malam hari jam 22.28 (rekaman dan nomor telepon masih saya simpan, sebagai alat bukti). Argumentasi yang sering mereka katakan adalah TARGET dan SHIFT
Jika mereka berasumsi pada target, maka mereka bekerja untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kebutuhan calon pelanggannya. Jika sampai ini terjadi, cara apa pun pasti akan dihalalkan. Saya pastikan dengan cara seperti ini banyak pelanggan menjadi tidak simpatik. Bagaimana tidak, mereka yang bekerja orientasinya adalah mendatangkan calon pelanggan sebanyak banyaknya tanpa mempedulikan masalah dan solusi pelanggan, seandainya pelanggan ada yang complaint, mereka pun lari dari tanggung jawab, bahkan nomor telepon bisa dipastikan diganti.
Shift. Itulah resiko pekerjaan yang harus mereka terima, jangan dibebankan kepada orang atau calon pelanggan. Anda kebagian waktu kerja malam (red. 19.00 sampai 05.00) itu resiko pekerjaan, kenapa anda mau terima? Jika itu bertentangan dengan hati nurani! Bukankah anda sudah tahu sebelumnya bahwa waktu tersebut adalah waktunya sebagian besar calon pelanggan anda untuk beristirahat dan kumpul bersama keluarga? Tak segan segan, hingga berkunjung ke rumah calon pelanggan pun dilakukan, seolah memaksakan calon pelanggan mengikuti waktu/jam kerja para pemburu target bulanan (red. marketing/sales/wiraniaga/telemarketing/account executive, apa pun itu namannya).
Kali ini saya tidak akan memberikan pemecahan masalah atau memotivasi anda, silahkan anda renungkan sendiri. Bukankah anda sering mengatakan dengan tulisan "KAMI SIAP MEMBANTU SEMUA PERMASALAHAN ANDA", apa artinya? Anda adalah manusia tanpa masalah. Seharusnya anda bisa mengatasinya sendiri. Cobalah sekali kali anda bekerja diluar jam kerja baku anda. Jangan pernah memaksakan calon pelanggan anda untuk mengikuti waktu/jam kerja anda. Kalau anda tidak mau di banded atau di black list seumur hidup anda.
Menurut berbagai sumber yang saya peroleh, mereka (red. Wiraniaga/telemarketing, apapun namannya yang dikeren-kerenkan...) mendapatkan data dan informasi dari banyak cara. Umumnya dari data base yang diperjual belikan oleh berbagai pihak perbankan, asuransi, telepon selular, rumah sakit, dll. Sungguh ironis, data data yang sifatnya pribadi dan rahasia sekarang sudah dapat berpindah tangan dengan jaminan uang sebagai alat pelicinnya.
Bosan dan sebal telah tertanam dibenak saya setiap menerima sms atau telepon seperti itu. Saya pun mengganti nomor telepon baru. Benar dugaan saya, baru beberapa jam saya mengaktifkan nomor baru tersebut, saya telah menerima 2 sms penawaran KTA dan 1 panggilan telepon menawarkan asuransi. Entahlah apa yang akan saya lakukan selanjutnya untuk kedepan. Mungkin beberapa bulan kedepan saya akan menonaktifkan semua telepon selular yang saya miliki. Dan menggantinya dengan komunikasi telepati.
Sungguh saya sudah sangat terganggu dengan sekelompok pemburu target bulanan, yang tanpa ETIKA. Cobalah anda renungkan, jika saya mengganggu waktu istirahat anda pada hari libur dan diatas pukul 9 malam, apa yang akan anda lakukan?
Anda boleh berbangga bisa membeli data-data calon pelanggan dengan uang, tapi anda juga harus menerima hilangnya simpatik calon pelanggan kepada anda.
Menanggapi email pembaca (Februari 2011)
Baru-baru ini saya menerima 3 email dari pembaca setia saya. Email tersebut menanggapi tulisan ringan saya "sang oportunist" dan "telephone misterius".
Sah sah saja untuk berkomentar dan berpendapat, bisa dalam bentuk saran, motivasi atau kritikan.
Dua dari email tersebut berisikan tentang kritikan dan cercaan. Bagaimana tidak, isinya mengatakan saya adalah orang yang menyiayiakan jasa wanita penghibur. Seharusnya saya menanggapinya, bukan justru menolaknya. Para pemberi komentar tersebut pun juga menanyakan pada saya nomor telephon ybs (red. wanita misterius itu). Ya... Apa pun itu adalah pendapat mereka para pria hidung belang yang sampai detik ini merasa kesepian atau tidak mendapatkan pelabuhan hati. Untuk yang satu ini saya tidak banyak berkomentar, mungkin nanti mr.sifilis atau uncle aids yang akan menyadarkannya.
Yang menarik perhatian saya adalah email satu lagi, begini isi tulisannya,
"Isi blognya bagus, cuman kenapa anda selalu mendiskriminasi profesi psk? Suka atau tidak kami ada didunia. Kami ingin dihargai profesi kami"
Menanggapi email pembaca tadi, saya yakin 101% email tersebut dikirimkan oleh seorang wanita yang berprofesi psk.
Hampir 2 hari lamanya saya menyiapkan email balasan dengan kata-kata bijak dan memotivasi dia (red. pengirim email tsb). Ternyata tidak mudah bagi saya me-replay email tersebut. Saya berusaha memahami pilihan dan keputusan tersebut, walaupun terasa aneh bagi saya. Mungkin mereka mempunyai alasan tepat, meskipun bertentangan dengan nilai norma.
Begini isi replay email saya,
Terima kasih telah membaca tulisan saya dan komentarnya. Hanya saja ada beberapa pertanyaan utuk anda renungkan,
• Apa yang akan anda lakukan jika kisah tsb terjadi pada anak gadis anda?
• Apakah anda akan mendongengkan kisah hidup anda kepada cucu, setiap tidur malam?
• Apakah ketika anda kecil bercita cita menjadi psk?
Tidak ada kata terlambat. Sebelum ajal menjemputmu! Saya yakin anda memilih profesi ini lebih karena uang, mencari kepuasan yang semu, membeli kebahagiaan yang instant. Tapi coba anda pikirkan jika uang tidak dapat membeli kebahagiaan. Hanya derita dan penyakit yang menemani hidup anda. Bukannya tidak ada pekerjaan yang tepat untuk anda, hanya saja anda hanya berenang dalam mencarinya, cobalah sekali kali anda menyelam lebih dalam, keindahan itu terletak di dasar laut. Semoga jawaban saya memberikan pencerahan bagi anda.
Memang sudah waktunya untuk Tuhan mengakhiri kehidupan dialam semesta.
Yang tabu sudah menjadi lumrah.
Yang biasa pun menjadi aneh.
Saya pun sependapat dengan tulisan saudara gede prama;"bertahun tahun aku mengetuk pintu-MU, lama tidak dibuka, ketika terbuka, aku baru sadar ternyata aku mengetuknya dari dalam"
Belajar miskin (Februari 2011)
Baru baru ini saya mencari data tentang besarnya angka kemiskinan di Inndonesia yang bertujuan untuk menyelesaikan buku saya. Dari semua sumber yang saya temui tidak ada satu pun yang menuliskan satuan yang tepat, hampir semua meuliskan kata "kisaran", jadi saya pun mengambil nilai rata rata. Angka kemiskinan untuk 2010 mengalami penurunan sebesar 0.65% dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 14.15%, untuk 2011pemerintah menargetkan penurunan angka kemiskinan sebesar 13%. yang membuat saya bertanya adalah kenyataan dilapangan sering kali berbanding terbalik dengan data yang tercatat,. Banyaknya anak anak yang putus sekolah menjadi pertimbangan saya untuk melakukan penelitian kecil, belum lagi dengan daya beli masyarakat kecil yang masih rendah, banyaknya mayarakat kecil mengakhiri hidupnya dengan cara sendiri karena tidak sanggup lagi menanggung beban ekonomin. Sah saja pemerintah mengklaim angka kemiskinan turun tiap tahunnya, yang tadinya miskin sekarang menjadi melarat. Dengan kata lain "angka kemiskinan turun, tetapi angka kemelaratan meningkat".
Berbicara kemiskinan dan kesuksesan saya jadi teringat nasihat bijak orang tua dulu yang mengatakan; "Kesuksesan tidak akan terjadi jika ia belum pernah jatuh". Dan, "Kemapanan tidak akan terjadi jika ia tidak pernah mengalami masa-masa sulit". Banyak orang besar yang telah sukses justru adalah orang yang tidak punya (red. Miskin). Walaupun ada banyak juga orang sukses karena warisan dari leluhurnya. Untuk yang satu ini saya tidak akan bicara banyak.
Saya dapat memaklumin jika orang yang dulunya miskin, setelah sukses atau kaya, menjadi sombong. Wajar saja, karena mereka telah melewati dua masa; masa sulit dan masa sukses. Mereka lalui dengan mental yang kuat dan keuletan. Mereka pun telah berhasil mengubah paradigma orang miskin tidak bisa menjadi kaya. Tapi justru akan aneh, jika sudah miskin sombong. Atau orang kaya karena warisan leluhurnya dan tetap saja sombong. Apa yang akan mereka banggakan? Ibarat bertarung, seperti main kroyokan.
Untuk menjadi kaya, sukses, mapan tidak perlu belajar, saya dapat katakan kaya itu mudah. Karena kita pasti dapat melaluinya, apalagi jika ditukar dengan uang untuk membeli kebahagiaan dan kepuasan. Mental manusia pun sanggup menyesuaikan secara cepat dengan kesuksesan. Aktualisasi diri pun berada dalam genggaman.
Namun, belajar miskin tidaklah semudah teorinya; sabar dan sabar. Perlu adanya pembinaan mental yang tangguh, jiwa yang kuat, hati yang besar dan batin yang sabar. Lingkungan tempat tinggal dan tempat menuntut ilmu (red. sekolah) pun berperan penting dalam pembinaan metal yang tangguh. Tidak ada metode pembelajaran instant untuk kedua masalah tersebut, hanya proses waktu yang akan mengajarkan kita untuk mengerti maknanya. Seperti roda yang berputar, kadang diatas, kadang dibawa. Ketika dibawa, roda itu harus cepat untuk kembali keatas; caranya bagaimana? Hanya mereka yang memilki mental baja dan keuletan.
Banyak contoh didunia orang yang awalnya kaya, lalu kemudian jatuh miskin atau mengalami masa-masa sulit, cenderung menjadi depresi dan stress, terlebih jika mereka harus keluar dari lingkungannya. Bahkan ada saja yang mengalami gangguan mental (red. gila). Berbeda dengan orang yang awalnya miskin, kemudian menjadi kaya. Kecendrungan untuk sombong pun besar, tapi karena keuletan dan mental bajanya yang membuat saya maklum. Mahalnya menanam keuletan dan sulitnya memupuk mental, yeng membuat mereka patut untuk bangga.
Keberhasilan tidak saja diukur dari seberapa besar manusia itu mempunyai harta atau uang. Tetapi, bagaimana manusia mempergunakan sebijaksana mungkin dan mensyukuri nikmat yang ada. iItulah tanda-tanda kemapanan. Begitu pun dengan kesuksesan, hanya berlaku untuk mmereka yang tangguh menghadapi masa-masa sulit, bermental baja, optimis. Kita dapat melihat mental manusia tersebut pada saat mereka sedang jatuh. Dan membutuhkan berapa lama mereka untuk bangkit dari jatuhnya.
Kaya-miskin adalah warna dari kehidupan, suka atau tidak, keberadaannya ada diantara kita.
Tips menurunkan berat badan (Februari 2011)
Sudah sejak 3 bulan terakhir ini saya sangat rutin berolah raga, khususnya lari (red.jogging) dan jalan kaki. Trend bike to work atau gowes tidak membuat hati saya tergerak, ada 2 alasan saya :
• Kalori yang terbakar masih jauh lebih sedikit daripada lari/jogging
• Sepeda saya yang sudah uzur (red. karatan)
Lari pagi dan sore menjadi pilihan olahraga saya tiap hari, dalam seminggu saya memili 3 hari untuk istirahat lari/jogging dan diganti dengan jalan kaki muterin komplek sejauh 3 km (tujuannya agar badan tidak over training). Aktifitas lari pagi saya awali jam 05.30 dengan lari sejauh 2 km, dan pada sore harinya jam 16.00 sejauh 1 km.
Ini hasilnya, (rata rata)
• Jalan kaki 3 km : 192 kal *
• Lari pagi 2 km : 476 kal *
• Lari sore 1 km : 263 kal *
Yang membuat saya merasa olah raga rutin kurang maksimal adalah berat badan saya yang relatif stabil 82 kg. Sudah sejak 3 bulan, tetapi sangat sedikit penurunannya, paling paling cuman 1/2 kg sampai 1k g. Pola makan pun sudah saya rubah,
• Perbanyak makanan berprotein
• Stop makanan yang digoreng
• Beralih dari nasi putih ke beras merah
• Stop minuman bersoda dan kafein
• Susu low fat tiap pagi
• Stop makanan berlemak
Hasilnya tetap 81-82 kg, dengan tinggi 175 cm seharusnya saya tidak perlu khawatir, toh masih ideal. Namun saya mempunyai target untuk berada diangka 75-78 kg.
Sudah 2 hari ini saya terkena diare, mungkin saya salah makan atau mengkonsumsi makanan yang terlalu amat pedas. Kegiatan olahraga saya kurangi ferkuensinya untuk sementara waktu, saya hanya melakukan kegiatan jalan kaki dipagi hari atau soer hari, tergantung kondisi badan. Hasilnya timbangan saya turun dratis menjadi 78 kg. Wow... Sungguh di luar bayangan saya, pasti ini dampak dari DIARE. Dalam 2 hari sudah kurang 4k g, 20 hari badan akan menjadi 42 kg, lama lama akan wafat, jika dibiarkan saja. (Saya sangat tidak menganjurkan cara seperti ini)
Pada akhirnya saya berkesimpulan untuk mengurangi berat badan ada 4 tips,
• Olah raga secara teratur, ubah pola makan
• Jadilah peserta reality show "the biggest is loser"
• Terkena diare 2 hari
• Operasi sedot lemak (khusus untuk anda yang sudah hopeless/frustasi)
Silahkan mau pilih yang mana?
* tracking calories endomondo workout
Menjual agama demi politik (rev. Februari 2011)
Sinopsis dari catatan ringan yang saya kumpulkan menjadi sebuah buku.
Setelah saya menunggu hampir 3 bulan lamanya, email balasan masuk ke inbox saya. Harapan memang tidak selalu sama dengan kenyataan. Saya berharap agar naskah tulisan saya dapat diterima kemudian dipublikasikan dengan cetakan buku, ternyata tidak demikian.
"Kami telah membaca tulisan naskah saudara, dan kami juga sudah berdiskusi dengan tim publiser kami. Untuk saat ini kami belum berminat untuk mencetak dan menerbitkan sebuah buku dari naskah saudara. Kumpulan tulisan anda sebenarnya menarik, namun kami memutuskan untuk tidak mengambil resiko, karena merujuk pada salah satu partai peserta politik 2009. Tetap terus berkarya". Begitu isi email balasan yang disertai attachment naskah saya yang telah mendapat sedikit penyuntingan.
Apa yang salah dengan isi tulisan saya?
Keberadaan tokoh agama saat ini sangatlah sentral, bergulirnya era reformasi yang mengantikan orde lama yang kemudian terjadi gelombang people power telah berhasil meluluh lantakan kekuasaan, perekonomian, stabilitas, arah peta politik, dll. Para tokoh agama pun dianggap sebagai jembatan penghubung antara rakyat dan elit politik. Karena sifatnya yang netral dan tidak memiliki kepentingan pribadi/kelompok. Rakyat pun menerima dengan tangan terbuka, dan bahkan lebih merasa "suara rakyat" terwakilkan.
Beramai ramai tiap daerah, suku, golongan menampilkan panutan hidupnya (red. tokoh agama). Dari mulai rakyat jelata, ibu rumah tangga, mahasiswa, guru spiritual, selebriti, pejabat hingga elit politik.
Berjalannya waktu, keberadan para tokoh agama mulai diperhitungkan oleh beberapa partai politik yang melihat para tokoh tersebut mampu memberikan pengikut dan masa dalam jumlah banyak (bahkan ada yang melebihi simpatisan sebuah partai politik). Disinilah peran sebuah partai politik untuk menang dalam pemilihan legislatif, mancari pendukung dan simpatisan. Salah satu caranya dengan merangkul tokoh agama yang menjadi panutan masyarakat.
Para tokoh agama sepertinya telah lupa dengan tugas utamanya, yang jauh dari tanggung jawab primordial dalam konteks kehidupan beragama dan berbangsa. Agama yang sejatinya menjadi rahmat ke seluruh alam dan negeri berubah menjadi arena jual beli. Mereka pun tengah sibuk dengan pembagian kekuasaan dan pundi pundi uang. Target untuk mendatangkan suara dalam pemilihan umum pun mulai dilakukan oleh para tokoh agama tersebut.
Tuhan dan agama telah digadaikan untuk mencari kekuasaan. Keberadaan para tokoh agama pun lebih banyak memberikan mudharatnya daripada manfaatnya. Terlebih ketika salah satu partai politik yang diasuh oleh tokoh agama tersebut kalah dalam pemilihan umum. Mereka seperti mendown-gradekan status keulamaan mereka sendiri, tak lebih dari para selebriti yang tengah mencari muka.
Kini menjelang 1 dekade (baca. ketika buku ini gagal dipublikasikan awal februari 2009), setelah era reformasi digulirkan banyak para tokoh agama yang mengadu nasib dan peruntungan menjadi presiden, setelah gagal menjadi calon legislatif.
Ada yang kalah dan ada yang menang, selanjutnya apa yang akan mereka lakukan dengan agama yang dipolitisasikan?
Setelah saya menunggu hampir 3 bulan lamanya, email balasan masuk ke inbox saya. Harapan memang tidak selalu sama dengan kenyataan. Saya berharap agar naskah tulisan saya dapat diterima kemudian dipublikasikan dengan cetakan buku, ternyata tidak demikian.
"Kami telah membaca tulisan naskah saudara, dan kami juga sudah berdiskusi dengan tim publiser kami. Untuk saat ini kami belum berminat untuk mencetak dan menerbitkan sebuah buku dari naskah saudara. Kumpulan tulisan anda sebenarnya menarik, namun kami memutuskan untuk tidak mengambil resiko, karena merujuk pada salah satu partai peserta politik 2009. Tetap terus berkarya". Begitu isi email balasan yang disertai attachment naskah saya yang telah mendapat sedikit penyuntingan.
Apa yang salah dengan isi tulisan saya?
Keberadaan tokoh agama saat ini sangatlah sentral, bergulirnya era reformasi yang mengantikan orde lama yang kemudian terjadi gelombang people power telah berhasil meluluh lantakan kekuasaan, perekonomian, stabilitas, arah peta politik, dll. Para tokoh agama pun dianggap sebagai jembatan penghubung antara rakyat dan elit politik. Karena sifatnya yang netral dan tidak memiliki kepentingan pribadi/kelompok. Rakyat pun menerima dengan tangan terbuka, dan bahkan lebih merasa "suara rakyat" terwakilkan.
Beramai ramai tiap daerah, suku, golongan menampilkan panutan hidupnya (red. tokoh agama). Dari mulai rakyat jelata, ibu rumah tangga, mahasiswa, guru spiritual, selebriti, pejabat hingga elit politik.
Berjalannya waktu, keberadan para tokoh agama mulai diperhitungkan oleh beberapa partai politik yang melihat para tokoh tersebut mampu memberikan pengikut dan masa dalam jumlah banyak (bahkan ada yang melebihi simpatisan sebuah partai politik). Disinilah peran sebuah partai politik untuk menang dalam pemilihan legislatif, mancari pendukung dan simpatisan. Salah satu caranya dengan merangkul tokoh agama yang menjadi panutan masyarakat.
Para tokoh agama sepertinya telah lupa dengan tugas utamanya, yang jauh dari tanggung jawab primordial dalam konteks kehidupan beragama dan berbangsa. Agama yang sejatinya menjadi rahmat ke seluruh alam dan negeri berubah menjadi arena jual beli. Mereka pun tengah sibuk dengan pembagian kekuasaan dan pundi pundi uang. Target untuk mendatangkan suara dalam pemilihan umum pun mulai dilakukan oleh para tokoh agama tersebut.
Tuhan dan agama telah digadaikan untuk mencari kekuasaan. Keberadaan para tokoh agama pun lebih banyak memberikan mudharatnya daripada manfaatnya. Terlebih ketika salah satu partai politik yang diasuh oleh tokoh agama tersebut kalah dalam pemilihan umum. Mereka seperti mendown-gradekan status keulamaan mereka sendiri, tak lebih dari para selebriti yang tengah mencari muka.
Kini menjelang 1 dekade (baca. ketika buku ini gagal dipublikasikan awal februari 2009), setelah era reformasi digulirkan banyak para tokoh agama yang mengadu nasib dan peruntungan menjadi presiden, setelah gagal menjadi calon legislatif.
Ada yang kalah dan ada yang menang, selanjutnya apa yang akan mereka lakukan dengan agama yang dipolitisasikan?
Sang oportunist (Februari 2011)
Nama dan tempat kejadian disamarkan, agar tidak
menimbulkan polemik.
11 februari 2011; saya dipanggil oleh direksi di kantor pusat tempat saya bekerja pada salah satu maskapai swasta terbesar di Indonesia. Pada hari itu bertepatan dengan hari jumat, yang artinya 30 menit lebih awal dari istirahat siang harus menunaikan ibadah jumatan (red. Sholat jumat). Tepat jam dua belas kurang tiga puluh lima menit, pertemuan kami pun selesai. Saya pun melanjutkan untuk jumatan (red. Sholat jumat).
Perjalanan saya menuju ke tempat parkir mobil (kebetulan letaknya di belakang gedung kantor) berjarak 15 meter dari pintu utama gedung, untuk berjumatan bersama rekan kantor. Karena letak jumatan agak jauh, maka kami memutuskan untuk bawa mobil guna mempersingkat waktu. Ketika jarak kurang dari 5 meter dari kendaraan, saya pun dicegat oleh dua orang wanita, kelihatannya mereka seorang wiraniaga. Ya… benar seorang wiraniaga salah satu produk alat minum yang terbuat dari plastik xxxxxxx (merk produk tersebut saya samarkan). Terjadilah percakapan….
W1 : wiraniaga pertama
W2 : wiraniaga kedua
S : saya
W1 : Siang pak, maaf menggangu waktunya sebentar, boleh?
(belum sempat saya menjawab)
W2 : bapak tidak buru burukan?
(belum sempat saya menjawab, W1 sudah mengeluarkan dagangannya)
W1 : kami mau menawarkan xxxxxxxx (merk produk), murah pak cuan 35.000
S : terima kasih mba, lain kali saja.
W1 : murah kok pak, tidak dimahalin….
S : makasih mba, saya mau jumatan dulu
W2 : sebentar aja pak, cuman 35.000 aja. Itung-itung sedekah
(W2 sambil menahan pintu mobil saya)
S : lain kali aja ya mba…. Saya mau jumatan dulu
W1 : iya pak kasihani kami, dari pagi belum ada yang laku sedikit pun
W2 : kami aja sampe sekarang belum sarapan
S : maaf tidak dulu mba… terima kasih
Entah kenapa saya ketika itu agak berat untuk membeli produk tersebut, padahal uang didompet saya bisa untuk membeli 10 produk tersebut. Rasanya ingin saya menyudahi percakapan tersebut. Sebenarnya cukup membeli 1 produk tersebut, sudah selesai. Dan saya bisa melanjutkan aktifitas saya, tidak perlu dengar keluh kesah mereka.
W1 : tolongin kami donk pak…
W2 : ya sudah kalau bapak tidak mau membeli produk kami ya, tidak apa apa. Tapi bapak mau menolong kami ya? Nanti kami bonusin xxxxxxx (nama produk yang mereka tawarkan)
S : maksudnya? Gimana ya?
W2 : kami perlu uang pak, buat bayar kos kosan dan makan. Ngertikan maksud saya?
S : nggak!
(dengan nada yang mulai agak tinggi)
W1 : aduh bapak masak tidak tahu? Gini deh, kita check-in dulu deh di hotel seberang, biar bapak ngerti. Terserah bapak, mau ngasih berapa, yang penting kami bisa bertahan hidup di xxxxxxx (nama kota)
Saya sudah mulai mengerti arah pembicaraan ini… saya berpikir dalam hati, apa yang salah dengan mereka? Mereka melakukan segala hal untuk mencapai tujuan, demi produk laku dan target tercapai, harga diri pun digadaikan. Padahal kalau melihat paras dan penampilan mereka, rasanya jauh dari prilaku menyimpang. Ya… mereka berparas wajah timur tengah dan mengenakan penutup wajah (red. Jilbab). Bukankah mereka seharusnya malu dengan dirinya? berpenampilan seperti itu! dan juga merayu orang yang hendak jumatan!
S : gini ya mba mba…. Kalian buka saja itu kerudung, lalu kalian cari makan siang, sop babi!!!
(dengan nada yang agak tinggi)
W1 : bapak yang traktir ya?
S : kalian seharusnya malu sama diri sendiri.
W2 : abis gimana pak, tuntutan hidup….
W1 : gimana pak? Mau tidak nolongin kami? Kasihani kami pak….
S : TIDAK!
(kali ini benar benar habis kesabaran saya, sampe sampe tukang parkir pun ikut membubarkan 2 orang wiraniaga tersebut)
W1 : bapak apa tidak kasian sama kami? Jika kami mati kelaparan?
Entah apa yang saya pikirkan saat itu, seharusnya saya tidak perlu memperdulikan ucapan mba mba oportunis tersebut.
S : HEI !!! Dengar baik baik! 30 tahun dari sekarang, apa kalian tidak kasian pada anak dan cucu kalian, ketika mengetahui bahwa eyangnya seorang pelacur? Banyak yang bisa kalian lakukan daripada "merek".
S : kamu renungkan itu!!!
Tak ada kalimat yang keluar dari mba mba wiraniaga oportunist tersebut, bahkan sepatah kata pun rasanya tidak. Hanya tertunduk lesu, entah apa yang dipikirkannya. Mudah mudahan kalimat saya terakhir tidak sekedar ucapan kosong belaka. Kami pun akhirnya meninggalkan tempat itu.
Tuntutan hidup terkadang membuat manusia untuk tidak punya pilihan
Manusia pun sering memilih jalan pintas dalam menggambil keputusan
Bahkan kesabaran pun rasanya telah dibeli dengan uang
Ya... seperti itulah kehidupan kota megapolitan yang menganut falsafah, "mencari uang haram saja susah, apalagi uang halal". Kalau boleh saya mengutip tulisan W Churchill, “Kita hidup dari apa apa yang kita peroleh. Dan menciptakan kehidupan melalui apa apa yang kita beri"
11 februari 2011; saya dipanggil oleh direksi di kantor pusat tempat saya bekerja pada salah satu maskapai swasta terbesar di Indonesia. Pada hari itu bertepatan dengan hari jumat, yang artinya 30 menit lebih awal dari istirahat siang harus menunaikan ibadah jumatan (red. Sholat jumat). Tepat jam dua belas kurang tiga puluh lima menit, pertemuan kami pun selesai. Saya pun melanjutkan untuk jumatan (red. Sholat jumat).
Perjalanan saya menuju ke tempat parkir mobil (kebetulan letaknya di belakang gedung kantor) berjarak 15 meter dari pintu utama gedung, untuk berjumatan bersama rekan kantor. Karena letak jumatan agak jauh, maka kami memutuskan untuk bawa mobil guna mempersingkat waktu. Ketika jarak kurang dari 5 meter dari kendaraan, saya pun dicegat oleh dua orang wanita, kelihatannya mereka seorang wiraniaga. Ya… benar seorang wiraniaga salah satu produk alat minum yang terbuat dari plastik xxxxxxx (merk produk tersebut saya samarkan). Terjadilah percakapan….
W1 : wiraniaga pertama
W2 : wiraniaga kedua
S : saya
W1 : Siang pak, maaf menggangu waktunya sebentar, boleh?
(belum sempat saya menjawab)
W2 : bapak tidak buru burukan?
(belum sempat saya menjawab, W1 sudah mengeluarkan dagangannya)
W1 : kami mau menawarkan xxxxxxxx (merk produk), murah pak cuan 35.000
S : terima kasih mba, lain kali saja.
W1 : murah kok pak, tidak dimahalin….
S : makasih mba, saya mau jumatan dulu
W2 : sebentar aja pak, cuman 35.000 aja. Itung-itung sedekah
(W2 sambil menahan pintu mobil saya)
S : lain kali aja ya mba…. Saya mau jumatan dulu
W1 : iya pak kasihani kami, dari pagi belum ada yang laku sedikit pun
W2 : kami aja sampe sekarang belum sarapan
S : maaf tidak dulu mba… terima kasih
Entah kenapa saya ketika itu agak berat untuk membeli produk tersebut, padahal uang didompet saya bisa untuk membeli 10 produk tersebut. Rasanya ingin saya menyudahi percakapan tersebut. Sebenarnya cukup membeli 1 produk tersebut, sudah selesai. Dan saya bisa melanjutkan aktifitas saya, tidak perlu dengar keluh kesah mereka.
W1 : tolongin kami donk pak…
W2 : ya sudah kalau bapak tidak mau membeli produk kami ya, tidak apa apa. Tapi bapak mau menolong kami ya? Nanti kami bonusin xxxxxxx (nama produk yang mereka tawarkan)
S : maksudnya? Gimana ya?
W2 : kami perlu uang pak, buat bayar kos kosan dan makan. Ngertikan maksud saya?
S : nggak!
(dengan nada yang mulai agak tinggi)
W1 : aduh bapak masak tidak tahu? Gini deh, kita check-in dulu deh di hotel seberang, biar bapak ngerti. Terserah bapak, mau ngasih berapa, yang penting kami bisa bertahan hidup di xxxxxxx (nama kota)
Saya sudah mulai mengerti arah pembicaraan ini… saya berpikir dalam hati, apa yang salah dengan mereka? Mereka melakukan segala hal untuk mencapai tujuan, demi produk laku dan target tercapai, harga diri pun digadaikan. Padahal kalau melihat paras dan penampilan mereka, rasanya jauh dari prilaku menyimpang. Ya… mereka berparas wajah timur tengah dan mengenakan penutup wajah (red. Jilbab). Bukankah mereka seharusnya malu dengan dirinya? berpenampilan seperti itu! dan juga merayu orang yang hendak jumatan!
S : gini ya mba mba…. Kalian buka saja itu kerudung, lalu kalian cari makan siang, sop babi!!!
(dengan nada yang agak tinggi)
W1 : bapak yang traktir ya?
S : kalian seharusnya malu sama diri sendiri.
W2 : abis gimana pak, tuntutan hidup….
W1 : gimana pak? Mau tidak nolongin kami? Kasihani kami pak….
S : TIDAK!
(kali ini benar benar habis kesabaran saya, sampe sampe tukang parkir pun ikut membubarkan 2 orang wiraniaga tersebut)
W1 : bapak apa tidak kasian sama kami? Jika kami mati kelaparan?
Entah apa yang saya pikirkan saat itu, seharusnya saya tidak perlu memperdulikan ucapan mba mba oportunis tersebut.
S : HEI !!! Dengar baik baik! 30 tahun dari sekarang, apa kalian tidak kasian pada anak dan cucu kalian, ketika mengetahui bahwa eyangnya seorang pelacur? Banyak yang bisa kalian lakukan daripada "merek".
S : kamu renungkan itu!!!
Tak ada kalimat yang keluar dari mba mba wiraniaga oportunist tersebut, bahkan sepatah kata pun rasanya tidak. Hanya tertunduk lesu, entah apa yang dipikirkannya. Mudah mudahan kalimat saya terakhir tidak sekedar ucapan kosong belaka. Kami pun akhirnya meninggalkan tempat itu.
Tuntutan hidup terkadang membuat manusia untuk tidak punya pilihan
Manusia pun sering memilih jalan pintas dalam menggambil keputusan
Bahkan kesabaran pun rasanya telah dibeli dengan uang
Ya... seperti itulah kehidupan kota megapolitan yang menganut falsafah, "mencari uang haram saja susah, apalagi uang halal". Kalau boleh saya mengutip tulisan W Churchill, “Kita hidup dari apa apa yang kita peroleh. Dan menciptakan kehidupan melalui apa apa yang kita beri"
Wisata kematian (Februari 2011)
"Setiap yang berjiwa akan merasakan mati... " QS. Al Anbiyaa : 35
Tidak dipungkiri lagi, setiap kali datangnya kematian selalu meninggalkan rasa duka yang mendalam, apalagi ketika ditinggal oleh orang yang kita cintai. Datangnya berita tentang kematian sering membuat kita takut, entah karena kita merasa belum siap atau karena kita masih berlumuran dosa. Tak berlebihan jika kita ingin menyelami makna dibalik itu. Pertanyaannya adalah kenapa harus ada kehidupan jika kematian selalu menimbulkan efek sedih dan duka?
Saya jadi teringan tulisan Nietzsche, "Jika Tuhan telah mati dan agama pun dipandang tidak layak lagi hidup, lalu apakah manusia sudah tidak memerlukan agama dan Tuhan lagi". Sepintas argumentasi Nietzsche terkesan sombong, dan saya pun bertanya dalam hati. Apa yang akan manusia lakukan, jika setelah kematian ternyata tidak ada kehidupan abadi? Atau setelah kematian ternyata tidak ada surga dan neraka?
Karena kematian sering digambarkan dengan sesuatu yang menakutkan dan mengerikan, sehingga manusia cenderung lebih memilih tidak mau memikirkannya dan lebih ingin menikmati kehidupan didunia selamanya. Namun ironisnya, janji janji yang ditawarkan kenikmatan dunia sendiri yang membutakan kematian.
Banyaknya referensi bacaan tentang kematian membuat saya berpikir seperti apakah perjalanan kematian itu? Mengerikan atau justru menyenangkan. Seorang kawan yang pernah mengalami perjalanan mati suri menuturkan perjalanan tersebut seperti layaknya tidur dan bermimpi, apakah mimpi itu indah atau buruk tergantung pada pribadinya masing masing.
Kematian terasa menakutkan karena sebenarnya kita belum pernah mengalami perjalanan tersebut. Sama halnya seperti jatuh, kita akan mengatakan jatuh itu sakit jika kita belum pernah jatuh. Tetapi jika kita jatuhnya di kasur? Atau jatuhnya tidak menimbulkan luka, apakah akan sakit juga?
Dapat anda bayangkan jika seorang anak pergi bermain tanpa pamit kepada orang tuannya, apa yang ada diperasaan oarang tua tersebut? Kecewa, panik atau mungkin sedih. Berbeda jika kepergian sang anak untuk bermain disertai dengan pamit, tak ada rasa gelisah dan panik dihati orang tua tersebut. Mungkin. Kepergian sang anak tersebut juga disertai dengan membawakan bekal makanan ringan, minuman, dll.
Begitu pun dengan kematian, saya berpikir bahwa perjalanan wisata kematian hanya dengan 2 cara, yaitu
• Tanpa pamit
• Dengan pamit
Apa dan bagaimana pun cara yang dipilih untuk perjalanan kematian tersebut, yang pada akhirnya mati. Andai kita tahu kapan perjalana kematian itu tiba, tentu saja kita akan mempersiapkan jauh sebelum hari H-nya. Namun wisata kematian tetaplah akan menjadi misteri Tuhan.
Sebagai contoh; Jika anda di panggil oleh presiden, bagaimana perasaan anda? Senang atau takut? Mungkin lebih banyak yang mengatakan senang daripada takut. Nah, bagaimana jika anda di panggil oleh Tuhan sang pencipta manusia dan alam, apakah takut atau senang?
Salah satu tulisan komaruddin hidayat, yang membuat saya memahami makna perjalanana wisata ini adalah,
"Biarkanlah orang tertawa ketika engkau keluar dari rahim ibumu dan memulai kehidupan ini dengan jeritan tangis. Tetapi buatlah mereka menangis sedangkan engkau tertawa ketika engkau mengakhiri hidupmu di dunia ini tatkala ajal menjemputmu".
Selamat berwisata
Rasa tergantung bumbu (Februari 2011)
Beberapa hari terakhir ini, baik keluarga, sahabat mengusulkan kepada saya untuk mengikuti program acara realty show pada salah satu tv swasta "master chef". Karena saya mempunyai kegemaran masak dan membikin ramuan masakan baru, sebenarnya usulan tersebut sangat menarik buat saya. Entah kenapa saya seolah enggan mengikuti acara tersebut dan ingin menikmatinya sendiri bersama orang pilihan.
Makanan telah menjadi kebutuhan primer, baik itu kaya-miskin, bahkan belahan dunia paling ujung pun tak lepas dengan kebiasaan ini (red. makan). Sedikit umat manusia yang mau menyelami makna dibalik sebuah masakan. Terkadang kita hanya tahu bagaimana makanan itu jadi dan siap diolah oleh perut melalui mulut (baca. Disantap) namun sedikit dari kita yang tahu bagaimana makanan itu diolah sebelum siap disajikan.
Saya jadi teringat penjaja makanan kaki lima disalah satu sudut kota metropolitan. Makanan yang sempat laris manis dan membuat antri pembelinya. Takk terkecuali saya, juga dibuat antri untuk menuyantapnya. Gultik, nama masakan nasi gule, yang mengambil nama dari gule tikungan. Entah bagaimana ceritanya hingga sampai ke telinga saya bahwa makanan tersebut bukan gule daging sapi tetapi gule tikus (gultik). Perlahan lahan penjaja makanan kaki lima tersebut akhirnya gulung tikar, hanya karena isu miring.
Apa yang salah dengan tikus? Ok, saya mengambil contoh tikus sawah (ingat tikus sawah, bukan tikus GOT!). Tikus sawah adalah hewan herbivora (baca. pemakan tumbuh tumbuhan), padi adalah salah satu konsumsinya. Ayam adalah hewan omnivora, dengan kata lain ayam suka makan beras, biji jagung, dedak, rumput kering, bahkan cacing, terkadang ayam juga mencari makan di parit/got. Bukankah vegetarian lebih baik daripada pemakan daging?
Ketidaksesuaian dan susahnya hewan herbivora tersebut diterima oleh masyarakat Indonesia lebih karena doktrin dan budaya setempat. Sama halnya seperti daging sapi di negara india.
Terlepas dari daging apa gule tersebut diolahnya, apakah tikus atau sapi, menurut saya kelezatan sebuah makanan tergantung pada bumbu. Bukan pada daging atau asal usul hewan/sayuran tersebut. Saya dapat mengatakan makanan tersebut enak atau tidak karena memang saya mencobanya. Banyak diantara kita sering mengatakan makanan tersebut tidak enak, padahal mereka belum pernah mencobanya. Aneh! Memberi penilaian tanpa didasari fakta, menilai bukan karena pernah mencicipi, tapi lebih karena doktrin!
Saya termasuk penikmat segala jenis makanan, dari yang umum, normal, hingga ekstrem, hampir semua jenis makanan di Indonesia pernah saya cicipi. Bukan karena rakus, tapi lebih karena ingin menikmati cita rasa nusantara yang terkenal akan keragamannya. Saya akan menberikan penilaian terhadap makanan tersebut jika memang saya pernah mencobanya atau paling tidak mencicipinya. Namun jika saya tidak pernah mencicipinya, saya tidak akan memberikan penilaian tersebut.
"Mengolah rasa masakan menjadi enak, bukan dari jenis daging, tapi lebih pada bumbunya".
Makna dibalik tulisan (Februari 2011)
Manusia terlahir sebagai mahkluk yang paling sempurna diantara semua
mahkluk ciptaan‐Nya. Salah satu bukti kesempurnaannya adalah akal dan
pikiran, begitu pun juga dengan kemampuan baca tulis, walaupun ada
beberapa yang kurang beruntung (baca. Tunanetra) namun meraka memiliki
kelebihan dalam membaca tanda alam dan braille.
Saya terlahir pada lingkungan yang gemar membaca, namun hingga tamat sekolah menengah pertama minat dan keinginan itu tak kunjung tiba. Jangankan tulisan pada buku dan novel, komik saja saya hanya senang melihat gambarnya saja. Dapat dibayangkan apa yang saya lakukan terhadap buku pelajaran, yang seharusnya menjadi bacaan wajib. Ya… buku tersebut tersimpan rapi lembar demi lembar seolah tak pernah tersentuh dengan jari saya.
Bagi saya kala itu membaca adalah pekerjaan yang membosankan, apalagi menulis tak lebih dari pekerjaan yang menyiayiakan hidup. Untunglah anggapan bodoh tersebut tidak berlangsung seumur hidup saya, bisa bisa saya menjadi orang terbodoh di dunia karena tidak suka membaca. Bermula dari berkorespondensi dengan sahabat, cerita demi cerita pun terukir dalam kertas, hari demi hari, esok, lusa, tulat, tubin. Akhirnya menulis pun menjadi suatu rutinitas dan keasikan tersendiri. Begitu pun dengan membaca surat saya pun makin larut dalam keasikan membaca.
Kini, menulis telah menjadi rutinitas saya diwaktu luang, baik berupa tulisan ringan hingga novel. Begitu pun dengan membaca telah berhasil mewarnai kehidupan saya untuk lebih tahu banyak hal. Tanpa disadari, saya telah memiliki lebih dari 10.000 buku dari kegemaran membaca dan sebuah perpustakaan pribadi.
Banyak makna yang disampaikan oleh penulis kepada pembaca.
Banyak pengetahuan yang dituangkan dalam tulisan.
Sungguh suatu yang aneh, bila dilingkungan kita ada yang tidak tertarik dengan membaca atau bahkan belum bisa baca tulis. Ingin rasanya saya berbuat banyak untuk membudayakan baca‐tulis. Bahkan binatang saja dapat membaca dengan bahasannya, menulis dengan isyarat, menerjemahkan tanda tanda alam. Bagaimana dengan manusia yang bisa membaca dan menulis tetapi tidak ada keinginan untuk tahu dan belajar. Saya paham makna dari setiap tulisan yang telah digoreskan oleh setiap penulis, dengan tulisan anda dapat bercerita kepada dunia, dan dengan membaca anda dapat tahu segala hal.
"Jika anda tidak pintar. Anda bisa menutupi kekurangan itu dengan membaca, yang pada akhirnya membuat anda cerdas"
Saya terlahir pada lingkungan yang gemar membaca, namun hingga tamat sekolah menengah pertama minat dan keinginan itu tak kunjung tiba. Jangankan tulisan pada buku dan novel, komik saja saya hanya senang melihat gambarnya saja. Dapat dibayangkan apa yang saya lakukan terhadap buku pelajaran, yang seharusnya menjadi bacaan wajib. Ya… buku tersebut tersimpan rapi lembar demi lembar seolah tak pernah tersentuh dengan jari saya.
Bagi saya kala itu membaca adalah pekerjaan yang membosankan, apalagi menulis tak lebih dari pekerjaan yang menyiayiakan hidup. Untunglah anggapan bodoh tersebut tidak berlangsung seumur hidup saya, bisa bisa saya menjadi orang terbodoh di dunia karena tidak suka membaca. Bermula dari berkorespondensi dengan sahabat, cerita demi cerita pun terukir dalam kertas, hari demi hari, esok, lusa, tulat, tubin. Akhirnya menulis pun menjadi suatu rutinitas dan keasikan tersendiri. Begitu pun dengan membaca surat saya pun makin larut dalam keasikan membaca.
Kini, menulis telah menjadi rutinitas saya diwaktu luang, baik berupa tulisan ringan hingga novel. Begitu pun dengan membaca telah berhasil mewarnai kehidupan saya untuk lebih tahu banyak hal. Tanpa disadari, saya telah memiliki lebih dari 10.000 buku dari kegemaran membaca dan sebuah perpustakaan pribadi.
Banyak makna yang disampaikan oleh penulis kepada pembaca.
Banyak pengetahuan yang dituangkan dalam tulisan.
Sungguh suatu yang aneh, bila dilingkungan kita ada yang tidak tertarik dengan membaca atau bahkan belum bisa baca tulis. Ingin rasanya saya berbuat banyak untuk membudayakan baca‐tulis. Bahkan binatang saja dapat membaca dengan bahasannya, menulis dengan isyarat, menerjemahkan tanda tanda alam. Bagaimana dengan manusia yang bisa membaca dan menulis tetapi tidak ada keinginan untuk tahu dan belajar. Saya paham makna dari setiap tulisan yang telah digoreskan oleh setiap penulis, dengan tulisan anda dapat bercerita kepada dunia, dan dengan membaca anda dapat tahu segala hal.
"Jika anda tidak pintar. Anda bisa menutupi kekurangan itu dengan membaca, yang pada akhirnya membuat anda cerdas"
Kopi oh Coffee (Februari 2011)
Untuk urusan yang satu ini sedang menjadi trend, terlebih kota yang saya tinggali untuk sementara (red. Jakarta) waktu. Coffee, budaya luar yang mulai marak di pusat perbelanjaan, dari produk import sampai lokal, bahkan ada pula produk lokal dengan gaya import. Sejak jaman Sriwijaya Kopi nusantara telah menjadi komoditi ekspor, kala itu bangsa Cina yang masih dengan kegemaran minum Teh mulai mencoba dengan kopi yang dibawa oleh laksamana Ceng Ho dalam perjalanan kembali muhibahnya dari Bumi Sriwijaya, kemudian kembali lagi ke nusantara untuk berniaga dan akhirnya wafat di Bumi Nusantara (kala itu nama Indonesia masih belum ada)
Sebenarnya kopi atau coffee sendiri telah lama ada dalam bagian masyarakat kita, tak heran banyak jenis biji kopi yang berasal dari Indonesia, sebut saja mandaling, sumatera, lampung, java, toraja, bali, dll. Indonesia sendiri telah menjadi produsen biji kopi terbesar di dunia, juga mengkokohkan eksport urutuan nomor 3 terbesar di dunia pada tahun 2010 versi USAD (red. United State Agriculture Department) setelah brasil dan vietnam.
Maraknya tempat yang menyediakan minuman berkafein membuat penikmat kopi kebingungan memilih tempat ngopi (red. Cafe shop atau warung kopi atau kopi tiam). Bagaimana tidak, jika dulu (era 70-an) hanya mengenal warung kopi (warkop) sekarang (tahun 2011) ada starbuck, coffee bean, coffee brew, kopi tiam, excelso, kopi oey, warkop prambors, dll. Untuk nama yang terakhir sebenarnya adalah grup lawak legendaris era 80-an, jadi bisa kita abaikan dulu. Variasi menu minuman yang disajikan oleh biji kopi pun bervariasi, ada yang pake syrup, es yang di blend, madu, telor, dll.
Nah ini dia, yang menarik. Ternyata penikmat kopi tidak hanya tua-muda, laki-perempuan, kaya-miskin saja, binatang pun juga demikian, lho koq lucu.... Ya begitulah salah satu keunikan negeri ini, entah bener ada khasiatnya (red. ritual leluhur) atau memang pemiliknya yang iseng bin usil alias tidak ada kerjaan. Perlombaan balap binatang (jenis perlombaan tidak saya sebutkan guna menghormati budaya adat setempat), sebelum lomba dimulai hewan tersebut di-cocol minuman kopi, arang, jahe, telor, madu dan beberapa campuran ritual lainnya, gunanya agar hewan yang dilombakan menang. Tak hanya binatang yang diperlombakan dalam hal adu kecepatan mencapai garis finish saja, hewan aduan satu lawan satu pun juga demikian. Ritual yang dilakukan juga meminum campuran, kopi hitam, arang, madu, telor, dll. Aneh aneh saja, tapi ya begitulah budaya adat setempat, entah beneran ada khasiatnya atau tidak. Saya sambil membayangkan jika minuman tersebut dicocolkan ke mulut empunya.
Ya... Itulah budaya adat masyarakat Indonesia, penuh dengan keunikan dan keragaman.
Kopi oh Coffee....
Catatan,
Dalam bahasa melayu kopi tiam, berarti warung kopi
Lain ladang lain ilalang (rev Februari 2011)
Kian hari saya membaca surat kabar isinya kalau tidak korupsi selalu pencitraan politik. Mulai dari wilayah terkecil hingga negarawan. Padahal pemilu masih 3 tahun lagi, tapi bendera start telah diangkat, aura persaingan sudah nampak, baik sehat maupun licik mulai digaungkan.
Tak terlepas dari nuansa politik dalam negeri, internasional pun ikut berkepentingan dalam perjalanan bangsa ini. Penentuan, pemilihan, keputusan dan restu menjadi pertimbangan dalam perjalanan politik dalam negeri. Campur tangan asing tidak baru baru ini saja, tapi sudah ada jauh sebelum bangsa ini ada. Jika dahulu yang diinginkan bangsa asing terhadap bumi nusantara adalah rempah rempah dan tanah, sekarang sedikit telah bergeser, minyak, gas, batu bara dan emas, dengan berkedok investasi dengan slogan go green.
Lain ladang lain ilalang, lain Indonesia lain pula Amerika (red. USA). Indonesia mempunyai 34 menteri dan 3 pejabat setingkat menteri, untuk mengurus bangsa, tapi tak pernah tuntas mengurus negeri ini. Yang tuntas hanyalah urusan partai yang berkuasa saja, bukan untuk bangsanya apalagi kesehjatraan rakyat. Amerika yang hanya memiliki 26 menteri dan 6 pejabat setingkat menteri tapi mengurusin urusan dunia untuk kepentingannya. Sampai sampai tiap negara dibelahan dunia pun harus mendapat restu dari amerika.
Lain demokrat lain pula republik (baca. Partai berkuasa di amerika serikat), seandainya saya warga negara amerika serikat saya pasti memihak republik, yang dikenal ampuh dengan tangan besinya menjaga kedaulatan negerinya. Namun saya bukan warga negara paman sam, jadi saya lebih memihak demokrat yang condong agak lemah dan lebih mengutamakan negosiasi diplomatik untuk urusan dalam negerinya.
Bagaimana dengan Indonesia 2014?
Kita liat saja nanti....
Mana yang paling banyak mengumbar janji dan mimpi.
Itulah partai yang berkuasa di awal 2015.
Cupid, Eros, Kamajaya atau Anteros (Februari 2011)
"Untuk para kawan dan sahabat yang berpoligami atau masih dalam wacana"
Mana yang lebih tangguh cupid atau eros atau kamajaya?
Cupid dikenal sebagai dewa cinta dalam mitologi romawi, jika terkena panahnya dijamin seluruh tubuh berbunga bunga. Dan kepakan sayapnya membuat pasangan terbang keangkasa.
Eros yang dalam mitologi yunani digambarkan sebagai dewa cinta dengan nafsu seksual yang tinggi. Eros juga disebut dewi kesuburan.
Kamajaya bersama istrinya kamaratih, menjadi pasangan dewa-dewi cinta. Yang dalam masyarakat jawa dilambangkan sebagai kerukunan suami istri (red. cinta dalam berrumah tangga).
Berbicara cinta, saya jadi teringat pada tulisan saya sebelumnya. Ketika adam mencari cinta, hingga akhirnya bertemu dengan belahan jiwannya, hawa. Seandainya adam tidak turun kebumi, mungkin umat manusia tidak pernah mengenal cinta. Dari cinta monyet hingga cinta suci, semua manusia pasti mengalaminya. Tak terlepas dengan ditolak cinta. Bahkan akhir akhir ini banyak dilingkungan saya yang bermain dengan cinta bersama atau lebih populer dengan istilah poligami.
Yang menghantui pikiran saya sejak 2005 (kala itu kami mengikat cinta dihadapan Tuhan) adalah, seringkali manusia adam mengumbar cinta suci (red. Pernikahan) kemudian mencampakan dengan cinta bersama (red. poligami). Sebagian beranggapan daripada selingkuh lebih baik poligami, ada juga yang berkata diagama (red. Islam) diperbolehkan asal dapat berlaku "adil". Dan saya hanya bisa berkata "omong kosong untuk poligami kalian!" Mengatas namakan agama dan adil.... Bukankah kalian hanya mengatas namakan nafsu dan egoisme! Serta pengkhianatan terhadap istri dan Tuhan!
Tidak ada satu manusia di bumi ini yang bisa berlaku adil 100%. Ingat, kalian adalah manusia, bukan malaikat atau Tuhan, yang tak luput dari khilaf dan jauh dari kesempurnaan "adil". Bagaimana mungkin kalian bisa berbuat adil, janji setia pada cinta Pernikahan saja kalian ingkari. Adil dalam perjalanan hidup digambarkan dengan menganggap orang lain ada. Kadang dengan pula sengaja orang tidak mau melihat keberadaan orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri.
Bukan kamajaya, bukan cupid dan juga bukan eros dewa yang pantas untuk penikmat cinta bersama (red. Poligami) tetapi anteros, adalah dewa yang menghukum orang yang mencampakan, menduakan cinta dalam mitologi yunani.
Jadi, manakah yang lebih tangguh?
Indonesia atau Endonesya (rev. Februari 2011)
Secara etimologi Indonesia berasal dari bahasa Latin yaitu Indus yang berarti Hindia dan kata dalam bahasa Yunani nesos yang berarti pulau. Jadi, kata Indonesia berarti wilayah Hindia kepulauan, atau kepulauan yang berada di Hindia, yang menunjukkan bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara merdeka. Namun menurut pakar tata negara, Indonesia adalah negara kepulauan Hindia yang berazaskan pancasila.
Apapun itu, yang penting adalah sebuah nama negara yang saya tinggali saat ini. Saya tidak akan membahas arti dan asal usulnya serta perjalanan bangsa ini, ada yang lebih pakarnya ketimbang saya.
Namun yang mengusik pikiran saya adalah, banyak diantara masyarakat bangsa kepulauan yang berazaskan pancasila ini tidak paham dalam menyebutan kata indonesia. Saya ambil contoh ketika rasa nasionalis sedang diuji dengan perebutan milik/klaim dengan negara tetangga (red. Malaysia). Atau ketika pertandingan olah raga internasional, mayoritas menyerukan satu suara untuk ENDONESYA. Tak ketinggalan para selebriti, toko agama dan politisi berlomba lomba dalam gaya pengejaan endonesya (logatnya di bule bulein, mungkin biar dikira produk dan pendidikan luar negeri kali...)
Berbanding terbalik dengan warga negara asing yang tinggal sementara, kunjungan wisata atau bahkan yang telah berbaur dengan masyarakat negara kepulauan yang berazas pancasila ini, mereka dapat dengan fasih menyebut dengan kata INDONESIA.
Saya juga sempat berpikir, mungkin ada yang salah antara penamaan dengan lidah orang Indonesia, atau memang penduduknya lebih nyaman dengan Endonesya, mungkin saja akibat dari bergantinya sistim ejaan baik dari ejaan Van Ophuijsen ke ejaan soewandi lalu berubah lagi ejaan republik hingga ke ejaan yang disempurnakan.
Beberapa tahun yang lalu, saya sempat tinggal dan besar di negeri matahari terbit (red. Jepang). Ada teman jepang yang kebetulan kami hidup bertetangga, mereka menyebut kami dengan sebutan Indo, sesekali Indonesia, namun jauh lebih terkenal bali. Tak heran jika banyak dari teman jepang saya bertanya, "Indonesia di sebelah mananya bali?" Kalimat ini bukan ledekan, namun murni karena kesalahan masyarakat bangsa kami yang lebih populerkan sebutan ENDONESYA dari pada INDONESIA.
Disadari atau tidak, itulah fakta. Silahkan direnungkan.....
Penelpon misterius (Februari 2011)
Untuk pertama kalinya saya menerima telepon tengah malam buta. Semula saya tidak ingin mengangkatnya, karena nomor telepon tersebut tidak saya kenal, namun setelah 3 kali misscall, akhirnya saya terima telepon tersebut, dengan harapan mungkin emergency.
Benar emergency buat si penelpon karena butuh uang. Tidak banyak basa basi dan langsung to the point, tidak ada bahasa godaan, entah tahu dari mana nomor telepon saya atau mungkin dari mr. Yellow pages. Belum sempat saya mengatakan hallo...
"Gue butuh uang, jika om tertarik, gue bisa nemenin om" sapa penelpon
"Sinting!!! Ganggu tidur saya aja! Tau ini jam berapa?" Jawab saya
saya menyudahi telepon itu dalam waktu 18 detik.
Tak lama kemudian sms dengan nomor yang sama masuk ke inbox saya, begini bunyinya
"Mungkin ada temen om yang butuh. Ini nomor telepon gue"
Memang benar, kiamat sudah dekat
Para perempuan kesepian sudah mulai turun ke jalan
Mengobral cinta semu
Kasihan....
Mereka seolah tidak tahu apa yang diperbuatnya!
Mereka lupa tentang masa depannya!
Ampuni mereka Tuhan...
Untuk mereka yang telah menggusik tidur malam saya (03:28 dini hari)....
Tolong jangan ganggu saya lagi !!!
Saya ingin mimpi yang indah
Atau ...
Saya akan publish nomor telepon anda!
Kerikil tidak sama dengan batu (Rev. Februari 2011)
Sering saya bertanya dalam hati, seandainya nabi Adam tidak makan buah kurdi, mungkin sekarang saya sedang menikmati kedamaian, ketentraman yang penuh dengan cinta kasih. Lalu apakah dengan memakan buah kurdi itu adalah bagian dari rencana Tuhan? Atau memang skenario dari Adam sendiri agar dapat bertemu dengan belahan jiwanya, Hawa.
Menjelang akhir jaman sering kali tampak sangat jelas kekerasan dan kehancuran, mulai dari lingkup politik negara hingga antar etnis kelompok minoritas. Lihat saja adegan "action" yang terjadi di dalam negeri (red. Indonesia) hampir tiap kali berita muncul baik elektronik maupun cetak, selalu saja ada kekerasan, tindakan kriminal, dll. Tidakkah bisa dalam sehari saja hidup rukun, tentram dan damai? Konon katanya bangsa ini adalah bangsa yang beradab, berbudaya, rukun dan saling mencintai... tetapi slogan tinggal slogan, masyarakat lebih senang menjadi aktor dalam adegan "film action" ketimbang aktor dalam "film komedi dan drama percintaan"
Maaf memang tidak sama dengan ikhlas, namun jika manusia sudah mencapai taraf ikhlas, akan lebih mudah untuk memaafkan. Sebagian orang beranggapan, kita bisa memaafkan tapi tidak bisa melupakan. Ibaratnya seperti memasang paku di pintu kayu, bisa saja paku tersebut di lepas dari kayu, kemudian di cat dan di tambal kembali kayu tersebut. Namun bekas lubang paku akan tetap selamannya ada, sekalipun ditambal (baca. dempul) yang nampak indah hanya bagian luarnya.
Memaafkan ibarat batu di dalam toples berbentuk hati, tetapi krikillah yang mengisi celah celah diantara batuan tersebut, yang saya umpamakan sebagai ikhlas. Maaf memang tampak lebih bermakna, tetapi rasa ikhlaslah yang menentramkan hati dan pikiran. Kerikil tidak sama dengan batu, namun jika manusia sudah sampai taraf ikhlas, semuannya akan tampak indah dan tentram.
Kalau boleh saya mengutip kalimat saudara Gede Prama...
"Ada banyak bibit didalam diri manusia. Ada bibit kebodohan, kemarahan, dendam, kebencian. Ada juga bibit kesabaran, cinta kasih, memaafkan, keiklahsan. Pertanyaannya adalah, bibit bibit manakah yang kita siramin tiap harinya?"
Menggapai langit dengan mimpi (Februari 2011)
Menjadi pilot adalah impian semua anak kecil setelah dokter dan tentara, terutama anak laki. Sedikit yang bermimpi menjadi penulis, entahlah karena faktor apa penulis seolah menjadi anak tiri, mungkin juga karena seragam kebesaran yang menjadi kebanggaan, figur profesi tersebut atau masa depan. Sah sah saja seorang anak kecil mengidolakan profesi tersebut.
Seiring berjalannya waktu tak sedikit cita cita dan impian masa kecil lari dari kenyataan, banyak faktor yang berkembang dengan keputusan tersebut. Pada tulisan ini saya tidak membahas figur ke 3 profesi tersebut, namun yang pasti perjalanaannya tidak mudah, banyak hambatan dan resiko dikemudian hari.
Menjadi penerbang tentu sangat mengasikan sebagian orang, tak terkecuali saya. Namun tak sedikit yang beranggapan bahwa menjadi penerbang seperti menaiki peti mati yang kemudian dilempar keangkasa. Belum lagi yang separuh hidupnya berada di angkasa.
Resiko dan musibah tidak hanya diudara saja, didarat dan laut pun juga memungkinkan. Liat saja berita di semua media (baca. elektronik dan cetak). Berapa banyak frekuensi musibah yang disebabkan oleh transportasi umum dan seberapa besar yang berasal dari transportasi udara, masih bisa dihitung dengan jari. Sebelum melakukan penerbangan banyak hal yang harus dilakukan, dari kesiapan pilot sendiri, kondisi pesawat hingga pergerakan cuaca dan lain lain. Tak heran jika moda transportasi udara masih menjadi pilihan favorit.
Menjadi penerbang
Bisa berada di belahan dunia lain dalam beberapa jam
Bisa menikmati luasnya angkasa
Mengejar ujung pelangi
Menyentuh bintang dimalam hari
Bersembunyi dibalik awan
Berlari mengejar matahari
Berdiri dibatas cakrawala
Hingga bermain dengan angin
Sky is the vast place, but there is no room for error
3 kata untuk tulisan (Februari 2011)
Semoga menberikan inspirasi dan tips dalam menulis
Banyak tulisan tulisan hebat bahkan buku dan novel, muncul dari sebuah pemikiran yang ringan lalu dikembangkan lagi. Penulis baru sering kali susahnya menuangkan awal dalam sebuah tulisan, walaupun ide tersebut telah ada diotak. Kadang kala kami pun juga sempat kehilangan mood menulis terlebih ketika tidak ada inspirasi dan mentok ide. Berkomunikasi dengan alam pun sering saya lakukan agar inspirasi mengalir, tapi tetap saja belum menghasilkan sebuah tulisan.
Inspirasi mengenai tulisan sering kali saya dengar di berbagai forum, hingga kali ini seorang sepupu bercerita kepada saya tentang forum diskusi menulis dan tulisan beberapa pekan lalu. Kebetulan saya tidak dapat hadir, karena beberapa kesibukan, jadi baru kesempatan kali ini saya bertanya mengenai hasil forum diskusi yang dia (red. sepupu) selenggarakan.
Alhasil, kami pun mulai membuka obrolan ringan seputar dunia tulisan dan sastra yang pada akhirnya saya mendapat sebuah pemikiran baru tentang mengawali sebuah tulisan. Yaitu pikirkan 3 kata yang akan kita tulis. Misalnya Sepeda, Babi dan sholat. Lalu kita kembangkan menjadi sebuah tulisan . Rangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat dan cerita demi cerita. (baca tulisan ringan saya "babi dan sholat"). Kelihatannya rumit, namun buatlah sesimpel dan sesederhana mungkin. Awali tulisan dengan inspirasi ringan yang ada disekitar kita, biarkan tulisan itu mengalir dengan sendirinya, hingga terbiasa. Jika sudah lancar dan aktif, tema dan pembentukan karakter tiap tokoh, lokasi dan lain lain akan menggalir dengan sendirinya.
Selamat menulis
Antar masa (Januari 2011)
Sering kali saya diam dalam kesunyian.
Sering juga saya merenung langkah untuk esok.
Namun saya selalu tersenyum dalam kenangan.
Seolah alam pun enggan berbicara dengan saya.
Demi waktu yang telah membawa saya ke masa kini.
Khayalan pun mengalun bersama waktu, seakan mengusik lamunan.
Saya pun tergugah dalam impian semu.
Dibanyak kesempatan hidup, masa depan dibentuk dari saat ini dan masa lalu. Saya pun bertanya pada alam dan masa, dapatkah saya mengubah masa lalu dengan masa depan? Seandainya saya punya delorean (red. Kendaraan antar masa di film back to the future).
Lanjut dibawah.....
Kenangan 14 tahun lalu (Januari 2011)
Dengan membangkitkan kembali mimpi masa kecil yang sempat mati suri, saya pun kembali ke masa remaja, 14 tahun yang lalu.
Ketika itu banyak sekali hambatan untuk mewujudkannya, dari faktor fisik, keluarga, hingga doktrin doktrin negatif tentang dunia penerbangan. Saya pun mengubur dalam dalam impian masa kecil itu. Seolah sudah tidak mempunyai cita cita lagi, namun kini saya seperti mengalami dejavu 14 tahun lalu. Rekaman peristiwa seperti di rewind, namun perjalanan saat ini terasa begitu teratur, seakan tanpa hambatan. Impian masa kecil seolah bangun dari tidur yang panjang. Harapan dan cita seolah tak ingin kalah dari mati suri.
Entah karena dejavu atau sekarang saya memiliki kendaraan antar masa.
Penantian panjang selama 14 tahun.
Seringkali kita hanya memciptakan masa depan dengan keputusan saat ini.
Sedikit dari kita yang sadar bahwa masa lalu pun dapat diubah dengan keputusan saat ini.
"Semua terasa indah pada waktunya".
Anak pintar minum tolak angin (Januari 2011)
Hampir sebulan ini saya bersama istri sibuk mencari sekolah lanjutan untuk putri kecil kami, SD. Sebenarnya belum terlalu mendesak karena masih ada 1 tahun kedepan untuk menyelesaikan TK sekarang, namun tidak ada salahnya jika sudah dapat pilihan diawal, daripada nanti ketika waktu telah mepet kami seperti kebakaran jenggot.
Sekolah demi sekolah kami kunjungi, dari berbagai sumber dan informasi. Dari sekolah lokal, nasional plus hingga internasional. Seorang kawan lama pun memberi masukan pada kami mengenai sekolah bagus dan terbaik (menurutnya...). Dari namanya sudah dapat ditebak nama besar sekolahnya, tarafnya pun globa, fasilitas sekolah (pelatnas PSSI saja kalah sempurna) hingga metode pembelajaran.Modeul belajarnya pun dilengkapi dengan laptop tiap muridnny, bahasa pengantar ya... sudah jelas internasional (red. English).
Kami pun mengunjungin sekolah tersebut, sambil ditemani oleh kawan saya yang merekomendasikan dan tentu saja pihak marketin sekolah tersebut. Penjelasan demi penjelasan disampaikan oleh pihak marketing secara detail, hingga penjelasan yang membuat saya cukup terkejut (sebenarnya penulis telah menjumpai 3 kali penjelasan seperti ini)......
"Semua murid yang bersekolah disini semuannya pintar. tidak ada istilah murid bodoh" jelas pihak marketing. Saya pun bertanya, "wah hebat donk, koq bisa? pasti seleksinya ketat?". Dan dia (red. pihak marketing) membalas pertanyaan saya dengan enteng, terlalu enteng menurut saya, bahkan terkesan tidak dipikirkan. "Iya pak, karena semua murid disini menggunakan bahasa pengantar inggris". Saya pun membalas dengan pertanyaan yang tak kalah entengnya "Ooo.... jadi kalau bisa bahasa inggris, dapat dipastikan murid tersebut pintar ya?". Tak ada kata, tak ada pembelaan, hanya sikap diam yang ditunjukan oleh pihak marketing sekolah tersebut. kawan saya pun mencoba memberi penjelasankepada saya "Jangan berpikir salah dulu, tidak mudah lo...untuk anak usia 6 tahun bisa lancar bahasa inggris". Sebenarnya saya sudah merasa cukup yakin akan kualitas sekolah ini sebenarnya... hanya saja terasa belum afdol jika saya tidak menjawab penjelasan teman saya tadi, "tidak sekalian aja minum tolak angin biar tambah pintar?" (red. selogan iklan pada salah satu produk lokal yang mendunia).
Kawan....
Presiden kedua Indonesia (red. HM Soeharto) bisa memimpin 32 tahun, bukan tamatan SD internasional. Presiden kita sekarang sudah 2 periode memimpin bangsa (red. Susilo B Yudhoyono) juga bukan tamatan sekolah internasional.
Sekolah internasional dan nasional plus memang unggul dalam hal fasilitas dan metode pembelajaran. Namun, jangan dikotori dengan doktrin yang bodoh!
"Anak berbicara bahasa Inggris adalah anak pintar. ada penilaian lain dan mata pelajaran lain yang tak kalah pentingnya dari bahasa Inggris".
Sungguh Ironis!
Babi dan Sholat (Januari 2011)
Biasanya setiap hari sabtu saya selalu menghabiskan waktu di rumah seharian, entah itu untuk memanjakan diri atau bermain main dengan putri tercinta. Kali ini sejak pagi saya sudah berada diluar, beraktifitas gowes (red. olah raga bersepeda). Tak terasa hampir 2 jam kami bersepeda tanpa henti, jarum pendek sudah diantara angka 8 dan 9, sementara jarum panjang kokoh berada di angka 6. perut kami pun sudah mulai berdemo (red. demonstrasi) menuntuthaknya (red. lapar).
Terjadilah percakapan singkat.....
P : penulis
T : teman penulis
P : nyarap dimana nih? (baca. sarapan)
T : bebas. dimana aja. terserah elo aja
P : bubur?
T : gak bosen? yang lain aja napa!
P : katanya terserah gue
Diam sebentar sambil mikir.... (gayanya seperti memikirkan negara yang tak kunjung makmur)
P : makan babi aja yuk!
T : gila lo... haram tau!!!! masuk neraka lo....
P : sholat subuh aja lo berani ninggalin. makan babi takut! lucu deh lo...
T : wah... kalo itu bukan ninggalin, tapi susah bangunnya.
P : alasan! kepentingan Tuhan aja berani lo permainkan, tapi kepentingan manusia lo malah takut
Pembicaraan singkat pun berakhir, setelah kami berhenti didepan grobak mi ayam....
Sering kali kita terbuai dengan janji manis teman, sahabat dan kawan....
dan secepat itu pula kita lupa dengan janji kepada Allah.
Andai kutahu (rev. Januari 2011)
Halo sahabat...
Saya menunggu moment yang tepat, kebetulan ini hari jumat, sedikit lebih religius.
Sepanjang tahun 2010, hampir tiap kali saya melihat berita tv dan baca koran pagi selalu ada saja berita tentang fenomena alam, kejadian aneh, benda aneh yang tak lepas dari unsur mistik. Penampakan tuyul dan jenglot telah mewarnai berita utama televisi. Tak ketinggalan para politisi, paranormal hingga tokoh agama pun ramai ramai berkomentar. Memang dapat dimaklumi karena asal usul kepercayaan bagsa ini adalah animisme dan dinamisme.
Yang menarik perhatian saya ketika terjadi diskusi pada sebuah program berita pagi pada salah satu televisi swasta, mengenai fenomena aneh dengan tokoh agama dan ahli telematika. Saya tidak akan menyebutkan kriteria dan ciri ciri tokoh agama tersebut, namun yang pasti, yang bersangkutan menggenakan asesoris berupa cincin besar dan ramai sekali mengikat jari jemarinnya, rasanya lebih pantas disebut paranormal ketimbang tokoh agama.
Diskusi pun berlangsung menarik, aksi dan pertanyaan pembawa acara yang seolah ikut mengorek ngorek sampai akar permasalahannya. Mulai dari yang kontra hingga akhirnya pun mereka pro. Dari yang meramalkan kejadian politik hingga tanda tanda akhir jaman.
Berbicara akhir jaman, rasanya membuat saya malu... ya malu pada pencipta saya, Allah. Boro borotaat akan perintahnnya, ibadah pun masih jauh dari kesan sempurna. selama ini saya selalu meminta dan meminta dalam rangkaian doa, kali ini saya benar benar malu. Entah nanti apakah saya akan berbelok kekanan (red. surga) atau justru kekiri (red. neraka).
Apapun keputusan-Nya nanti, yang penting saya fokus pada kesempurnaan dalam ibadah saja, entah nanti saya mau ditempatkan disektor kanan atau kiri, itu semua kehendak-Nya, dan saya siap menerimannya.
".... Aku manusia, yang takut neraka
namun aku juga, tak pantas di surga
Andai ku tahu,
kapan tiba ajalku
Izinkan aku, mengucap kata tobat pada-Mu ..."
(Ungu)
Mahar (Januari 2011)
Hari ini kami sekeluarga berencana ke ITC untuk mencari kebutuhan outbond untuk putri kami. Namun, seseorang kawan, sekaligus tetangga mengusulkan kepada saya untuk mencarinya di situs jual beli yang terkenal di Indonesia. Tinggal klik barang datang, cukup mudah.
Setelah 10 menit browsing, perhatian saya tertuju pada saah satu iklan penawaran jasa supranatural. Senyum kecil pun menyertai raut wajah saya. begini bunyi tulisannya.....
-------------------------
Jual jasa keuangan untuk 100 tahun
Bagi agxx xxan (sengaja penulis samarkan, karena identik pada istilah salah satu situs) yang mempunyai masalah keuangan, saya siap membantu menjual jasa. Agxx tidak perlu kerja lagi, uang akan datang setiap kali agxx bangun tidur. dan agxx tidak akan kekurangan uang sepeser pun setiap harinya selam 100 tahun. DIJAMIN!!!
Syaratnya cukup mudah, agxx cukup membayar uang mahar sebesar Rp. 10.000.000, yang mana uang tersebut akan digunakan untuk membeli bahan baku yang ada di dunia lain.
Dijamin berhasil 100%, tidak berhasil uang kembali. ini bukan jasa pesugihan dan tidak ada tumbal. jasa ini halal, karenannya agxx xxan cukup membayar yang disebut uang mahar.
jika agxx xxan tertarik silahkan hubungin saya di 08xxxxxxxx (nama dan nomor telpon penulis samarkan)
-------------------------
Pertanyaan untuk direnungkan (tidak perlu dikomentari)
• Jika memang demikian adanya. Buat apa lagi ada orang bekerja, kekantor, menabung
• Mengapa tidak si penjual jasa saja yang menikmatinya, kenapa harus di iklankan?
• Beli bahan bakunya di dunia lainn, mungkin lewat pintu doraemon
• JIka memang halal, kenapa juga masih ada fakir miskin di dunia ini
• Memangnya si penjual jasa tersebut masih hidup 100 tahun lagi?
Sekafir kafirnya saya. saya masih percaya surga dan neraka itu ada....
Judulnya koq aneh (Januari 2011)
"Mengapa jongjava?" tanya seorang pembaca melalui email yang ditujukan pada saya.
Lalu saya replay email tesebut, "mengapa harus tidak?"
Sengaja email tersebut saya beri jarak beberapa paragraf kebawah, kemudian saya beri penjelasan singkat. sebagai berikut
Jong Java.... ya karena saya putra jawa dan hampir separuh hidup saya besar dan tinggal diluar pulau jawa. Jika saya kelahiran sumatra (seperti istri saya, palembang.red) tentunya saya akan meminjam nama jong sumatra, begitu pun jika saya berasal dari ambon (Jong Ambon) dari kalimantan (Jong Borneo), dst.
Penamaan kata Jong (maaf, sebaiknya saya ganti dengan istilah pinjam kata) teringat pada pelajaran PSPB pada 25 tahun yang lalu. Banyaknnya pemuda pemudi yang mulai jenuh pada penjajahan, membuat mereka bergerak untuk memproklamirkan jati diri bangsa dengan sebutan Sumpah Pemuda.
• Kami bangsa Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia
• Kami bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia
• Kami bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia
Namun sungguh ironis, saat ini yang terjadi di kalangan masyarakat (yang konon katannya berpendidikan tinggi) telah menggubah jati diri bangsa tersebut
• Kami bangsa Indonesia, berbangsa satu bangsa Kapitalis
• Kami bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa International (Red. English)
• Kami bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Otonomi
Sungguh di pertanyakan jati diri bangsa Indonesia yang sesungguhnya, akankah perubahan ini dapat mengoyakan persatuan dan kesatuan bangsa ini? Walau kami beda tetapi kami satu, walau kami memiliki banyak Jong, kami putra putri Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika
Buku ditolak, ngeblog bertindak (januari 2011)
"ngeblog lo sekarang?"
"project buku gimana?" tanya seorang kawan
Saya hanya tersenyum kecil, tanpa sepatah kata. Entah senyum yang menggandung arti buku gagal terbit atau memotivasi saya untuk terus berkarya atau justru memang kalimat lucu, yang patas dihadiahkan senyum.
Sudah sejak lama saya bermimpi bisa menerbitkan sebuah buku atau novel, dan sejak itu pula naskah buku saya ditolak. Berbagai aasan tertulis dalam surat elektronik balasan, salah satu kalimat yang menurut hemat saya lucu adalah "buku anda secara umum baik, namun kami tidak berani karena menunjuk pada salah satu partai". Hmm... lucu juga ya, kenyataannnya memang seperti itu fenomena yang terjadi sepanjang tahun 2008, "Menjual agama demi politik". Tetapi saya berpikir lain, mungkin saja naskah yang saya kirimkan terlalu singkat (baca. 48hal, A4, double space)
Ada rasa kecewa dan diskriminatif terhadap penulis pendatang baru, yang saya rasakan. Saya pun mencoba dengan peruntungan lagi pada buku berikutnya "Komunis dalam sebuah demokrasi", isinya pun sangat jauh dari unsur ajakan berkomunis, bahkan ajaran paham komunis pun tidak. Rasannya bangsa ini masih parno (red. paranoid) terhadap kata komunis.
Karena kedua hal itulah saya baru bisa menungkan melalui blog. Kelak nanti dikemudian hari ada publiser yang menghubungi saya.
Cinta ditolak, dukun bertindak
Buku ditolak, blog bertindak
Apa hubungannya blog dengan dukun? ahh... sama saja, hanya subyeknnya yang diganti.
Gitu aja koq repot (logat ala gus dur)
Bersepeda atau berjalan (Januari 2009)
Tawaran seorang rekan sejawat untuk "bike to work" pada awal pekan cukup menarik semangat saya. Maklumlah, selama ini saya selalu menghabiskan waktu sekitar 1 jam perjalanan kekantor dengan mobil dan ditemani alunan musik serta udara buatan (red. air conditioner).
Waktu tempuh dengan bersepeda ternyata cukup singkat hanya 30 menit, bandingkan dengan berkendara mobil hampir 1 jam. Hari yang ditunggu pun tiba, tepat pukul 06.15 kami sudah berangkat dan akan mampir di dekat kantor untuk sarapan bubur ayam, istilah kerennya nyabu (red. nyarap bubur)
Untungnya saya sudah terbiasa dengan udara dan lalu lintas dikota saya yang sangat kondusif. Saking kondusifnya sampai susah membedakan mana udara alam dan mana udara knalpot dari bis, yang semuannya bercampur satu warna, HITAM. Tata krama berlalu lintas pun juga tak kalah menariknnya, trotoar telah bercampur dengan sepeda motor dan pedagang kaki lima. Kami pun nekat bersepeda di wilayah kendaraan bermotor (red. jalan raya).
Sesampainnya dikantor, saya pun baru tahu hari itu. Ternyata ada tempat yang layak untuk penitipan khusus sepeda dan disediakannya ruang ganti beserta kamar mandi untuk bilas. Ternyata kator saya bekerja sudah mulai peduli terhadap lingkungan dan olahraga bersepeda. Tetapi yang mengusik perhatian saya adalah, mengapa office boy tidak menaruh/memarkirkan sepedanya di tempat sepeda kami? disinilah kesenjangan sosial bermain.
Bike to work, solusi ramah lingkungan yang sedang ngetrend. entah nanti apakah ada trend baru walk to work atau run to work. Sungguh pengalaman bersepeda kekantor yang menarik. Sampai saat ini saya belum kepikiran apakah saya akan mencoba walk to work.
Salam,
Kami yang "lapar" akan ruang terbuka yang layak.
Kami yang "haus" akan udara yang segar.
Kami yang "kenyang" akan janji manis pemimpin
Matinya ilmu fotografi (Desember 2010)
Cukup terhenyak saya melihat rekan rekan se-profesi (fotografer. red) alih profesi. betapa tidak penurunan nilai foto pasca booming minat fotografi digital beberapa tahun terakhir. Sebut saja tahun 2008 hingga kini.
Memang benar, minat masyarakat berkembang pesat di era digital khususnya DSLR. Namun penghargaan terhadap hasil karya fotografi secra umum menurun, akibatnya pendapatan fotografer pun turut terjun bebas (mereka yang memilih hidup berkarir dan berkarya di fotografi).
Banyaknnya pemain baru yang tidak (saya katakan tidak, bukan kurang mengerti) perhitungan bisnis dari nilai sebuah karya seni dan tidak menghargai foto sebuah nilai kreatif, mereka nekat saja menjual karya foto dengan harga berapa pun asalkan laku dan menambah portfolio. hai serupa pun diperparah dengan konsumen yang bersedia mendapatkan hasil foto (kualitas) asal asalan dengan budget yang minimum, syukur syukur mereka (konsumen. red) mendapatkannya secara gratis atau tidak membayar.
Teringat saya ketika era analog masih berjaya, sebuah karya fotografi komersial diproduksi sedemikian rupa dengan bantuan peralatan tambahan sehingga dapat meningkatkan nilai produk, tidak sekedar asal jepret kemudian diolah secara terpisah dengan bantuan mr. adobe photoshop. photoshop sendiri saat kini sering dilengkapi dengan modul plug in yang memudahkan (menurut saya lebih tepat dikatakan membuat malas, ketimbang memudahkan) pengguna untuk bermain klik. ..... lalu simsalabim hitungan detik foto sudah jadi seperti yang diinginkan. tidak membutuhkan kreasi dan kreatifitas olah digital photosop, apalagi teknik foto.
Fotografer profesional yang terbiasa menghasilkan karya berkualitas dan dihargai tinggi, tentu saja tidak mau menghasilkan sebuah karya asal asalan dan berharga murah.akibatnnya banyak yang kehilangan project dan beralih ke profesi lain. Seorang kawan (sebut saja namannya Bowo), bersedia menerima proyek foto komersial sebuah properti (architecture, interior dan exterior) di kawasan selatan jakarta (bukan jakarta selatan) dengan nilai project 1/6 dari nilai project umumnya. Padahal dia baru saja memegang kamera seminggu yang lalu. Kemudian sesi pemotretannya pun berlangsung relatif singkat, hanya 3 jam. (pengalaman penulis dalam memotret properti paling tidak membutuhkan 2-3 hari untuk project yang sama).
Memang, era digital kini memudahkan orang untuk berkreasi, namun dasar dari pengetahuan dari fotografi analog juga perlu. Sungguh ironis mereka bisa meghasilkan karya seni foto yang bagus tetapi bodoh terhadap sejarah fotografi dan teknik "dark room".
Fotografi telah tumbuh pesat seiring dengan pergeseran status dari gaya hidup hingga kemudaahn akses (publikasi/posting di internet). Jika Paul Ormerod mengatakan dengan teori yang fenomenal "matinnya ilmu ekonomi", maka saya juga demikian. "matinya ilmu fotografi" .
Kami yang rindu era Analog....
Tower of Babel (Rev. Desember 2010)
Sudah setahun saya meninggalkan kota dimana saya besar dan kuliah. Akhirnnya kembali lagi setelah selesai tugas dinas diluar kota yang jauh dari peradaban kota megapolitan (saya tidak berbicara kota metropolitan ya...)
perjalanan dari bandara ke tempat tinggal saya cukup jauh dan memakan banyak waktu terbunag sia sia. Didalam perjalanan, saya cukup terhenyak. Daerah yang dulunya untuk resapan air telah berubah menjadi bangunan beton, yang kemudian nanti dikenal dengan istilah SUPERBLOK. Selang sekitar 1 km, ada lagi superblok yang akan selesai. sebagai gambaran luasnya area superblok ini, dari pintu masuk tol hingga melewati 2 pintu keluar tol yang berada didepan saya.
Kendaraan saya pun akhirnnya keluar tol dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan penuh hambatan (red. jalan raya). Melewati perempatan lampu merah yang cukup ramai, tampak di sudut jalan bangunan superblok lagi yang baru saja selesai dibangun. Kali ini tak kalah luas dari superblok sebelumnya.
SUPERBLOK yang menurut pengembangnya bertujuan untuk memudahkan akses dan rutinitas kehidupan dari bangun tidur-olah raga-kerja-makan-hiburan-belanja-tidur lagi. Dan aktifitas harian manusia tidak lagi terbuang percuma, dengan kata lain tidka capek dijalan alias bermacetan. Didalam superblok cukup lengkap, ada bangunan perkantoran, bangunan tempat tinggal (red. apartment), bangunan untuk perbelanjaan (red.mall), bangunan sekolah (dari playgroup sampai kampus kuliah). Tak tanggung tanggung ada juga bangunan untuk hiburan, olah raga dan taman hijau buatan yang bertanah beton.
Memang nikmat, namun bukankah semua itu berlaku bagi yang punya uang berlebih (red. kaya)? bagaimana dengan gembel? gelandangan?
Atau justru pembangunan superblok untuk aktualisasi diri. apakah itu penghuninya atau justru pengembangnnya agar tak mau kalah tenar seperti di belahan dunia sana (maksud penulis, burjh tower).
Saya jadi teringat tower of babel, yang disebutkan dalam kitab perjanjian lama pada bab kejadian.
Pembangunan menara babel diprakarsai oleh raja Nimrod pada zaman Babilon kuno. Pembangunannya bertujuan untuk mendirikan kota dengan menara yang puncaknnya sampai kelangit, dan didalamnya terdapat apa saja untuk kebutuhan umat manusia. Manusia pun mendambakan untuk terus berkumpul dan takut tercerai berai, takut keluar dari komunitasnya/koloninnya. Akhirnnya menara bable pun berdiri megah dan ingin sampai ke langit. Didalamnnya juga terdapat taman tergantung (masuk dalam 7 keajaiban dunia versi klasik). Singkat cerita Tuhan pun akhirnnya murka dan marah dna dalam sekejap hancurlah menara babel tersebut, dan Tuhan pun juga mengutuk para pengikutanya dengan tidak saling kenal dan tidak saling mengerti bahasanya, agar mereka mau melepaskan diri dari koloninya.
Menara babel atau tower of bable lambang keangkuhan dan kesombongan manusia
Menjadikan semua serba satu, satu bahasa, satu koloni, satu tempat hidup.
Bagaimana dengan superblok?
Silahturahmi blackberry (Rev. Desember 2010)
Reuni bersama teman lama sangat mengasikan, terlebih jika hampir 7 tahun tidak bertemu. Pada tulisan kali ini saya berbicara tentang teman bukan kawan, mungkin ada pembaca yang bertanya. Apa bedannya? bukankah sama saja? Prof. Yus Badudu membedakan kata tersebut baik secara harifiah (yang nanti akan saya ceritakan secara terpisah).
kangen kangenan dan senda gurau telah menjadi pembandangan yang lumrah setiap acara reunian. 30 mienit pun berlalu, kelima teman saya pun tengah asik dengan telepon selular masing masing. entah itu untuk sms, chatting, main game atau ber pesbuk ria (red.facebook), seakan telah memasuki duniasendiri dalam lingkup auitisnya. Belakangan saya baru tahu, alat canggih yang telah mongotrol hidup manusia bernama blackberry.
Kehadiran jejaring sosial bik di dunia maya maupun di aplikasi telpon selular, memang memudahkan manusia untuk terus berkomunikasi dan berinteraksi tanpa batas. Komunitas dan pertemanan pun juga bertambah, teman baru silih berganti, dan teman lama pun makin akrab. Keberadaannya semakin lengkap dengan hadirnnya ponsel pintar bernama blackberry. jika memang demikian kenyataannya, untuk apalagi silahturahmi tatap muka? jika pertemuan tatap muka lebih banyak dihabiskan dengan dunia blackberry.
Blackberry...
Mendekatkan yang jauh
Menjauhkan yang dekat
(...dan akhirnya saya pun juga terhipnotis dengan si berry hitam)